Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menanggung biaya penanganan pasien COVID-19 peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional berdasarkan indikasi medis.
"Tergantung diagnosisnya apa, karena kalau kena COVID-19 apakah pernapasan, atau otak, itu yang menonjolnya apa," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti dalam Dialog FMB9 yang diikuti via daring di Jakarta, Senin.
Dalam pembiayaan pasien peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional, kata dia, BPJS Kesehatan berpegang pada penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala utama yang dialami oleh pasien.
Ghufron mengatakan, klaim pembiayaan juga berlaku bagi diagnosis tambahan bila menurut dokter hal itu diperlukan.
Baca juga: Menko PMK: Perawatan COVID-19 ditanggung BPJS
Sesuai dengan alur layanan BPJS Kesehatan, pelayanan awal dilakukan di fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas atau klinik kesehatan, yang selanjutnya bisa merujuk pasien ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit yang mampu menangani pasien COVID-19.
"Kalau dari layanan primer dirujuk ke RS (rumah sakit), maka pihak RS akan menegakkan diagnosisnya. Kami akan bayar jika sesuai indikasi medis," kata Ghufron.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu memastikan seluruh rumah sakit yang melayani pasien COVID-19 telah memiliki fasilitas isolasi dan standar operasional prosedur (SOP) penanganan pasien.
Baca juga: Kebijakan Endemi diatur melalui Keppres
"Layanan khusus lewat isolasi diatur sendiri. Sejak 2020 kami minta semua RS merawat pasien COVID-19, sehingga saat ini RS memiliki 10 persen kapasitas rawatnya untuk ruang isolasi," katanya.
Apabila pada masa endemi terjadi kejadian luar biasa penularan COVID-19, Maxi mengatakan, maka ada ketentuan pemerintah yang mengharuskan rumah sakit meningkatkan kapasitas ruang isolasi menjadi 30 persen dari ruang rawat.
"Penanganan COVID-19 di RS saat ini sudah seperti penyakit biasa. Saat masuk IGD, dia tinggal dimasukkan ke isolasi, sebab setiap RS sudah punya SOP penanganan COVID-19," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023
"Tergantung diagnosisnya apa, karena kalau kena COVID-19 apakah pernapasan, atau otak, itu yang menonjolnya apa," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti dalam Dialog FMB9 yang diikuti via daring di Jakarta, Senin.
Dalam pembiayaan pasien peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional, kata dia, BPJS Kesehatan berpegang pada penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala utama yang dialami oleh pasien.
Ghufron mengatakan, klaim pembiayaan juga berlaku bagi diagnosis tambahan bila menurut dokter hal itu diperlukan.
Baca juga: Menko PMK: Perawatan COVID-19 ditanggung BPJS
Sesuai dengan alur layanan BPJS Kesehatan, pelayanan awal dilakukan di fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas atau klinik kesehatan, yang selanjutnya bisa merujuk pasien ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit yang mampu menangani pasien COVID-19.
"Kalau dari layanan primer dirujuk ke RS (rumah sakit), maka pihak RS akan menegakkan diagnosisnya. Kami akan bayar jika sesuai indikasi medis," kata Ghufron.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu memastikan seluruh rumah sakit yang melayani pasien COVID-19 telah memiliki fasilitas isolasi dan standar operasional prosedur (SOP) penanganan pasien.
Baca juga: Kebijakan Endemi diatur melalui Keppres
"Layanan khusus lewat isolasi diatur sendiri. Sejak 2020 kami minta semua RS merawat pasien COVID-19, sehingga saat ini RS memiliki 10 persen kapasitas rawatnya untuk ruang isolasi," katanya.
Apabila pada masa endemi terjadi kejadian luar biasa penularan COVID-19, Maxi mengatakan, maka ada ketentuan pemerintah yang mengharuskan rumah sakit meningkatkan kapasitas ruang isolasi menjadi 30 persen dari ruang rawat.
"Penanganan COVID-19 di RS saat ini sudah seperti penyakit biasa. Saat masuk IGD, dia tinggal dimasukkan ke isolasi, sebab setiap RS sudah punya SOP penanganan COVID-19," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023