Pria paruh baya itu tampak sibuk membersihkan semak-semak di kebun yang tidak jauh dari kampungnya. Sesekali ia memandang hutan kampung yang ditumbuhi jenis palm bernama latin "Arengga pinnata" itu.

Siang itu ia terlihat bersemangat sambil sesekali menyeruput segelas kopi hitam. Pria berkulit sawo matang itu menerawang jauh ke depan.

Yulius Rusli Lubis (63), salah seorang warga RT 04 Desa Long Segar, Kecamatan Telen, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, itu berpikir keras bagaimana menghasilkan bahan bakar alternatif, sehingga tdak lagi bergantung kepada bahan bakar fosil, semisal minyak dan gas serta batu bara.

Kendati tergolong jauh dari perkotaan, warga desa yang mayoritas penduduknya suku Dayak Kenyah itu agaknya berpikiran maju. Desa Long Segar hanya bisa dijangkau melalui sungai dengan waktu tempuh sekitar enam jam dari Sangatta, Ibu Kota Kabupaten Kutai Timur.

Yulius, pria perantau asal Medan, Sumatera Utara, itu 28 tahun silam yang mempersunting gadis suku Dayak sejatinya memiliki impian besar, memproduksi bioetanol sebagai bahan bakar alternatif.

"Kami bercita-cita memproduksi bahan bakar nabati atau bioetanol dari nira aren genjah. Kalau ini berhasil warga tak lagi bergantung dari bahan bakar minyak yang sulit didapatkan di desa ini dan harganya juga mahal," tutur kakek yang pernah menjuarai lomba teknologi tepat guna (TTG) itu.

Keinginan warga Long Segar untuk memproduksi bioetanol dari nira aren genjah bukan mimpi di siang bolong. Yulius bersama 51 warga Long Segar sejak dua tahun lalu telah memulai menanam jenis tanaman palm itu 10.728 pohon pada lahan seluas 51 hektare.

Impian warga yang mendiami daerah aliran sungai itu memproduksi bahan bakar nabati dari nira aren genjah bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Mereka ingin memproduksi bioetanol secara besar-besaran.

Untuk merealisasikan mimpinya itu, Yulius yang dipercaya warga desa menjadi Ketua Kelompok Tani Segar Jaya dan Kelompok Tani Bina Warga telah menyiapkan 10 pemuda suku Dayak Kenyah untuk dilatih menjadi teknisi mesin untuk memproduksi bioetanol.

"Saya sudah menyiapkan 10 pemuda Suku Dayak dilatih menjadi teknisi mesin produksi bioetanol secara besar-besaran pada 2019," kata pria yang kerap menyabet juara lomba TTG tingkat Kabupaten Kutai Timur itu.

Kendati belum pernah mengenyam pendidikan tinggi, namun bagi Yulius teknologi untuk menciptakan suatu produk bukan hal baru, karena ia pernah mengikuti pelatihan pembuatan bioetanol dari nira aren di Manado, Sulawesi Utara, dengan bantuan Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Kutai Timur.

Pria paruh baya itu semakin optimis untuk mewujudkan impian dan cita-citanya menjadikan Kutai Timur lumbung bioetanol.

Untuk mewujudkan impiannya itu, Yulius dan warga desa lainnya meminta dukungan bahan pengolah pemurnian nilam dari Dinas Perkebunan Kutai Timur.

Bak gayung bersambut alat itu sudah ada di kantor Dinas Perkebunan Kutai Timur yang kebetulan tidak digunakan. Karena itu ia minta untuk digunakan.

Alat pengolah nira mejadi bahan bakar nabati bioetanol itu dari bahan stainles kemudian diubah dan dilengkapi perangkat lainnya.

"Selama ini saya mengolah nira enau menggunakan drum, yang tentu kurang higienis. Kalau menggunakan stainles, pasti lebih baik hasilnya," tutur Yulius.

Saat ini warga Desa Long Segar yang tergabung dalam kelompok tani yang diketuainya sudah memproduksi bioetanol skala kecil dengan bahan baku nira aren genjah milik warga sebanyak 45 pohon.

"Hasil nira aren dari 45 pohon itu bisa memproduksi sekitar 900 liter nira aren setiap hari. Kalau diolah akan menghasilkan 185 liter etanol," kata pria yang mengaku pernah menjadi biarawan di Bali itu.

Etanol yang diproduksi warga Suku Dayak di Desa Long Segar itu sudah dimanfaatkan oleh sejumlah puskesmas di Kutai Timur untuk proses pengobatan.

Kalau selama ini nira enau atau aren diolah menjadi gula merah atau minuman tradisional "tuak", suku Dayak di Desa Long Segar berhasil mengolahnya menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi berupa bahan bakar nabati yang ramah lingkungan.

Bagi warga desa yang mendiami daerah aliran Sungai Wahau di Kutai Timur itu, nira aren tak hanya bisa diolah menjadi gula merah untuk bahan pemanis berbagai jenis kuliner tradisional atau "tuak", minuman tradisional yang memabukkan, tetapi menjadi produk bahan bakar ramah lingkungan.



Mendapat Dukungan

Keinginan warga Desa Long Segar untuk memproduksi bioetanol secara besar-besaran, bahkan menjadi lumbung bioetanol terbesar di Benua Etam ini mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.

Kepala Dinas Perkebunan Kutai Timur Akhmadi Baharuddin menyatakan mendukung upaya warga yang tergabung dalam kelompok tani di Desa Long Segar untuk mengembangkan tanaman aren genjah.

"Kami akan mendorong warga untuk mengembangkan tanaman aren genjah, karena ke depan aren genja menjadi salah satu unggulan Kutai Timur di subsektor perkebunan," katanya.

Pada 12 Juli 2011, hasil sidang Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V) memutuskan bahwa aren genjah Kutai Timur memenuhi syarat untuk dilepas sebagai varietas unggul oleh Menteri Pertanian.

Hal ini menjadikan aren genjah Kutai Timur sebagai varietas aren yang pertama dilepas. Pelepasan varietas aren genjah tersebut merupakan hasil kerja sama eksplorasi dan karakterisasi antara Balai Pelatihan dan Pengembangan Tanaman Perkebunan (Balitka) dengan Pemda Kabupaten Kutai Timur.

Aren genjah Kutai Timur memiliki keunggulan dari segi umur produksi yang relatif cepat, sekitar 5-6 tahun dan tinggi tanaman yang hanya sekitar 3-4 meter sehingga mudah dalam upaya penyadapan nira dan memiliki produksi nira yang cukup tinggi.

Prospek pengembangan produk bioetanol berbahan baku utana nira aren ini nampaknya cukup cerah, karena ke depan kebutuhan bahan bakar nabati akan semakin meningkat sejalan dengan kian menipisnya cadangan bahan bakar fosil.

Ahli kehutanan Willie Smits mengatakan pohon aren bukan sekadar tanaman serbaguna tetapi juga paling produktif menghasilkan etanol.

"Penelitian saya menunjukkan tidak ada pohon yang dapat menghasilkan jumlah bahan bakar alternatif lebih dari pada pohon aren," katanya.

Menurut dia, pohon aren mampu menghasilkan 82 etanol per hektare (ha) per tahun. Dalam satu ha dapat ditanami 70 pohon aren yang masing-masing tanaman pada saat terproduktifnya mampu menghasilkan 13-20 liter etanol per hari.

Tidak seperti kelapa sawit yang bersifat monokultur. Pohon aren justru dapat hidup dengan sistem tumpang sari. Semakin jauh jarak tanam dengan pohon lain justru membuat hidup tanaman bernama latin Arenga pinnata itu tidak maksimal.

Karena itu, menurut dia, tanaman yang dapat dimanfaatkan dari akar hingga daunnya tersebut sangat tepat jika dikembangkan untuk memproduksi etanol dan mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak.

Ahli kehutanan itu mengatakan ada 70 juta ha lahan di Indonesia yang cocok ditanami pohon aren. Dengan kemampuan produksi 82 barel etanol per ha per tahun, maka diperkirakan hanya butuh lahan seluas empat juta ha untuk menghentikan impor bahan bakar minyak sekitar 700 ribu barel per hari.

"Karena itu secara investasi pengembangan pohon aren untuk etanol ini lebih menguntungkan dari investasi IT," ujar Ketua Yayasan Masarang ini.

Tanaman yang juga dikenal dengan palm sugar ini, menurut dia, memiliki akar serabut namun mampu menembus kedalaman hingga delapan meter. Karenanya pohon ini juga mampu mencegah longsor karena mencengkram erat batu dan tanah.

Dengan demikian pohon aren yang mampu hidup meski tanpa pupuk dan menyerap sinar matahari begitu besar ini, ia mengatakan dapat menjadi pilihan tepat digunakan untuk reboisasi.

Sejatinya keinginan warga Desa Long Segar, Kecamatan Talen, Kabupaten Kutai Timur untuk "menyulap" desa mereka menjadi lumbung bioetanol nampaknya bukan sekedar impian belaka.

Lima tahun mendatang atau pada 2019 desa kecil di daerah aliran Sungai Wahau itu akan bersinar dan menjadi lumbung bioetanol terbesar di Bumi Borneo. Saat itu warga desa itu diperkirakan akan berjaya sebagai sentra produksi bioetanol dari nira aren.(*) 

Pewarta: Masnun Masud

Editor : Masnun


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014