Pagebluk COVID-19 makin membikin miris dengan angka penularan yang mengalami lonjakan signifikan. Pandemi bagaikan mempertajam irisan hidup-mati manusia.
Lihatlah telapak tangan kiri setiap manusia. Di situ tertera garis tangan seakan mengantar kepada imajinasi huruf "M".
Seorang pastor dari Ordo Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah Romo Pungki Setiawan, jauh tahun sebelum terjadi pandemi, memimpin misa arwah untuk kepergiaan seorang pemuka umat di kawasan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam khotbah di dekat peti jenazah yang disebutnya sebagai "Pakde" kala itu pada 2006, sang romo mengulurkan tangan kiri. Ia berbicara tentang garis tangan "M" sebagai tanda pengingat secara paten "Manungsa mesti mati" atau manusia pasti mencapai kematian.
Meskipun kematian sebagai kepastian, peradaban mulia manusia memuja dan memuliakan kehidupan, menemukan jalan pengharapan akan kehidupan panjang, dan mempertahankan nilai-nilai kehidupan.
Oleh karenanya, jalan kematian sebagaimana melalui terorisme, aborsi, atau bunuh diri, sebagai hal buruk dan tak beradab.
Hari-hari belakangan ini, suara sirine ambulans yang lalu-lalang dalam waktu relatif berdekatan melewati jalan-jalan, terasa menyayat hati. Entah membawa pasien ke rumah sakit atau mengantar jenazah ke pemakaman. Perjumpaan dengan ambulans di jalan-jalan seakan menjadi penanda pagebluk kian membikin lara.
Berbagai grup percakapan WhatsApp nyaris saban hari-hari belakangan mengalirkan arus deras kabar duka, baik karena seseorang tertular virus maupun penyebab lain, dengan respons belasungkawa dari mana-mana, penyertaan doa, serta harapan kepada keluarga berduka agar tabah.
Seorang perempuan lansia di Godean yang suaminya berpulang pada 2006 itu, berduka mendalam lagi. Salah satu anak laki-lakinya meninggal dunia 15 tahun kemudian, setelah suaminya berpulang. Anaknya meninggal pada 11 Juli 2021, karena tertular virus saat menjalani panggilan hidup sebagai pelaut di bawah naungan perusahaan Badan Usaha Milik Negara, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni).
Selama beberapa hari, pelaut berpengalaman berlayar di dalam dan luar negeri itu, sempat dirawat di Rumah Sakit TNI-AL Dr Wahyu Slamet Kota Bitung, Sulawesi Utara, sebelum tutup usia 55 tahun. Kapal Motor Doloronda, di mana ia menjadi kepala kamar mesin, sebagai kapal terakhirnya sebelum berpulang.
Jenazahnya yang terpaksa belum bisa dibawa ke kampung halaman karena pandemi, kemudian dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Pinangunian, Kecamatan Aertembaga, Kota Bitung, dengan protokol kesehatan, tanpa satu pun kehadiran keluarga.
Betapa terasa sedih dan terpukul sang ibu lansia itu, karena telah melahirkan anaknya sekaligus mengetahui anak itu tiada. Ia mencoba tegar dan berserah kepada kehendak Sang Ilahi.
"Kabeh wis digelar kudu tak gulung, dadi berkahku, kersane Gusti (Semua yang digelar harus digulung, menjadi berkahku, sesuai dengan kehendak Tuhan)," kata lansia bernama Sumarah (79) itu ketika harus menerima kenyataan anaknya Paulus Nuritriyanto berpulang karena tertular virus dalam rangkaian pelayarannya.
Kematian anaknya membawa ia menganyam sebaik-baiknya memori kenangan panjang tentang suka-duka, tantangan, harapan dan berkah yang diterima selama ini.
Penulis Bre Redana dalam seri ke-24 cerita "Ketika Jati Berbunga" di blognya mengemukakan tentang ketidaktahuan manusia atas masa depan. Hal yang diketahui manusia berupa jejak masa lalu, kenangan dan sejarah.
Ketakutan terhadap kematian bukan karena takut akan masa depan, namun takut kehilangan masa lalu.
"Mati tidak mengubah seseorang, kecuali membekukan jejak perbuatannya," tulis dia.
Bagian
Arus deras kabar kematian karena pandemi menjadi bagian banjir informasi kasus COVID-19 selama pandemi sekitar 1,5 tahun terakhir. Terkadang, banjir informasi membuat orang gelagapan menghadapi pandemi dengan multidampaknya.
Data bersumber dari covid19.go.id pada Rabu (21/7), antara lain kasus positif di Indonesia 2.983.830 orang, sembuh 2.356.553 orang dan meninggal dunia 77.583 orang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada hari yang sama melaporkan secara global bahwa virus itu menyerang 201 negara dengan angka kasus terkonfirmasi 179.257.412 orang dan meninggal dunia 3.881.928 orang.
Angka-angka kasus COVID-19 itu semestinya tidak sekadar pencatatan statistik untuk melihat perkembangan pandemi.
Penyair Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Haris Kertorahardjo (Lie Thian Hauw), dalam berbagai karya puisinya yang mencantumkan kata "Matematika" dalam judul, menyebut angka bukan semata-mata matematis, namun memiliki jiwa dan bermakna.
"Angka-angka memiliki makna," ucapnya.
Perkembangan data kasus pandemi, menjadi salah satu pijakan penting pemerintah mengambil keputusan yang tidak mudah dalam menangani penularan virus corona baru dengan variannya tersebut.
Pemerintah tiada henti menghimpun daya dan kesadaran bersama seluruh bangsa, antara lain ditujukan mengakhiri pandemi, menyelamatkan yang terinfeksi, mencegah meluasnya penularan, memakamkan yang berpulang, menjaga roda kehidupan tetap berputar serta pengharapan kehidupan tetap dijulurkan.
Dalam pernyataan di Bogor, Selasa (20/7), melalui YouTube Sekretariat Presiden, Presiden Joko Widodo, antara lain mengajak seluruh lapisan masyarakat, seluruh komponen bangsa untuk bersatu melawan COVID-19.
Memang, kata Jokowi, ini situasi yang sangat berat, tetapi dengan usaha keras kita bersama, insyaallah kita bisa segera terbebas dari COVID-19, dan kegiatan sosial, kegiatan ekonomi masyarakat bisa kembali normal.
Upaya berat memang harus ditempuh secara bersama-sama agar kehidupan tetap terjaga dalam adaptasi kebiasaan baru maupun langkah mengantar manusia mencapai kehidupan berwajah baru pascapandemi.
Pandemi virus ini juga sering terdengar disebut-sebut dalam semangat pengharapan, sebagai pemurnian kehidupan manusia di muka Bumi.
Segala jalan menghadapi pandemi memang terkesan tertatih-tatih dengan jatuh bangun yang mesti dihadapi secara penuh sabar dan tegar.
Untuk setiap detail kasus penularan, rincian peristiwa kesembuhan dan tragedi air mata karena kematian oleh virus, sudah semestinya bukan sebagai kesia-siaan.
Berbagai usaha menangani pandemi dan bahkan untuk mereka yang harus berpulang karena pandemi, kiranya menjadi catatan penting yang bisa dipetik bersama-sama, agar jarak pendulum hidup berpengharapan dan kepastian kematian, tak terlalu berimpit.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021
Lihatlah telapak tangan kiri setiap manusia. Di situ tertera garis tangan seakan mengantar kepada imajinasi huruf "M".
Seorang pastor dari Ordo Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah Romo Pungki Setiawan, jauh tahun sebelum terjadi pandemi, memimpin misa arwah untuk kepergiaan seorang pemuka umat di kawasan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam khotbah di dekat peti jenazah yang disebutnya sebagai "Pakde" kala itu pada 2006, sang romo mengulurkan tangan kiri. Ia berbicara tentang garis tangan "M" sebagai tanda pengingat secara paten "Manungsa mesti mati" atau manusia pasti mencapai kematian.
Meskipun kematian sebagai kepastian, peradaban mulia manusia memuja dan memuliakan kehidupan, menemukan jalan pengharapan akan kehidupan panjang, dan mempertahankan nilai-nilai kehidupan.
Oleh karenanya, jalan kematian sebagaimana melalui terorisme, aborsi, atau bunuh diri, sebagai hal buruk dan tak beradab.
Hari-hari belakangan ini, suara sirine ambulans yang lalu-lalang dalam waktu relatif berdekatan melewati jalan-jalan, terasa menyayat hati. Entah membawa pasien ke rumah sakit atau mengantar jenazah ke pemakaman. Perjumpaan dengan ambulans di jalan-jalan seakan menjadi penanda pagebluk kian membikin lara.
Berbagai grup percakapan WhatsApp nyaris saban hari-hari belakangan mengalirkan arus deras kabar duka, baik karena seseorang tertular virus maupun penyebab lain, dengan respons belasungkawa dari mana-mana, penyertaan doa, serta harapan kepada keluarga berduka agar tabah.
Seorang perempuan lansia di Godean yang suaminya berpulang pada 2006 itu, berduka mendalam lagi. Salah satu anak laki-lakinya meninggal dunia 15 tahun kemudian, setelah suaminya berpulang. Anaknya meninggal pada 11 Juli 2021, karena tertular virus saat menjalani panggilan hidup sebagai pelaut di bawah naungan perusahaan Badan Usaha Milik Negara, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni).
Selama beberapa hari, pelaut berpengalaman berlayar di dalam dan luar negeri itu, sempat dirawat di Rumah Sakit TNI-AL Dr Wahyu Slamet Kota Bitung, Sulawesi Utara, sebelum tutup usia 55 tahun. Kapal Motor Doloronda, di mana ia menjadi kepala kamar mesin, sebagai kapal terakhirnya sebelum berpulang.
Jenazahnya yang terpaksa belum bisa dibawa ke kampung halaman karena pandemi, kemudian dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Pinangunian, Kecamatan Aertembaga, Kota Bitung, dengan protokol kesehatan, tanpa satu pun kehadiran keluarga.
Betapa terasa sedih dan terpukul sang ibu lansia itu, karena telah melahirkan anaknya sekaligus mengetahui anak itu tiada. Ia mencoba tegar dan berserah kepada kehendak Sang Ilahi.
"Kabeh wis digelar kudu tak gulung, dadi berkahku, kersane Gusti (Semua yang digelar harus digulung, menjadi berkahku, sesuai dengan kehendak Tuhan)," kata lansia bernama Sumarah (79) itu ketika harus menerima kenyataan anaknya Paulus Nuritriyanto berpulang karena tertular virus dalam rangkaian pelayarannya.
Kematian anaknya membawa ia menganyam sebaik-baiknya memori kenangan panjang tentang suka-duka, tantangan, harapan dan berkah yang diterima selama ini.
Penulis Bre Redana dalam seri ke-24 cerita "Ketika Jati Berbunga" di blognya mengemukakan tentang ketidaktahuan manusia atas masa depan. Hal yang diketahui manusia berupa jejak masa lalu, kenangan dan sejarah.
Ketakutan terhadap kematian bukan karena takut akan masa depan, namun takut kehilangan masa lalu.
"Mati tidak mengubah seseorang, kecuali membekukan jejak perbuatannya," tulis dia.
Bagian
Arus deras kabar kematian karena pandemi menjadi bagian banjir informasi kasus COVID-19 selama pandemi sekitar 1,5 tahun terakhir. Terkadang, banjir informasi membuat orang gelagapan menghadapi pandemi dengan multidampaknya.
Data bersumber dari covid19.go.id pada Rabu (21/7), antara lain kasus positif di Indonesia 2.983.830 orang, sembuh 2.356.553 orang dan meninggal dunia 77.583 orang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada hari yang sama melaporkan secara global bahwa virus itu menyerang 201 negara dengan angka kasus terkonfirmasi 179.257.412 orang dan meninggal dunia 3.881.928 orang.
Angka-angka kasus COVID-19 itu semestinya tidak sekadar pencatatan statistik untuk melihat perkembangan pandemi.
Penyair Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Haris Kertorahardjo (Lie Thian Hauw), dalam berbagai karya puisinya yang mencantumkan kata "Matematika" dalam judul, menyebut angka bukan semata-mata matematis, namun memiliki jiwa dan bermakna.
"Angka-angka memiliki makna," ucapnya.
Perkembangan data kasus pandemi, menjadi salah satu pijakan penting pemerintah mengambil keputusan yang tidak mudah dalam menangani penularan virus corona baru dengan variannya tersebut.
Pemerintah tiada henti menghimpun daya dan kesadaran bersama seluruh bangsa, antara lain ditujukan mengakhiri pandemi, menyelamatkan yang terinfeksi, mencegah meluasnya penularan, memakamkan yang berpulang, menjaga roda kehidupan tetap berputar serta pengharapan kehidupan tetap dijulurkan.
Dalam pernyataan di Bogor, Selasa (20/7), melalui YouTube Sekretariat Presiden, Presiden Joko Widodo, antara lain mengajak seluruh lapisan masyarakat, seluruh komponen bangsa untuk bersatu melawan COVID-19.
Memang, kata Jokowi, ini situasi yang sangat berat, tetapi dengan usaha keras kita bersama, insyaallah kita bisa segera terbebas dari COVID-19, dan kegiatan sosial, kegiatan ekonomi masyarakat bisa kembali normal.
Upaya berat memang harus ditempuh secara bersama-sama agar kehidupan tetap terjaga dalam adaptasi kebiasaan baru maupun langkah mengantar manusia mencapai kehidupan berwajah baru pascapandemi.
Pandemi virus ini juga sering terdengar disebut-sebut dalam semangat pengharapan, sebagai pemurnian kehidupan manusia di muka Bumi.
Segala jalan menghadapi pandemi memang terkesan tertatih-tatih dengan jatuh bangun yang mesti dihadapi secara penuh sabar dan tegar.
Untuk setiap detail kasus penularan, rincian peristiwa kesembuhan dan tragedi air mata karena kematian oleh virus, sudah semestinya bukan sebagai kesia-siaan.
Berbagai usaha menangani pandemi dan bahkan untuk mereka yang harus berpulang karena pandemi, kiranya menjadi catatan penting yang bisa dipetik bersama-sama, agar jarak pendulum hidup berpengharapan dan kepastian kematian, tak terlalu berimpit.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021