Samarinda,  (ANTARA Kaltim) - Sejumlah elemen pemerhati lingkungan terdiri dari Jatam, Walhi, IMAPA Unmul, Pusat Koordinasi Pecinta Alam kaltim, BEM IAIN, GMSS-SKM, dan sejumlah elemen lain di Samarinda, menggelar aksi damai memperingati Hari Air se-Dunia, Selasa.


"Kali ini kami fokus menyuarakan tentang Sungai Karang Mumus (SKM) karena sungai ini sudah sangat tercemar dan rusak, terutama akibat dari tambang batu bara," ujar Didit Haryadi, juru bicara gabungan elemen yang menamakan diri "Forum 1 Bumi" saat aksi di depan Gang Nibung, Jalan Dr Soetomo Samarinda.


Menurutnya, tambang batu bara telah merusak daerah aliran sungai, sehingga sungai itu terjadi pendangkalan cukup besar, kehilangan anak sungai, dan kurangnya daya dukung akibat sedimentasi sehingga menjadi penyebab banjir meskipun hujan hanya dua jam.


Daerah aliran SKM terkepung oleh industri tambang, karena terdapat 76 izin usaha pertambangan (IUP) di Kota Samarinda, yang 25 IUP di antaranya berada di kawasan daerah aliran SKM dengan luas konsesi 12.238,4 hektare, atau 55,2 persen dari DAS SKM yang totalnya 22,183,7 hektare.


"Dari catatan kami, terdapat 12 aktivitas pertambangan yang menghilangkan anak Sungai Karang Mumus. Pertambangan ini juga menyebabkan sedimentasi akibat pengupasan lahan di hulu SKM," ujarnya.


Menurut ia, laju sedimentasi kawasan daerah aliran SKM dalam dua tahun terakhir mencapai 5.000 meter kubik, sehingga hal ini menjadi penyebab 24 titik banjir yang tersebar pada 15 kelurahan. Jumlah titik banjir berpotensi bertambah karena aktivitas tambang di hulu SKM masih berjalan.


Ia juga mengatakan, pada 2011, Pemprov bersama DPRD Kaltim menyepakati program penanganan banjir di Samarinda dengan anggaran mencapai Rp602 miliar.


Biaya tersebut disepakati dengan pola kontrak tahun jamak yang terbagi untuk SKM Rp322 miliar, sistem Karang Asam Besar dan Loa Bakung senilai Rp44 miliar, sistem Karang Asam Kecil Rp55 miliar, dan sistem Loa Janan serta Rapak Dalam sebesar Rp181 miliar.

       
Kemudian tahun 2012, Pemprov Kaltim kembali mengeluarkan anggaran Rp30 miliar untuk Pemkot Samarinda untuk pembebasan lahan dalam kaitan relokasi permukiman warga di bantaran SKM.

       
Selanjutnya pada 2014, Samarinda melakukan pembelian alat keruk amfibi multifungsi dari Finlandia seharga RP14 miliar, namun saat ini alat berharga mahal tersebut tidak berfungsi dengan alasan anggaran operasional tidak ada.

       
"Menurut hemat kami, bukan pembebasan lahan dan pengerukan SKM yang harus dilakukan pemerintah, namun pemulihan daerah aliran SKM yang rusak dan membersihkan SKM dari aktivitas tambang merupakan keharus karena yang memicu perusakan SKM adalah tambang," kata Didit.

Pewarta: M Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016