Berdagang barang antik kiranya lebih mudah kalau banyak teman dan kenalan. Berdagang barang antik juga harus suka jalan-jalan.


Itulah pengetahuan yang dibagikan Toha Idris, 63 tahun, pemilik Mahdalena Art, alias toko barang antik Mahdalena. Toko itu ada di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, dan pernah ada satu di Pasar Inpres Kebun Sayur, pusat oleh-oleh unik Balikpapan.

Namun, kata Idris, toko yang di Kebun Sayur tutup dulu. Selain sebab wabah COVID-19 sekarang, dulu juga jadi satu korban kebakaran di pasar itu.

“Di Balikpapan kami buka di rumah saja,” kata Idris di rumahnya. Di rumah di RT 3 Komplek Perumahan Graha Indah, Balikpapan Utara itu, penuh dengan berbagai barang yang antik. Di rumah bercat hijau itu, mulai dari dalam rumah hingga halaman, bertebaran barang-barang meja kursi kayu yang terlihat sangat tua, ada tombak dan sumpit orang Kenyah, ada telabang atau perisai dari kayu besi, tajau atau guci keramik yang jadi kesukaan orang Dayak dan Tionghoa, kotak-kotak kayu kuno, barang-barang dari logam, dan berbagai macam pernik.

Untuk mendapatkan barang-barang itu, tutur Toha Idris, ia harus jalan-jalan masuk kampung ke luar kampung ke pedalaman.

“Untunglah hobi saya memang jalan-jalan, melihat kampung orang lain, bertemu kenalan baru,” ujar Idris yang semasa muda bekerja untuk perusahaan tambang batu bara Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta, Kutai Timur.

Toha menuturkan, satu barang antik yang didapatnya dari pedalaman itu antara lain sebuah gendongan anak yang terbuat dari cangkang kura-kura seukuran karung beras 25 kg dengan rangka kayu ulin.

“Di pameran di Jakarta, ditawar orang Rp35 juta,” katanya. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi rasa lelah dan kerepotan sepanjang jalan saat membawa si barang antik pulang ke rumah pun dilupakan.

Si penawar, seorang ekspatriat asal Amerika Serikat, tidak ragu dengan harga yang disebutkan Toha Idris. Setelah pembayaran dilakukan, gendongan pun diangkat sang ekspat. “Tidak hanya satu, tapi 2,” kata Mesiah, 49, istrinya.

Toha Idris tidak hanya menjelajah kampung-kampung di pedalaman Kalimantan Timur untuk mencari barang-barang unik dan antik itu, tapi juga ke provinsi-provinsi Kalimantan lainnya. Kalimantan Utara, yang dulu bagian dari Kalimantan Timur, habis sudah dikunjunginya hingga kampung paling terpencil. Ia pun hapal Kalimantan Selatan dan orang-orangnya yang menyukai pusaka-pusaka dan senjata-senjata khas seperti mandau. Kalimantan Tengah hingga Kalimantan Barat, Pontianak hingga Putussibau, pun tidak luput dari radar Toha dan Mesiah.

Menurut Mesiah, pelanggan atau pembeli barang antik mereka memang kebanyakan orang asing yang bekerja di sektor migas dan batu bara. Semasa bekerja di KPC, Toha Idris yang memang suka berteman, mengumpulkan kenalan ekspatriat ini sebanyak-banyaknya.

Kata Toha Idris, biasanya teman bule itu ingin sesuatu yang khas dari satu tempat di mana dia pernah tinggal atau bekerja, atau berlibur, atau bahkan sekedar numpang lewat. Karena itulah tokonya di Sangatta tidak susah mendapatkan pelanggan.

“Biasanya juga mereka bangga sekali dengan suvenir yang dibelinya di tempat yang khas atau eksotis itu, biar pun cuma gelang manik Dayak. Apalagi guci atau kerajinan tangan seperti topi, sumpit, perisai, baju adat. Itu mestinya membuat kita juga bangga sekali pada produk-produk kita sendiri,” jela Idris.

Namun demikian, panjang jalan Idris dan Mesiah sebelum punya banyak langgan seperti sekarang. Saat masih jadi karyawan KPC, meski sudah suka jalan-jalan ke pedalaman dan membeli barang antik yang dianggap menarik, mereka belum lagi berjulan.

Barulah setelah tak lagi jadi karyawan di tahun 1991, Toha jadi punya waktu mencari dan mengurus barang-barang antik, dan mulai menjualnya juga untuk tambahan pemasukan.

“Tahun 1991 kamu resmi berjualan barang antik. Agar orang tahu apa yang kami jual, kami jajakan barangnya,” tutur Mesiah.

Setahun kemudian, 1992, Mesiah dan Toha menyewa toko di Jalan Yos Sudarso di Sangatta. Masa jadi pedagang keliling pun berakhir.

Peminat-peminat barang antik datang sendiri ke tokonya. Barang daganan pun mulai beraneka macam, dari kerajinan khas dayak hingga barang bernilai seni dan berharga jual tinggi.

Setelah toko di Sangatta makin berkembang dan usahanya semakin maju, Mesiah dan Toha pindah ke Balikpapan untuk mendapatkan pasar yang lebih besar.  

“Sebelum wabah COVID-19, kami sempat punya toko di Kebun Sayur, tapi karena COVID, semua sepi, dan kami akhirnya putuskan toko itu ditutup saja. Gantinya kami jualan di rumah,” tutur Toha. Kabar baik, toko di Sangatta tetap menyumbang keuntungan.

Apalagi kemudian ada Pertamina yang menyalurkan bantuan modal untuk usahanya. Tambahan modal yang disalurkan melalui program UMKM Pertamina itu membuat Mahdalena Art semakin berkembang. Idris bisa ikut berpameran ke kota-kota yang punya kolektor barang antik lebih banyak.

Sepulang dari acara pameran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) di Samarinda, misalnya, pada pertengahan pekan lalu Idris sudah harus berangkat ke Jakarta. Beberapa bulan sebelumnya bahkan ia berpameran hingga Hong Kong.

“Ada saja yang laku, seperti mandau antik yang dilego Rp12 juta, antara lain,” katanya semringah. Mandau, atau senjata tajam, parang atau machete khas orang pedalaman Kalimantan. Mandau selalu dibuat dari baja pilihan. Kemudian bila akan dipakai golongan ningrat di suku itu, biasanya kemudian dipakaikan gagang khusus. Mandau yang laku Rp12 juta itu bergagang tanduk rusa dan kayu ulin. Perlu sebulan mengukir ulin dengan pahat tajam untuk mendapatkan karya itu.

“Pertamina membantu saya menjangkau pasar yang lebih luas,” kata Idris.

Menurut Humas Unit Pemasaran dan CSR Pertamina Susanto August Satria adalah satu peran Pertamina untuk menguatkan bisnis UMKM, termasuk bisnis barang seni yang dijalankan Idris dan istrinya dengan Mahdalena Art.

“Mereka sudah mengenalkan produk-produk seni dan budaya Indonesia kepada dunia dengan caranya sendiri,” kata Satria.

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021