Balikpapan (ANTARA Kaltim) -  Meski berdesakan tinggal di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Lamaru, Balikpapan Timur, ratusan pencari suaka asal Afghanistan dan Iran tetap terlihat gembira.

"Kami berusaha untuk gembira, sebab apa pun di sini aman, tidak ada perang," kata Reza Hussaini, 19 tahun, asal Afghanistan, Jumat.

Jumlah mereka seluruhnya ada 152 orang. Seluruhnya laki-laki berusia antara 17 tahun hingga 50 tahun. Hampir seluruhnya dari Afghanistan, dan satu dari Iran.

Ukuran Rumah Detensi Imigrasi di Lamaru itu mirip dengan rumah-rumah besar di komplek perumahan mewah Balikpapan Baru, lengkap dengan pagar jeruji besi setinggi lebih kurang empat meter. Rumah itu berwarna cokelat tua seperti baju seragam Pramuka.

Rudenim ini berlokasi di Kelurahan Lamaru, 30 km dari pusat kota Balikpapan. Letaknya tak jauh dari pantai dan berada di antara kebun-kebun kelapa milik penduduk. Tetangga-tetangganya selain beberapa rumah penduduk, juga ada sebuah sekolah menengah atas.

Sebelumnya, Reza bersama sekitar 80 temannya tinggal di Rumah Jabatan Kepala Kantor Imigrasi, persis di belakang Kantor Imigrasi Balikpapan di Jalan Jenderal Sudirman. Mereka ditampung di rumah dinas itu karena Rudenim di Lamaru sudah ditempati sekira 70 orang lebih pencari suaka seperti mereka juga.

Selama di rumah dinas Imigrasi, para pencari suaka mengisi waktu dengan bermain kartu, bemain dengan gadget miliknya, atau berjalan-jalan, baik di lingkungan rumah dinas itu, ke pantai Monpera, hingga ke mal yang memang relatif dekat dengan tempat penampungan mereka itu.

Pada Rabu (17/12) lalu, Pemkot Balikpapan memutuskan memindahkan mereka yang di rumah dinas Imigrasi ke Rudenim meski daya tampungnya sudah tidak memadai lagi.

"Kami khawatir dengan dampak yang mungkin terjadi," kata Wakil Wali Kota Balikpapan Heru Bambang.

Meski tidak ada kejadian apa pun selama para pencari suaka berada di rumah dinas tersebut, kekhawatiran muncul karena jumlah mereka yang semakin besar dan seluruhnya laki-laki dewasa.

"Jadi sebagai langkah pencegahan, kami kumpulkan saja dulu semua di Rudenim itu. Di situ dengan lingkungan tertutup mereka lebih mudah diawasi," tambah Waki Wali Kota.

Kini 152 pencari suaka tinggal berdesakan di Rudenim. Sebagian besar harus tidur di lantai dengan hanya beralas kardus.

Namun demikian, menurut Reza, tidur beralas kardus itu tidak apa-apa. "Tetapi kami bisa tidur nyenyak tidak ada yang ditakutkan," katanya.

Para pencari suaka ini berdatangan ke Balikpapan mulai November lalu. Sampai akhir November jumlahnya sudah 133 orang. Pada Desember, datang lagi 19 orang.

Semuanya berusaha mendapatkan status pengungsi dari UNHCR (United Nations High Commission for Refugee, Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Dengan status pengungsi, mereka dicarikan negara yang mau menampung. Umumnya negara ketiga ini negara yang pemerintahnya sudah menandatangani Konvensi Pengungsi seperti Australia.

Indonesia yang tidak ikut menandatangani konvensi itu hanya menjadi tujuan antara. Apalagi Indonesia juga menegaskan tidak memberi izin tinggal permanen. Begitu mereka mendapatkan negara yang mau menampung, pengungsi harus segera angkat kaki dari Indonesia.

Pemkot Balikpapan akhirnya juga tegas menolak kehadiran para pengungsi tersebut.

Ditanya kapan ia akan mendapat status pengungsi, Reza tidak tahu. Ia menggeleng lebih keras lagi ketika ditanya kapan dapat negara yang mau menampungnya.

Menurut catatan UNHCR, sampai saat ini ada 1.006 pengungsi di Indonesia, termasuk yang ada di Balikpapan. Mereka umumnya dari negara-negara yang tengah berkonflik di Asia Selatan dan Timur Tengah seperti Afghanistan, Iran, dan Irak, serta belakangan, juga Suriah.

Kedatangan para pencari suaka di Balikpapan, menurut satu sumber, adalah karena di Balikpapan ada fasilitas rumah detensi tersebut. Fasilitas serupa juga ada di Batam dan Makassar.

"Untuk mendapatkan status pengungsi bisa sampai 2-3 bulan," kata sumber itu. Bila sudah mendapatkan status itu, selain dibantu biaya hidupnya selama di pengungsian, oleh UNHCR juga dicarikan negara yang mau menampung.

"Itu prosesnya bisa lebih lama lagi. Syukur bila bisa cepat. Tapi ada juga yang mencapai tahunan. Ada yang tiga tahun lebih," tambahnya.

Di sisi lain, negara tujuan pertama seperti Indonesia juga tidak bisa mengusir pengungsi begitu saja, atau mengembalikan ke negara asalnya.

Menurut situs UNHCR, pemulangan ke negara asal tidak bisa dilakukan kecuali atas kerelaan si pengungsi sendiri.

Selama menunggu di Indonesia, pengu gsi dilarang memiliki pekerjaan tetap. Karena itu, pengungsi umumnya mengalami kesulitan keuangan.

Meski begitu, di rumah dinas Imigrasi di Jalan Jenderal Sudirman, maupun di Rudenim di Lamaru, menurut Kepala Seksi Penindakan dan Pengawasan Imigrasi Anton Sumarsono biaya makan mereka ditanggung IOM (International Organization for Migrant) organisasi internasional yang juga mengurusi pengungsi. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014