Samarinda (ANTARA Kaltim) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Timur meminta Pemkab Bulungan meninjau ulang rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air karena berpotensi menenggelamkan dua desa di kawasan itu.

"PLTA berkapasitas 6.600 Megawatt yang akan dibangun di Kecamatan Peso itu memiliki potensi besar menenggelamkan dua desa, yakni Desa Long Peleban dan Desa Long Leju yang dihuni sekitar 700 jiwa," ucap Direktur Walhi Kalimantan Timur (Kaltim) Isal Wardana di Samarinda, Jumat.

Menurutnya, mega proyek yang menelan dana Rp161,5 triliun tersebut diyakini bakal membengkak paling tidak 50 persen dari perkiraan awal.

Lagi pula pembiayaan untuk pembangunannya belum jelas, apakah murni dari investor, atau ada join antara Pemkab Bulungan, Pemprov Kaltara, Pemerintah RI, atau dengan pinjaman luar negeri.

Apabila ada masuk pinjaman luar negeri dalam pembangunannya, maka hal itu justru akan mencekik rakyat, pasalnya utang luar negeri pasti akan dibebankan kepada masyarakat untuk membayarnya.

Dia meminta agar Bupati Bulungan Budiman Arifin menyadari dampak negatif pembangunan bendungan berskala besar itu, pasalnya tujuan pembangunan adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan warganya, bukan mala merusak pemukiman yang ada.

Menurutnya, mega proyek PLTA itu dua dekade akan menimbulkan efek negatif signifikan terhadap lingkungan hidup, termasuk keberlangsungan hidup masyarakat lokal di bagian hulu dan hilir bendungan.

Akibat proyek itu, lanjutnya, maka akan ada ratusan bahkan mungkin ribuan jiwa warga, termasuk perempuan dan anak-anak akan dipindahkan.

Dalam pemindahan itu bukan tidak mungkin akan dilakukan secara paksa, sehingga dampaknya adalah mengorbankan masyarakat dan kawasan itu akan kehilangan identitas budaya, warga akan mendapat tempat tinggal tak layak huni, mendiami lahan yang tak produktif, warga terpaksa eksodus karena pemerintah mengadopsi model liberalisasi ekonomi dan energi.

Menurutnya, bisa jadi pemerintah menggunakan berbagai cara politik, sosial, dan ekonomi untuk menekan rakyat agar menyepakati pembangunan proyek PLTA.

Apabila hal ini terjadi, lanjutnya, maka pemerintah akan melanggar kaidah-kaidah Free Prior and Informed Consent (FPIC) karena tidak memberikan informasi tepat sebuah mega proyek, sehingga masyarakat kehilangan hak untuk menyepakati atau menolak tanpa paksaan.

Dia juga mengatakan bahwa dalam laporan yang ditemukan World Commission on Dams, bendungan besar akan berdampak besar pula pada lingkungan hidup, antara lain tidak dapat direstorasi, kelangkaan spesies, hilangnya hutan, lahan basah, dan pertanian.

Selain itu, akan hilangnya pula biodiversitas, perikanan hulu dan hilir sungai, dan dampak dari limpasan banjir hilir sungai, lahan basah dan estuari sungai dan ekosistem air yang berhubungan.

Parahnya lagi, dampak negatif teerhadap lingkungan hidup tersebut tidak diprediksi, kemudian usaha meredakan dampak tersebut selalu gagal.

Isal juga mengatakan bahwa bendungan itu menghasilkan emisi gas rumah kaca (grk) akibat pembusukan dari vegetasi dan tanah yang terbanjiri.

Kemudian materi organik yang mengalir ke dalam penampungan dari catchment air, sehingga sekitar 1-28 persen grk dihasilkan dari reservoir air.

Pada beberapa kasus, emisi dari penampungan air sebanding atau lebih besar dari hasil pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau gas.

Tingginya emisi yang dihasilkan itu tentu saja sangat bertentangan dengan program pengurangan emisi Pemerintah RI yang bertujuan meminimalisir perubahan iklim.

Sedangkan janji-janji investor bendungan secara aktual sering lebih rendah dari yang diperkirakan saat proyek dilakukan, yakni energi listrik kurang dari yang diprediksi, persediaan air yang tidak mencapai target bahkan terdapat kasus sampai 70 persen target tak tercapai. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013