ISTILAH `blusukan` yang pertama kali dipopulerkan media saat kampanye Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi itu, ternyata juga `diadopsi` tiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim dalam melakukan kampanye.

Metode kampanye `blusukan` atau menemui lansung masyarakat itu terlihat dilakukan dua dari tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Kaltim pada hari pertama kampanye sementara satu pasangan memilih melaksanakan kampanye monologis.

Pasangan nomor urut 1 yang merupakan calon `incumbent` Awang Faroek Ishak-Mukmin Faisyal pada hari pertama kampanye lebih memilih melaksanakan kampanye monologis di Kabupaten Kutai Barat.

Sementara, pasangan nomor urut 2, Farid Wadjdy-Sofyan Alex yang mendapat kesempatan pertama berkampanye di Kota Samarinda, memilih `blusukan` di sejunmlah pasar tradisional di ibukota Kaltim itu.

Metode `blusukan` itu juga dilakukan pasangan nomor urut 3 Imdaad Hamid-Ipong Muchlissoni saat berkampanye di Kota Balikpapan.

"Teknik `blusukan` atau mendatangi masyarakat merupakan strategi pasangan calon gubernur agar dapat meraih simpatik dari masyarakat. Tentunya, mungkin menurut mereka (pasangan calon) cara `blusukan` ini dinilai efektif untuk mendapatkan simpatik atau pedagang di pasar-pasar tradisional," ungkap Pengamat Politik dan Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, Prof Sarosa Hamongpranoto, SH. MHum.

Walaupun tidak melakukan kampanye model `blusukan` pada hari pertama kampanye, namun pasangan Awang Faroek-Mukmin Faisyal akhirnya juga `menyasar` pasar tradisional saat berkampanye di Kabupaten Berau.

Selama tujuh hari masa kampanye, pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur Kaltim, yakni, Farid Wadjdy-Sofyan Alex dan Imdaad Hamid-Ipong Muchlissoni, terus `bergerilya` di sejumlah pasar tradisional di Kaltim dan Kaltara.

"Semoga, cara `blusukan` itu tidak hanya berlangsung saat berkampanye saja, tetapi mereka (pasangan calon) tetap mempertahankan baik saat terpilih maupun di luar masa pesta demokrasi. Cara ini tentu sangat menguntungkan kedua belah pihak, sebab pasangan calon dapat menyerap aspirasi masyarakat bawah secara langsung sementara masyarakat merasa senang bisa menyampaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya," kata Sarosa.

Bagi masyarakat, siapapun pasangan calon yang mendatangi mereka tentunya akan menjadi tempat `curhat` terhadap berbagai persoalan yang dihadapi.

"Bagi kami, siapapun yang datang tetap disambut dengan ramah sebab bagaimanapun, mereka adalah calon pemimpin. Mereka datang dengan menawarkan berbagai janji jika kami memilih mereka. Banyak juga teman-teman yang bingung, sebab janji mereka (pasangan calon) semuanya baik dan terdengar memberi haraan kepada masyarakat kecil," ujar seorang pedagang di Pasar Segiri Samarinda, Anas.

Namun, bagi masyarakat khususnya pedagang kata Anas, tidak peduli dengan janji yang disampaikan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur saat menemui mereka, tetapi yang penting katanya, sosok Gubernur Kaltim terpilih seperti Jokowi.

"Kami ingin agar para pejabat sering menemui kami agar setiap permasalahan yang kami hadapi dapat segera didengar secara langsung. Sebagai masyarakat kecil yang tidak mengerti politik, kami hanya ingin gubernur itu seperti Jokowi, yang selalu mengunjungi masyarakat dan bukan hanya saat kampanye," ujar Anas.



Tidak Sekadar Janji

Fenomena kampanye `blusukan` yang diadopsi para pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim 2013-2018 tentunya tidak hanya menjadi bagian dalam proses kampanye.

Namun, masyarakat sangat mengharapkan agar `blusukan` tidak hanya menjadi `fenomena` tetapi terus berlangsung sehingga masyarakat dapat menyampaikan keluhannya secara langsung kepada para pejabat.

"Saat kampanye gubernur dan wali kota di Samarinda sebelumnya, memang pasangan calon juga mengunjungi pasar dan tempat-tempat aktivitas yang ramai. Tetapi kali ini pasangan calon justru lebih sering datang ke pasar-pasar. Kalau dulu, saat kampanye pilgub dan pemilihan wali kota kami diminta datang ke lapangan GOR Segiri atau gedung, tapi sampai sekarang belum ada lagi kampanye seperti itu," ujar seorang warga Samarinda, Bambang.

Walaupun tidak mendapatkan uang kata Bambang, kedatangan para calon pasangan gubernur dan wakil gubernur itu justru lebih senang dengan cara kampanye `blusukan` tersebut.

"Memang, kami tidak mendapat apa-apa, tetapi kami puas bisa bertemu langsung dan menyampaikan berbagai persoalan sehingga kami berharap, para calon gubernur bisa memberikan solusi atau menepati janjinya saat terpilih," katanya.

"Kalau kampanye di lapangan seperti dulu, jelas kami dapat baju uang minimal Rp100 ribu untuk sekali mengikuti kampanye dan menonton artis secara gratis. Tapi, itu hanya sesaat dan tidak bisa bersalaman atau berbicara langsung dengan calon gubernur," ungkap Bambang.

Tentunya, Bambang dan masyarakat Kaltim sangat mengharapkan, kampanye cara `blusukan` itu tidak bersifat sementara dan program yang disampaikan maupun keluhan yang `dibeberkan` tidak hanya penghias pesta demokrasi lima tahunan itu.

"Semua pasangan calon pasti punya program yang baik dan janji-janji `manis` tetapi tidak semuanya yang bisa menepati janj yang disampaikan saat menemui masyarakat. Kami berharap, siapapun terpilih, harus berkomitmen tetap `blusukan` ke pasar-pasar dan pusat aktivitas masyarakat lainnya serta memenuhi janjinya," ujar warga Samarinda lainnya, Marzuki.



Kurang Semarak

Perhelatan pesta demokrasi lima tahunan di Provinsi Kaltim, ternyata tidak sesemarak pada pesta demokrasi sebelumnya maupun yang berlangsung di daerah lainnya di Indonesia.

Walaupun ada, namun tidak terlihat `perang` umbul-umbul, stiker dan berbagai alat peraga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di gang-gang dan kawasan pemukiman penduduk.

Jika pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim periode sebelumnya serta pemilihan Wali Kota Samarinda diwarnai `eskalasi` politik yang panas, baik melalui media massa maupun pengerahan massa di lapangan terbuka dengan mengenakan berbagai atribut dan kaos bergambar pasangan calon, namun pada pilgub kali ini suasana itu tidak terlihat.

Hanya beberapa alat peraga pasangan calon berupa, baliho, `billboard` dan spanduk yang terpasang di sejumlah jalan utama di Kota Samarinda.

Masa kampanye mulai berlangsung pada 24 Agustus melalui pembacaan visi dan misi di Kantor DPRD Kaltim selanjutnya pada 25 hingga 6 September 2013 ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur diberi kesempatan melakukan kampanye monologis, dialogis serta simpatik di 14 kabupaten/kota, termasuk di wilayah Kalimantan Utara.

Namun hingga hari ketujuh masa kampanye itu lebih banyak dimanfaatkan ketiga pasangan calon dengan `blusukan` ke pasar tradisional maupun ke sentra pengolahan tahu dan tempe.

"Banyak masyarakat yang tidak tahu ada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim pada 10 September 2013. Bahkan, kebanyakan masyarakat tahu setelah membaca dari koran," ungkap Pengamat Politik dan Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, Prof Sarosa Hamongpranoto, SH. M. Hum.

Masa kampanye mulai berlangsung pada 24 Agustus melalui pembacaan visi dan misi di Kantor DPRD Kaltim selanjutnya pada 25 hingga 6 September 2013 ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur diberi kesempatan melakukan kampanye monologis, dialogis serta simpatik di 14 kabupaten/kota, termasuk di wilayah Kalimantan Utara.

Namun hingga hari ketujuh masa kampanye itu lebih banyak dimanfaatkan ketiga pasangan calon dengan `blusukan` ke pasar tradisional maupun ke sentra pengolahan tahu dan tempe.

Semarak kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur itu lanjut Sarosa, memang tidak semeriah pada pesta demokrasi sebelumnya dan di beberapa daerah di Indonesia.

"Bisa jadi, masyarakat yang masa bodoh dengan pesta demokrasi ini atau mereka (masyakarat) sudah `apriori` pad ketiga pasangan calon tersebut," kata Sarosa.   (*)

Pewarta: Amirullah

Editor : Amirullah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013