Samarinda (ANTARA Kaltim) - Protection of Forest and Fauna (Profauna), sebuah lembaga independen nirlaba yang bergerak di bidang perlindungan hutan dan satwa liar, menolak kehadiran perusahaan tambang di kawasan Hutan Lindung Wehea, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Koordinator Profauna Borneo Bayu Sandi, dihubungi dari Samarinda, Kamis mengatakan, saat ini wilayah adat Dayak Wehea terancam kerusakan lingkungan yang luar biasa akibat adanya alih fungsi hutan menjadi HPH, pertambangan dan perkebunan sawit secara besar-besaran,.
"Alih fungsi hutan dan aktivitas tambang batu bara telah mengancam masa depan lingkungan yang sehat bagi masyarakat adat Dayak Wehea. Padahal, masyarakat adat Wehea selama ini menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan ekonomi, sosial dan budaya," ungkap Bayu Sandi.
Ungkapan penolakan tersebut, kata Bayu Sandi, dilakukan melalui unjuk rasa aktivis Profauna di depan Gedung Kehutanan Jakarta, dengan merantai diri di depan pintu masuk gedung, Kamis.
"Hari ini (Kamis), aktivis Profauna menggelar aksi penolakan melalui unjuk rasa di depan Kantor Kehutanan di Jakarta sebagai wujud protes atas terancamnya kelestarian hutan Wehea, di Kabupaten Kutai Timur, oleh pertambangan dan perkebunan sawit," kata Bayu Sandi.
Profauna yang mendampingi Lembaga Adat Wehea Desa Nehas Liah Bing sejak 2014 dalam mengelola Hutan Lindung Wehea seluas 38.000 hektare itu lanjut Bayu Sandi, memandang pemerintah pusat perlu turut campur dalam menyelamatkan hutan Wehea.
"Saat ini, wilayah adat Dayak Wehea terancam kerusakan lingkungan yang luar biasa. Alih fungsi hutan menjadi HPH, pertambangan dan perkebunan sawit secara besar-besaran, telah mengancam masa depan lingkungan yang sehat bagi masyarakat adat Dayak Wehea," katanya.
"Padahal masyarakat adat Wehea selama ini menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya.Profauna dan masyarakat adat Dayak Wehea mendesak pemerintah untuk tidak memberikan izin baru bagi usaha pertambangan, HPH dan perkebunan sawit," tegas Bayu Sandi.
Berdasarkan pantauan Profauna menurut Bayu Sandi, ada beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di Kecamatan Muara Wahau dan Kecamatan Kombeng, Kabupaten Kutai Timur, antara lain, PT Tekno Orbit Persada (TOP) dan PT Med Coal.
Sebelumnya tambah dia, pada 3 Februari 2015, Dewan Adat Wehea telah menyampaikan aspirasinya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menolak adanya usaha pertambangan di wilayah ulayat Dayak Wehea.
Hutan Lndung Wehea,kata Bayu, sangat penting bagian kelestarian keragaman spesies.
Hingga saat ini telah teridentifikasi 61 spesies mamalia atau 27 persen dari mamalia di Kalimantan atau 35 persen dari mamalia di Kalimantan Timur, berasal dari sembilan ordo dan 22 famili.
Beberapa mamalia langka yang tinggal di Hutan Wehea itu antara lain orangutan (Pongo pygmaeus), Macan Dahan (Neofelis diardi), Kucing Batu (Pardofelis marmorata), Kucing Merah (Pardofelis Badia) dan Beruang Madu (Helarctos malayanus).
Selain mamalia, Hutan Lindung Wehea juga menjadi habitat sedikitnya 114 jenis burung dan 18 jenis kelelawar.
Selain itu, juga sudah teridentifikasi sedikitnya 59 jenis pohon bernilai ekonomis di Hutan Lindung Wehea.
"Melihat fungsi ekologi, sosial dan keragaman hayati yang begitu tinggi hutan di Wehea, Profauna mendukung masyarakat adat untuk menolak izin baru usaha pertambangan, HPH dan sawit," ujar Bayu Sandi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
Koordinator Profauna Borneo Bayu Sandi, dihubungi dari Samarinda, Kamis mengatakan, saat ini wilayah adat Dayak Wehea terancam kerusakan lingkungan yang luar biasa akibat adanya alih fungsi hutan menjadi HPH, pertambangan dan perkebunan sawit secara besar-besaran,.
"Alih fungsi hutan dan aktivitas tambang batu bara telah mengancam masa depan lingkungan yang sehat bagi masyarakat adat Dayak Wehea. Padahal, masyarakat adat Wehea selama ini menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan ekonomi, sosial dan budaya," ungkap Bayu Sandi.
Ungkapan penolakan tersebut, kata Bayu Sandi, dilakukan melalui unjuk rasa aktivis Profauna di depan Gedung Kehutanan Jakarta, dengan merantai diri di depan pintu masuk gedung, Kamis.
"Hari ini (Kamis), aktivis Profauna menggelar aksi penolakan melalui unjuk rasa di depan Kantor Kehutanan di Jakarta sebagai wujud protes atas terancamnya kelestarian hutan Wehea, di Kabupaten Kutai Timur, oleh pertambangan dan perkebunan sawit," kata Bayu Sandi.
Profauna yang mendampingi Lembaga Adat Wehea Desa Nehas Liah Bing sejak 2014 dalam mengelola Hutan Lindung Wehea seluas 38.000 hektare itu lanjut Bayu Sandi, memandang pemerintah pusat perlu turut campur dalam menyelamatkan hutan Wehea.
"Saat ini, wilayah adat Dayak Wehea terancam kerusakan lingkungan yang luar biasa. Alih fungsi hutan menjadi HPH, pertambangan dan perkebunan sawit secara besar-besaran, telah mengancam masa depan lingkungan yang sehat bagi masyarakat adat Dayak Wehea," katanya.
"Padahal masyarakat adat Wehea selama ini menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya.Profauna dan masyarakat adat Dayak Wehea mendesak pemerintah untuk tidak memberikan izin baru bagi usaha pertambangan, HPH dan perkebunan sawit," tegas Bayu Sandi.
Berdasarkan pantauan Profauna menurut Bayu Sandi, ada beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di Kecamatan Muara Wahau dan Kecamatan Kombeng, Kabupaten Kutai Timur, antara lain, PT Tekno Orbit Persada (TOP) dan PT Med Coal.
Sebelumnya tambah dia, pada 3 Februari 2015, Dewan Adat Wehea telah menyampaikan aspirasinya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menolak adanya usaha pertambangan di wilayah ulayat Dayak Wehea.
Hutan Lndung Wehea,kata Bayu, sangat penting bagian kelestarian keragaman spesies.
Hingga saat ini telah teridentifikasi 61 spesies mamalia atau 27 persen dari mamalia di Kalimantan atau 35 persen dari mamalia di Kalimantan Timur, berasal dari sembilan ordo dan 22 famili.
Beberapa mamalia langka yang tinggal di Hutan Wehea itu antara lain orangutan (Pongo pygmaeus), Macan Dahan (Neofelis diardi), Kucing Batu (Pardofelis marmorata), Kucing Merah (Pardofelis Badia) dan Beruang Madu (Helarctos malayanus).
Selain mamalia, Hutan Lindung Wehea juga menjadi habitat sedikitnya 114 jenis burung dan 18 jenis kelelawar.
Selain itu, juga sudah teridentifikasi sedikitnya 59 jenis pohon bernilai ekonomis di Hutan Lindung Wehea.
"Melihat fungsi ekologi, sosial dan keragaman hayati yang begitu tinggi hutan di Wehea, Profauna mendukung masyarakat adat untuk menolak izin baru usaha pertambangan, HPH dan sawit," ujar Bayu Sandi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015