Samarinda (ANTARA Kaltim) - Pegiat konservasi orangutan meminta aparat agar warga yang membunuh Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di Pontinak, Kalimantan Barat, segera diproses secara hukum karena ada undang-undang yang melindungi.
"Pembunuhan oleh sejumlah warga terhadap satu ekor orangutan jantan berusia sekitar 20 tahun itu terjadi pada 22 Oktober 2013, di Desa Peniraman, Sungai Pinyuh, Pontianak, Kalimantan Barat," ujar Karmele LLano Sanches, Advisor International Animal Rescue dihubungi dari Samarinda, Kaltim, Senin.
Sebelumnya, kata dia, di desa yang sama, pada 21 November 2010, terdapat satu ekor Orangutan Kalimantan berjenis kelamin betina, dibunuh warga dengan cara menenggelamkannya ke dalam kolam.
Kejadian yang lain adalah, pada Agustus 2012 ada satu Orangutan Kalimantan berjenis kelamin jantan, usia sekitar 15 tahun juga menemui ajalnya setelah pohon
kelapa yang dijadikannya tempat berlindung dari kejaran masyarakat, dibakar.
Orangutan tersebut ditemukan di kebun karet rakyat di daerah Parit Wa' Dongkak, Wajok, Kabupaten Pontianak pada 25 Agustus 2012.
Orangutan itu baru berhasil dievakuasi dua hari kemudian, atau tanggal 27 Agustus
2012 dalam kondisi sekarat karena luka bakar, stress, dan komplikasi lainnya sehingga satwa yang seharusnya dilindungi itu akhirnya mati.
Pada kwartal ketiga 2011, lanjutnya, kasus pembantaian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio) oleh perusahaan kelapa sawit juga terungkap di Kalimantan Timur.
Setelah kasus tersebut diekspos secara luas di berbagai media massa serta dibantu oleh gerakan SaveOrangutans di jaringan sosial media, barulah laporan resmi
mengenai pembantaian orangutan tersebut berhasil masuk ke Kementerian Kehutanan dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Selanjutnya kasus itu dilakukan investigasi, penangkapan, dan hukuman penjara terhadap empat orang staf perusahaan kelapa sawit yang bertanggung jawab atas
kejadian itu. Pelaku kemudian dijatuhi hukuman penjara delapan bulan pada April 2012.
Menurutnya, penegakan hukum terhadap pelaku pembantaian orangutan di Kalimantan Timur tersebut baru merupakan yang kedua kalinya berhasil terlaksana
dalam sejarah Indonesia, sejak disahkannya Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, para pelaku kejahatan dan kekejaman terhadap orangutan dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda sebesar maksimal Rp100 juta rupiah.
Sementara kejadian dan kejahatan serupa telah berulang kali terjadi. Sebagian besar peristiwa ini hanya berujung ramainya pemberitaan di media massa, namun tidak ada penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat yang berwenang.
Sementara itu, Adi Irawan, dokter hewan di Yayasan IAR Indonesia, di Pontianak mengatakan bahwa pembantaian orangutan di Desa Paniraman, Kalimantan Barat tersebut, terjadi sekitar 12 jam sebelum pihaknya menemukannya.
Dari hasil otopsi yang dia lakukan, bahwa meninggalnya orangutan itu karena mendapat siksaan dengan benda tumpul dan benda tajam, sehingga mengalami luka di banyak bagian, termasuk luka hingga tengkorak.
Dari otopsi pula diperoleh kepastian, bahwa sebelum dibunuh, orangutan itu dalam
keadaan sehat, hal ini dapat dilihat dari rambut yang masih bagus, termasuk perut yang menandakan bahwa orangutan itu masih makan dengan teratur. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013
"Pembunuhan oleh sejumlah warga terhadap satu ekor orangutan jantan berusia sekitar 20 tahun itu terjadi pada 22 Oktober 2013, di Desa Peniraman, Sungai Pinyuh, Pontianak, Kalimantan Barat," ujar Karmele LLano Sanches, Advisor International Animal Rescue dihubungi dari Samarinda, Kaltim, Senin.
Sebelumnya, kata dia, di desa yang sama, pada 21 November 2010, terdapat satu ekor Orangutan Kalimantan berjenis kelamin betina, dibunuh warga dengan cara menenggelamkannya ke dalam kolam.
Kejadian yang lain adalah, pada Agustus 2012 ada satu Orangutan Kalimantan berjenis kelamin jantan, usia sekitar 15 tahun juga menemui ajalnya setelah pohon
kelapa yang dijadikannya tempat berlindung dari kejaran masyarakat, dibakar.
Orangutan tersebut ditemukan di kebun karet rakyat di daerah Parit Wa' Dongkak, Wajok, Kabupaten Pontianak pada 25 Agustus 2012.
Orangutan itu baru berhasil dievakuasi dua hari kemudian, atau tanggal 27 Agustus
2012 dalam kondisi sekarat karena luka bakar, stress, dan komplikasi lainnya sehingga satwa yang seharusnya dilindungi itu akhirnya mati.
Pada kwartal ketiga 2011, lanjutnya, kasus pembantaian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio) oleh perusahaan kelapa sawit juga terungkap di Kalimantan Timur.
Setelah kasus tersebut diekspos secara luas di berbagai media massa serta dibantu oleh gerakan SaveOrangutans di jaringan sosial media, barulah laporan resmi
mengenai pembantaian orangutan tersebut berhasil masuk ke Kementerian Kehutanan dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Selanjutnya kasus itu dilakukan investigasi, penangkapan, dan hukuman penjara terhadap empat orang staf perusahaan kelapa sawit yang bertanggung jawab atas
kejadian itu. Pelaku kemudian dijatuhi hukuman penjara delapan bulan pada April 2012.
Menurutnya, penegakan hukum terhadap pelaku pembantaian orangutan di Kalimantan Timur tersebut baru merupakan yang kedua kalinya berhasil terlaksana
dalam sejarah Indonesia, sejak disahkannya Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, para pelaku kejahatan dan kekejaman terhadap orangutan dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda sebesar maksimal Rp100 juta rupiah.
Sementara kejadian dan kejahatan serupa telah berulang kali terjadi. Sebagian besar peristiwa ini hanya berujung ramainya pemberitaan di media massa, namun tidak ada penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat yang berwenang.
Sementara itu, Adi Irawan, dokter hewan di Yayasan IAR Indonesia, di Pontianak mengatakan bahwa pembantaian orangutan di Desa Paniraman, Kalimantan Barat tersebut, terjadi sekitar 12 jam sebelum pihaknya menemukannya.
Dari hasil otopsi yang dia lakukan, bahwa meninggalnya orangutan itu karena mendapat siksaan dengan benda tumpul dan benda tajam, sehingga mengalami luka di banyak bagian, termasuk luka hingga tengkorak.
Dari otopsi pula diperoleh kepastian, bahwa sebelum dibunuh, orangutan itu dalam
keadaan sehat, hal ini dapat dilihat dari rambut yang masih bagus, termasuk perut yang menandakan bahwa orangutan itu masih makan dengan teratur. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013