Nunukan (ANTARA Kaltim) - Tenaga kerja Indonesia yang dideportasi Malaysia melalui Pelabuhan Internasional Tunon Taka Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur belum mendapatkan penanganan yang baik dan membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.

Pemulangan (deportasi) TKI dari Sabah Malaysia melalui Kabupaten Nunukan berlangsung dua kali sebulan, dengan jumlah ratusan orang sekali pemulangan.

Mereka berasal dari dua lokasi penampungan yakni Penampungan Tahanan Sementara (PTS) Kemanis Papar Kota Kinabalu, dan PTS Air Panas Tawau.

Pada umumnya, TKI yang dideportasi tersebut tertangkap oleh aparat Polisi Diraja Malaysia karena tidak menggunakan dokumen keimigrasian yang sah sebagai pekerja asing, dan tidak sedikit pula tersangkut kasus kriminal seperti narkotika, pembunuhan dan perampokan.

Tetapi TKI yang dipulangkan karena kasus kriminal yang sebagian besar adalah jenayah narkoba.

Sebelum dideportasi, mereka diinformasikan terlebih di dahulu menjalani kurungan minimal tiga bulan di dalam PTS, dengan kondisi air bersih dan makanan yang sangat memprihatinkan. Bahkan tidak sedikit pula dari mereka mengaku mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dan dipreteli barang miliknya seperti uang, handphone dan barang berharga lainnya yang dibawa saat tertangkap.

Penanganan TKI yang berangkat ke luar negeri (Malaysia) melalui Pelabuhan Tunon Taka Kabupaten Nunukan memang masih menjadi masalah serius, sehingga membutuhkan pemecahan dari semua pihak yang berkompeten.

Persoalan dimaksud, antara lain, mereka masuk ke negara jiran tersebut tidak menggunakan visa kerja atau hanya menggunakan paspor lawatan yang hanya berlaku paling lama satu bulan. Keengganan mengurus visa kerja karena majikan yang akan dituju umumnya tidak berminat memberikan jaminan yang layak.

Selain itu, majikan atau perusahaan yang dituju umumnya lebih senang mempekerjakan WNI secara ilegal, karena tidak perlu mengeluarkan biaya besar dan kemungkinan lebih mudah mempermainkannya, baik menyangkut fasilitas, upah, dan tempat tinggal.

Karena itu, pemasokan WNI ke Negeri Sabah yang sebagian besar bekerja di perladangan dan perkebunan kelapa sawit, masih marak berlangsung sampai sekarang. Mereka masuk melalui jalur tikus di Pulau Sebatik, yang berbatasan langsung dengan Tawau Malaysia, dengan waktu tempuh hanya 15 menit menggunakan speed boat.

Masalah ketiga, yakni paspor yang diterbitkan pihak perwakilan Indonesia di Negeri Sabah, baik oleh Konsulat Jenderal RI di Kota Kinabalu, maupun Konsulat RI di Tawau, sebenarnya hanya formalitas semata atas kerjasama majikan dengan pihak perwakilan negara `kita`. Paspor yang diterbitkan tersebut tidak menjamin WNI untuk aman dari keilegalan dan dipegang sepenuhnya oleh majikan sehingga WNI tidak bebas ke mana-mana.

Masalah berikutnya adalah tidak adanya tindakan tegas dari aparat untuk membendung pengiriman TKI ilegal tersebut, dengan berbagai pertimbangan.

Selanjutnya, sistem pengupahan yang tidak seragam, atau hanya berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pihak majikan, akan mengakibatkan TKI memilih hengkang dengan tidak membawa serta paspor miliknya yang dipegang oleh majikan sebelumnya, apabila di kemudian hari terjadi ketidakcocokan.

Berbagai aspek tersebut ditengarai menjadi pemicu banyaknya TKI yang tertangkap oleh aparat hukum, dan akhirnya dideportasi melalui Kabupaten Nunukan.

Sesuai data yang diperoleh dari Balai Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Kabupaten Nunukan, selama tahun 2012 sebanyak 3.133 orang TKI dideportasi melalui Pelabuhan Tunon Taka Nunukan, yang terdiri atas 2.334 laki-laki, 624 perempuan dan 175 anak-anak, termasuk bayi yang dilahirkan di dalam PTS.

Para TKI yang dideportasi melalui Kabupaten Nunukan ini, banyak yang menderita penyakit gatal-gatal akibat air yang disediakan di dalam PTS sangat tidak layak, ditambah makanan yang diberikan seadanya dan aspek kesehatannya sangat diragukan.

Hal itu antara lain diungkapkan salah seorang TKI deportasi bernama Hanafiah Aminoto, asal Adonara Nusa Tenggara Timur (NTT), yang diperkuat oleh keterangan dari petugas kesehatan pelabuhan yang menanganinya.

"Para TKI mengalami penyakit gatal-gatal disebabkan banyak faktor, di antaranya air yang digunakan kotor, tempat tidur yang kotor dan makanan yang dikonsumsi kurang bergizi," ujar dr Baharullah, petugas Kesehatan Pelabuhan Tunon Taka Nunukan beberapa waktu sebelumnya.

Kasi Perlindungan dan Pemberdayaan TKI BP3TKI Kabupaten Nunukan, Pardamean Siahaan mengakui penanganan TKI deportasi di Kabupaten Nunukan masih seadanya akibat belum adanya fasilitas yang memadai seperti rumah penampungan karena tidak adanya anggaran khusus dari pemerintah.

Makanya, TKI deportasi setelah dilakukan pendataan langsung diserahkan kepada keluarganya atau warga yang bersedia memberikan jaminan keamanan dan penanganan selanjutnya tidak diketahui lagi.

Menurut Pardamean, sewaktu pihak Kementerian Sosial RI berkunjung ke Kabupaten Nunukan khusus membahas penanganan TKI bermasalah (deportasi), tidak ada kejelasan juga soal anggaran.

Bahkan kata dia, Kemsos RI meminta kepada pemerintah daerah untuk menalangi anggaran yang dibutuhkan menangani TKI deportasi dan yang bermasalah lainnya seperti yang mengalami gangguan jiwa dan penyakit lainnya lalu anggaran yang digunakan tersebut diajukan kepada Kemsos RI untuk diganti.

Namun mekanisme yang diterapkan Kemsos RI untuk mendapatkan anggaran penanganan TKI bermasalah dianggap kurang efektif sehingga tidak dilakukan sehingga penanganan TKI deportasi masih berlangsung secara kekeluargaan.

Makanya, TKI deportasi yang harus menanggung seluruh risiko apa pun yang terjadi terhadap dirinya termasuk "dipasok" kembali ke Sabah Malaysia untuk dipekerjakan tanpa menggunakan paspor.

BP3TKI Kabupaten Nunukan mengakui hal ini, bahwa dari ribuan TKI yang dideportasi pemerintah Sabah Malaysia selama 2012 dan tahun-tahun sebelumnya tidak diketahui ke mana arahnya.

Tetapi Pardamean pun menengarai mereka diseberangkan kembali secara ilegal ke negeri jiran Malaysia untuk dipekerjakan sesuai keinginan keluarga atau penjaminnya.

Hal ini terpaksa terjadi, karena belum adanya rumah penampungan yang disediakan oleh pemerintah di Kabupaten Nunukan sebagaimana yang dilakukan di Tanjung Pinang Provinsi Kepulauan Riau yang telah tersedia RPTC (Rumah Perlindungan Trauma Center) khusus penampungan TKI yang dideportasi sebelum diantar ke kampung halamannya untuk diserahkan kepada keluarganya.

"Kita tidak pernah tahu lagi ke mana TKI deportasi itu lagi. Ketika dicari keesokan harinya mereka tidak pernah kelihatan lagi," ujar Pardamean.

Meskipun masih bersifat dugaan bahwa para TKI deportasi kemungkinan "dipasok" kembali ke Malaysia lagi secara ilegal, BP3TKI Kabupaten Nunukan mengaku hal itu bisa saja terjadi. Apalagi mereka ketika ditanya satu persatu siapa yang bersedia kembali ke kampung halamannya hanya satu dua orang saja yang bersedia.

Sedangkan sebagian besar dari TKI deportasi tersebut mengaku tetap akan kembali ke Malaysia untuk bekerja, apa pun risikonya, karena mudah mendapatkan nafkah dibandingkan di kampung halamannya.

"Kemungkinan besar mereka diseberangkan lagi ke Malaysia secara ilegal," kata Pardamean.

Ia menegaskan, upaya-upaya semacam ini bisa saja tidak terjadi apabila telah tersedia penampungan khusus dan ditangani langsung oleh pemerintah yaitu bagi TKI yang bersedia kembali kampung akan dipulangkan dan bagi yang masih berkeinginan kembali bekerja di Malaysia diuruskan dokumen dan dicarikan tempat kerja atau majikan.

"Selama rumah penampungan belum ada, maka TKI deportasi tetap diperlakukan seperti sekarang ini yaitu diseberangkan lagi ke Malaysia secara ilegal," ucapnya.

"Jadi kemungkinan ada di antara mereka itu yang sudah beberapa kali dideportasi karena pasti tidak pernah menggunakan paspor," bebernya.

Pewarta: M Rusman

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012