Balikpapan (ANTARA Kaltim) -  Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur meminta Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dan Kepala Distamben Slamet Hadiraharjo untuk insyaf dari perbuatan menghalang-halangi informasi untuk publik dalam hal pertambangan di daerah tersebut.

"Perbuatan itu akan menunjukkan Kabupaten Kutai Kartanegara tidak transparan dan gagal menjadi pelayan publik," kata Dinamisator Jatam Kaltim Merah Johansyah Ismail dihubungi di Balikpapan, Senin.

Permintaan Jatam Kaltim ini menyusul dimenangkannya gugatan oleh Mahkamah Agung dalam kasasi perkara sengketa informasi mengenai izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Bupati Kutai Kartanegara.

Bupati dan Kadistamben Kutai Kartanegara menolak membeberkan IUP kepada umum dengan alasan dokumen tersebut adalah Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan dapat memengaruhi persaingan usaha terutama di bidang pertambangan.

Namun demikian, setelah bersidang di berbagai tingkatan hingga ke MA, Jatam akhirnya memenangkan perkara ini. MA menyatakan IUP adalah dokumen publik dan bila diminta harus selalu tersedia.

MA memenangkan Jatam dengan Keputusan Nomor 614/K/TUN/2015 pada Kamis 17 Maret lampau. MA menguatkan keputusan Komisi Informasi Publik (KIP) Kaltim dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda yang sebelumnya juga memenangkan Jatam.

Mahkamah Agung (MA), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Komisi Infromasi Publik (KIP) semuanya sepaham bahwa informasi yang diminta oleh Jatam Kaltim adalah informasi yang wajib tersedia setiap saat sesuai Pasal 11 Ayat 1, Butir (a), dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

"Informasi yang diminta Jatam untuk dibuka, yaitu dokumen-dokumen perizinan IUP, adalah informasi bukan tergolong rahasia atau dikecualikan, apalagi digolongkan sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI)," jelas Hakim Ketua H Yulius SH MH di dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 614/K/TUN/2015 tersebut.

IUP berisi antara lain data-data lokasi tambang lengkap dengan koordinatnya, lalu siapa saja pemilik izin tersebut, ikhtisar geologi, hingga rencana kelola lingkungan (RKL) dan upaya kelola lingkungan (UPL) sebagai perwujudan teknis izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Johansyah menambahkan IUP harus terbuka sebab berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan dikeluarkan oleh pejabab publik, yaitu bupati atas pertimbangan teknis kepala dinas pertambangan.

"Satu kewajiban Pejabat Publik dan Badan Publik adalah membuka Data Publik. Sementara data tambang adalah data publik," jelas Johansyah lagi.

Apalagi, instansi bupati dan Distamben diselenggarakan dengan biaya publik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ataupun negara melalui APBN.

Kewajiban membuka Data Publik itu juga ada pada Pasal 1, Ayat 3, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

"Keterbukaan ini kita perlukan untuk mengontrol penyelenggaraan pertambangan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup sesuai Pasal 65 dan 67 pada UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Nomor 32 Tahun 2009," papar Johansyah.

Tambang, baik di Kutai Kartanegara dan terutama di Samarinda, sudah menelan korban. Menjelang akhir 2015 dan awal 2016, sebanyak enam anak dan remaja tewas di kolam bekas tambang yang ditinggalkan dan dibiarkan begitu saja di Kutai Kartanegara.

Secara keseluruhan sudah 19 anak tewas di lubang tambang sejak 5 tahun terakhir.

Menurut temuan Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batu Bara Komisi Pemberantasan Korupsi (Korsup KPK) dan advokasi oleh Jatam selama ini, Kabupaten Kutai Kartanegara bisa disebut sebagai pengobral IUP, dengan jumlah tidak kurang dari 700 izin dikeluarkan dengan luas total hingga 1 juta hektare. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016