Bangkok, 15/12 (Antara) - Sebagai tuan rumah penyelenggara SEA Games 2013, ada rasa pembenaran jika Myanmar untuk sementara menjadi negara pengumpul pundi medali emas terbanyak meskipun populasi penduduknya hanya 50 juta jiwa dengan wilayah hanya sekitar 30 persen dari Indonesia.
        Meskipun, sebenarnya Myanmar belakangan ini mengalami kemajuan  signifikan pada beberapa cabang olahraga, termasuk sepak bola.
        Bahkan, Indra Safri, pelatih Timnas Indonesia U-19 dan Yeyen Tumena, asisten pelatih Timnas Indonesia Senior  yang juga anggota High Performance Unit (HPU) Badan Tim Nasional Indonesia meramalkan bahwa Myanmar akan jadi kekuatan baru di kawasan ASEAN.
            Dalam beberapa kali penampilannya, seperti Vietnam, tim Myanmar menjadi kekuatan dengan militansi tinggi. Bahkan, spirit pantang lelah khas negara yang sering konflik-perang saudara itu merepotkan tim-tim kuat di kawasan ASEAN, termasuk Thailand dan Vietnam, juga Indonesia.
          Lihat saja, pada SEA Games 2013, peluang Timnas Indonesia U-23 untuk lolos ke babak semifinal cabang sepak bola kian berat setelah gagal melumpuhkan "saudaranya mudanya" Timor Leste pada lanjutan penyisihan Grup B di Stadion Thuwunna, Yangon, Sabtu (14/12).
          Kegagalan itu, Indonesia terpaksa di peringkat ketiga dengan empat poin, atau tertinggal dua poin dari Thailand dan Myanmar di dua besar. Indonesia hanya menanti datangnya "Dewa Fortuna" atau hasil yang menguntungkan dari pertandingan Thailand dan Myanmar.
           Akhirnya, jutaan penggemar sepak bola di Tanah Air kembali kecewa karena melihat Timnas Indonesia harus angkat koper lebih cepat karena hasil imbang 1-1 antara Thailand melawan Myanmar di Thuwunna Stadium, Yangon, Sabtu (14/12/2013), menutup peluang skuat Garuda Muda.
           Terlepas dari persoalan olahraga, khususnya kegagalan tim sepak bola yang menjadi pembicaraan panjang, maka Myanmar meskipun kini kondisi negaranya masih jauh tertinggal --khususnya pada sektor pembangunan, perekonomian dan demokrasi-- ketimbang Indonesia namun ternyata punya potensi besar menjadi kekuatan baru di kawasan ASEAN.
          Menyelusuri lorong-lorong Kota Yangon dan melintasi jalan-jalan protokol sepertimengendarai "mesin waktu" karena banyak sekali bangunan tua yang tidak terawat. Sejumlah bangunan baru atau apertement seperti sama tuanya dengan bangunan-bangunan kolonial Inggris karena warna catnya sudah mengkelupas di sana-sini. Bahkan, beberapa warga Indonesia yang baru tiba menyebutkan bahwa beginilah wajah Jakarta pada 1970-an.

    

Setia Dengan Budaya

       Detik waktupun seakan berhenti, melihat kehidupan sosial budaya di Myanmar yang paling mencolok adalah warganya sangat setia menggunakan pakaian tradisional "Longyi" atau kain sarung baik pria maupun wanita.

            Bagi warga Indonesia, kain sarung biasanya hanya dipakai saat salat Magrib, Jumatan, Lebaran, sunatan, nikah, atau acara selamatan. Namun, di Myanmar, kain sarung adalah pakaian  sehari-hari dan bagian dari baju resmi.

     Tradisi lain yang sudah ditinggalkan oleh warga Kalimantan mungkin 50 atau 70 tahun silam adalah mengenakan bedak atau masker. Jika di Kalimantan bedak atau "pupur dingin" terbuat dari beras dan singkong maka di Myanmar namanya Thanaka atau hasil menggerus dari kayu Thanaka menggunakan batu giling.

     Wajah anak sekolah, ibu-ibu atau gadis Myanmar meskipun tadinya cantik, akhirnya menjadi lucu karena coreng-moreng akibat bedak putih di pipi mereka yang fungsinya sebagai "sunblock".

     Di mana-mana, wanita di Myanmar menggunakan bedak masker itu baik di pasar, sekolah maupun kanto-kantor pemerintah dan swasta.

     Seperti Thailand, maka Myanmar juga cukup ketat membuat peraturan bagi para perokok sehingga tidak mudah menemukan tempat-tempat "smoking area". Mungkin, pemerintah Myanmar lebih mudah menekan angka perokok di negaranya karena budaya "menginang" (mengunyah kapur sirih) masih membudaya di sana.

     "Terlepas dari masalah sedap di pandang atau tidak saat mereka mengenakan kain sarung dan bedak masker namun kita mestinya salut terhadap warga Myanmar yang masih kuat memegang teguh tradisi dan budaya mereka. Jepang juga bisa menjadi negara sangat maju namun tetap menjaga kelestarian budayanya," ujar anggota DPRD Kalimantan Timur Rusman Ja'cub yang kebetulan dalam kunjungan kerja di Yangon.

     Ia menilai bahwa seharusnya sikap warga Myanmar itu menjadi introspeksi  agar berbagai kemajuan tidak membuat membuat bangsa Indonesia kehilangan jati dirinya.

            "Bahkan, kalau kita melihat berbagai potensi dan peluangnya, maka bukan tidak mungkin Myanmar dalam beberapa tahun akan datang bisa lebih maju dari Indonesia," ujar politisi dari Partai Persatuan Pembangunan itu.

     Peluang Myanmar untuk menyelip negara-negara ASEAN dalam mengejar ketertinggalannya cukup besar. Peluang dan potensi itu antara lain, tenaga kerja murah, serta letak yang strategis di antara Thailand dan China yang kini menjadi negara dengan kekuatan ekonomi paling kokoh.

            Lihat saja, barang-barang elektronik modern dari China dengan kualitas "KW super" (tiruan yang benar-benar mendekati aslinya) dan "KW 1" membanjiri bangunan-bangunan tua di Myanmar yang dijadikan toko. Telepon selular dan smartphone terbaru semua tersedia dengan harga sangat miring ketimbang di Indonesia.

     Beberapa warga Indonesia tampak memborong Galaxy Note3 yang harganya di Indonesia sekitar Rp8 jutaan namun di Myanmar sekitar Rp1 juta atau di Bangkok, Thailand sekitar Rp1,4 juta.

           Mereka mengaku tidak khawatir dengan kualitasnya karena berdasarkan penjelasan teman-teman mereka bahwa barang-barang itu termasuk KW Super sehingga sedikit sekali perbedaannya dengan yang produk asli.

    
Lebih Egalitarian

"Bisa saja Indonesia tertinggal. Kenyataannya tidak ada pemerintahan  militer bisa bertahan selamanya. Korea Selatan sama-sama menjadi negara berkembang seperti Indonesia ketika dikuasai oleh militer namun kini mereka menjadi negara maju sementara Indonesia tetap negara berkembang," ujar Rusman.

     Ia juga menilai bahwa Myanmar berhasil meraih sukses "fenomenal" saat memindahkan ibu kota negara dari Yangon ke Naypyidaw kurang lebih 320 kilometer di sebelah utara Yangon sejak 2005.

            "Pemindahan ini sehingga Myanmar telah mempersiapkan infratruktur bagi kemajuan sebuah kota, termasuk mengantisipasi terjadi kemacetan seperti telah dilakukan juga oleh Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Sementara di Indonesia, kita masih berkutat mengatasi kemacetan luar biasa di Jakarta, sementara pemindahan ibu kota negara masih tingkat wacana," imbuh Rusman.

            Hal senada diutarakan oleh Joko, seorang pengusaha biro perjalanan wisata "Trans Borneo" yang ditemui di Bangkok.

     "Karena dekat dengan Thailand, maka bisa menjadi sebuah paket wisata sangat menarik. Myanmar juga memiliki potensi obyek wisata alam yang disukai oleh wisatawan asing dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat," katanya.

            Selain itu, Myanmar memiliki peluang sangat besar dari potensi wisata agama karena daerah tersebut menjadi "kota suci" utama bagi pemeluk agama Budha.

            Berbagai potensi tersebut menyebabkan kini Myanmar, dulunya bernama Birma kini menjadi incaran pemodal=pemodal besar dari China yang menanti adanya angin perubahan.

     Apalagi, Myanmar punya potensi besar agar berkembang menjadi sistem kekuasaan yang lebih egalitarian ketimbang Thailand, mengingat masyarakat "Negeri Gajah Putih" itu dengan struktur hirarki yang sangat kental sedangkan Myanmar lebih dinamis.

            Melihat berbagai hal itu, maka tidak ada salahnya bangsa Indonesia bukan hanya mewaspadai kekuatan olahraga Myanmar namun juga sektor lain agar tetap menjadi negara terdepan, paling tidak di kawasan ASEAN.

Pewarta: Iskandar Z Datu

Editor : Iskandar Zulkarnaen


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013