Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman Purwadi Purwoharsojo mengatakan bahwa kebijakan antrean bahan bakar minyak (BBM) yang tidak efektif dapat memicu inflasi daerah.
 
"Jika transportasi pengangkut bahan pokok penting mengalami kendala karena antrean BBM, maka akan ada keterlambatan pasokan ke pasar. Ini akan menimbulkan kelangkaan dan kenaikan harga bahan pokok, yang akan mendorong inflasi," ujar Purwadi kepada ANTARA di Samarinda, Selasa.
 
Menurutnya, antrean BBM yang berlarut-larut dapat mengganggu transportasi pengangkut bahan pokok penting, yang berdampak pada keterlambatan pasokan dan kenaikan biaya pengangkutan.
 
Purwadi juga menilai bahwa peraturan Ganjil-Genap yang diterapkan di Samarinda dapat memperparah situasi, karena dapat membatasi akses para pengangkut bahan pokok untuk mendapatkan BBM.
 
"Jika nomor plat kendaraan mereka berada di hari yang tidak boleh mengantre, maka mereka akan kesulitan mendapatkan BBM. Mereka mungkin akan mencari BBM di luar SPBU, yang tentu saja lebih mahal. Ini akan menambah biaya pengangkutan yang juga akan berpengaruh pada inflasi," tutur Purwadi.
 
Purwadi menyarankan agar pemerintah mengevaluasi kebijakan antrean BBM dan peraturan Ganjil-Genap, serta meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengatasi masalah distribusi BBM.
 
"Kebijakan antrean BBM dan peraturan Ganjil-Genap harus disesuaikan dengan kondisi lapangan dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah juga harus berkoordinasi dengan Pertamina, SPBU, dan pengusaha transportasi untuk memastikan ketersediaan dan kelancaran distribusi BBM," jelas Purwadi.
 
Purwadi memaparkan bahwa solusi untuk mengatasi masalah antrean bahan bakar minyak (BBM) di Kalimantan Timur (Kaltim) bukan dengan mengatur sistem antrean, melainkan dengan menambah jumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
 
"Pemerintah bersama Pertamina mesti duduk bersama memikirkan ini," ujar Purwadi.
 
Menurutnya jumlah SPBU di Kaltim saat ini sangat tidak seimbang dengan jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat. Merujuk pada data Pertamina, Kaltim hanya memiliki 87 unit SPBU, jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan provinsi tetangga seperti Kalimantan Barat (Kalbar) yang memiliki 146 unit SPBU dan Kalimantan Selatan (Kalsel) yang memiliki 137 unit SPBU.
 
"Karena jarak antar SPBU cukup jauh dan juga jarang, maka muncul fenomena Pertamini yang tumbuh menjamur," papar Purwadi.
 
Seperti di ketahui Pertamini adalah pengecer BBM yang menggunakan mesin pompa bensin mini. Mereka membeli BBM dari SPBU dengan menggunakan mobil atau motor, kemudian menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi.
 
Purwadi menambahkan, Pertamini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga menyebabkan kerugian negara. Pasalnya, Pertamini menjual BBM bersubsidi yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi golongan tertentu. Selain itu, Pertamini juga berpotensi menimbulkan masalah lingkungan dan keselamatan.
 
Belum lagi, katanya, Pertashop yang merupakan mitra resmi Pertamina yang ternyata hanya menjual BBM non subsidi, banyak yang kurang berjalan. Ini yang harus dipikirkan ke depan. Membasmi pengecer mesti ada solusi konkret. 
 
"Pemerintah harus tegas dalam menegakkan aturan dan melakukan sidak ke semua SPBU. Jangan tebang pilih," tegas Purwadi.
 

Pewarta: Ahmad Rifandi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023