Kepala Riset Reliance Sekuritas Alwin Rusli meyakini prospek pasar saham Indonesia pada 2022 akan semakin membaik jika pandemi COVID-19 tak merebak kembali seperti hampir dua tahun terakhir yang mengakibatkan ekonomi mengalami resesi.
Menurut Alwin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diharapkan dapat naik sampai ke atas 7.000. Bila tidak ada aral melintang dan kasus COVID-19 di Tanah Air dapat terkontrol dengan baik, maka dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi akan melaju dengan mulus dan dapat mencapai 5 persen.
"IHSG saya perkirakan akan mencapai rentang 7.000 - 7.500 apabila melihat kondisi kinerja emiten-emiten yang sudah mulai pulih. Hal ini tentu dengan satu kondisi, yaitu tidak ada sentimen negatif yang tidak terkontrol, salah satunya yaitu kembali merebaknya kasus COVID-19," ujar Alwin saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Dengan membaiknya kondisi ekonomi, Alwin menilai sektor perbankan akan menikmati dampak tersebut lebih awal. Sebab pada masa pemulihan, berbagai bisnis membutuhkan modal, dan hal yang pertama dicari oleh pelaku usaha tentunya adalah institusi bank terlebih dahulu untuk memperoleh dana segar.
Di samping itu, lanjut Alwin, dengan memperhatikan pergerakan ekonomi dunia pada saat ini di mana terjadi kelangkaan terhadap komoditas hampir di seluruh dunia, maka sektor-sektor tambang, termasuk metal dan energi khususnya batubara masih memiliki potensi untuk menguat.
"Tidak ketinggalan juga sektor teknologi yang belakangan ini bergeliat sebagai dampak dari perkembangan teknologi yang terjadi selama pandemi COVID-19, di mana banyak dari para individu-individu yang mengadopsi dan bergantung sangat erat dengan teknologi," kata Alwin.
Terkait dengan potensi penawaran umum perdana saham atau IPO pada tahun depan, Alwin menyampaikan dengan adanya akses IPO secara elektronik, maka tentunya akan mengundang banyak perusahaan-perusahaan untuk memperoleh dana segar dengan cara "go public". Potensi IPO pada 2022 pun diperkirakan akan semakin marak.
"Fenomena IPO yang terjadi belakangan ini terbilang sukses karena dari sudut pandang para emiten berhasil memperoleh dana dari masyarakat sesuai dengan harapan para emiten tersebut, terpancar dari tingkat book building yang seringkali terjadi oversubscribe," ujar Alwin.
Namun demikian, menurut Alwin beberapa emiten tidak menjaga harga sahamnya di perdagangan sekunder. Hal itu dinilai akan memberi rasa enggan bagi para investor ritel untuk menginvestasikan dana mereka ke dalam saham-saham yang baru akan IPO.
"Sementara itu dengan adanya emiten jumbo yang kembali muncul di panggung e-IPO seperti GoTo, tentunya akan kembali menarik minat masyarakat untuk berinvestasi kembali karena potensi pertumbuhan dari perusahaan yang sangat menarik," kata Alwin.
Dari global, kebijakan tapering dan rencana percepatan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve akan berdampak pada pasar saham Indonesia, meski diperkirakan tidak akan besar. Bank Indonesia selaku otoritas moneter pun diperkirakan juga akan sigap mengambil keputusan untuk menanggulangi ketertinggalan ekonomi dengan negara-negara lain akibat dampak dari kebijakan The Fed tersebut.
"Meski demikian, ketahanan ekonomi Indonesia terbilang sangat kuat. Terlihat pada saat masa pandemi, di saat negara lain mengalami pelemahan pertumbuhan ekonomi yang drastis, Indonesia dengan mandiri dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi sehingga tidak jatuh terlalu dalam pada saat kuartal 1 dan 2 tahun ini," ujar Alwin.
Kemudian terkait kemunculan varian Omicron, sudah diperkirakan tidak akan terlalu berpengaruh banyak terhadap ekonomi. Meskipun penyebarannya relatif lebih cepat daripada varian yang lain, varian Omicron memiliki gejala yang relatif lebih ringan.
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, kondisi pasar saham dalam negeri tergantung sentimen dan sikap pelaku pasar pada tahun depan. Meski perekonomian nasional mulai pulih, para investor dinilai perlu tetap waspada.
"Memang bahwa tahun ini tahunnya pemulihan, namun yang namanya pemulihan dari jatuh kan memang belum sustain. Tetap waspada dan cermati sejumlah sentimen yang ada, baik dari sisi makroekonomi maupun perkembangan kinerja emiten," ujar Reza.
Reza menstimulasikan, apabila akhir tahun ini IHSG berhasil ditutup di level 6.650, berarti IHSG sudah naik 670,93 poin atau 11,22 persen (yoy) dibandingkan 2020. Hal itu terjadi masih dalam kondisi pandemi belum hilang dan masih ada sejumlah sentimen negatif.
"Kalau tahun depan, kondisi ekonomi katakan lah harapannya bisa terjadi kenaikan di atas itu. Kalau asumsinya bisa naik hingga 15 persenan, maka IHSG berada di kisaran 7.500-7.600. Maka dari itu tergantung sentimen di tahun depan, getting worse atau getting better. Kalau worse ya bisa jadi lebih rendah dari pencapaian di tahun ini," ujar Reza.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021
Menurut Alwin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diharapkan dapat naik sampai ke atas 7.000. Bila tidak ada aral melintang dan kasus COVID-19 di Tanah Air dapat terkontrol dengan baik, maka dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi akan melaju dengan mulus dan dapat mencapai 5 persen.
"IHSG saya perkirakan akan mencapai rentang 7.000 - 7.500 apabila melihat kondisi kinerja emiten-emiten yang sudah mulai pulih. Hal ini tentu dengan satu kondisi, yaitu tidak ada sentimen negatif yang tidak terkontrol, salah satunya yaitu kembali merebaknya kasus COVID-19," ujar Alwin saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Dengan membaiknya kondisi ekonomi, Alwin menilai sektor perbankan akan menikmati dampak tersebut lebih awal. Sebab pada masa pemulihan, berbagai bisnis membutuhkan modal, dan hal yang pertama dicari oleh pelaku usaha tentunya adalah institusi bank terlebih dahulu untuk memperoleh dana segar.
Di samping itu, lanjut Alwin, dengan memperhatikan pergerakan ekonomi dunia pada saat ini di mana terjadi kelangkaan terhadap komoditas hampir di seluruh dunia, maka sektor-sektor tambang, termasuk metal dan energi khususnya batubara masih memiliki potensi untuk menguat.
"Tidak ketinggalan juga sektor teknologi yang belakangan ini bergeliat sebagai dampak dari perkembangan teknologi yang terjadi selama pandemi COVID-19, di mana banyak dari para individu-individu yang mengadopsi dan bergantung sangat erat dengan teknologi," kata Alwin.
Terkait dengan potensi penawaran umum perdana saham atau IPO pada tahun depan, Alwin menyampaikan dengan adanya akses IPO secara elektronik, maka tentunya akan mengundang banyak perusahaan-perusahaan untuk memperoleh dana segar dengan cara "go public". Potensi IPO pada 2022 pun diperkirakan akan semakin marak.
"Fenomena IPO yang terjadi belakangan ini terbilang sukses karena dari sudut pandang para emiten berhasil memperoleh dana dari masyarakat sesuai dengan harapan para emiten tersebut, terpancar dari tingkat book building yang seringkali terjadi oversubscribe," ujar Alwin.
Namun demikian, menurut Alwin beberapa emiten tidak menjaga harga sahamnya di perdagangan sekunder. Hal itu dinilai akan memberi rasa enggan bagi para investor ritel untuk menginvestasikan dana mereka ke dalam saham-saham yang baru akan IPO.
"Sementara itu dengan adanya emiten jumbo yang kembali muncul di panggung e-IPO seperti GoTo, tentunya akan kembali menarik minat masyarakat untuk berinvestasi kembali karena potensi pertumbuhan dari perusahaan yang sangat menarik," kata Alwin.
Dari global, kebijakan tapering dan rencana percepatan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve akan berdampak pada pasar saham Indonesia, meski diperkirakan tidak akan besar. Bank Indonesia selaku otoritas moneter pun diperkirakan juga akan sigap mengambil keputusan untuk menanggulangi ketertinggalan ekonomi dengan negara-negara lain akibat dampak dari kebijakan The Fed tersebut.
"Meski demikian, ketahanan ekonomi Indonesia terbilang sangat kuat. Terlihat pada saat masa pandemi, di saat negara lain mengalami pelemahan pertumbuhan ekonomi yang drastis, Indonesia dengan mandiri dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi sehingga tidak jatuh terlalu dalam pada saat kuartal 1 dan 2 tahun ini," ujar Alwin.
Kemudian terkait kemunculan varian Omicron, sudah diperkirakan tidak akan terlalu berpengaruh banyak terhadap ekonomi. Meskipun penyebarannya relatif lebih cepat daripada varian yang lain, varian Omicron memiliki gejala yang relatif lebih ringan.
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, kondisi pasar saham dalam negeri tergantung sentimen dan sikap pelaku pasar pada tahun depan. Meski perekonomian nasional mulai pulih, para investor dinilai perlu tetap waspada.
"Memang bahwa tahun ini tahunnya pemulihan, namun yang namanya pemulihan dari jatuh kan memang belum sustain. Tetap waspada dan cermati sejumlah sentimen yang ada, baik dari sisi makroekonomi maupun perkembangan kinerja emiten," ujar Reza.
Reza menstimulasikan, apabila akhir tahun ini IHSG berhasil ditutup di level 6.650, berarti IHSG sudah naik 670,93 poin atau 11,22 persen (yoy) dibandingkan 2020. Hal itu terjadi masih dalam kondisi pandemi belum hilang dan masih ada sejumlah sentimen negatif.
"Kalau tahun depan, kondisi ekonomi katakan lah harapannya bisa terjadi kenaikan di atas itu. Kalau asumsinya bisa naik hingga 15 persenan, maka IHSG berada di kisaran 7.500-7.600. Maka dari itu tergantung sentimen di tahun depan, getting worse atau getting better. Kalau worse ya bisa jadi lebih rendah dari pencapaian di tahun ini," ujar Reza.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021