LSM GLobal Energy Monitor (GEM) menginginkan pengurangan pembangunan berbagai PLTU sehingga era kejayaan batu bara juga dapat berakhir serta akan membuka pintu bagi kejayaan pembangkit listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT), seperti tenaga surya dan angin.


"Pada tahun 2020 kami melihat negara demi negara membuat pengumuman untuk memangkas jumlah tenaga batu bara dalam rencana energi masa depan mereka," kata Direktur Program Batu Bara GEM Christine Shearer dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.

Dalam laporan GEM bertajuk "Boom and Bust 2021" disebutkan negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kemungkinan menjelang proyek pembangkit listrik batu bara terakhirnya.

Laporan itu juga memperkirakan kebijakan tersebut akan menyisakan 25,2 GW kapasitas pembangkit listrik batu bara pada tahap perencanaan prakonstruksi di keempat negara yaitu Bangladesh, Filipina, Vietnam, dan Indonesia, turun 80 persen dari 125,5 GW yang sudah direncanakan di negara negara tersebut sejak sekitar lima tahun sebelumnya.

Pengumuman tersebut mendapat perhatian karena Asia Selatan dan Asia Tenggara sudah sejak dahulu dipandang sebagai pusat pertumbuhan pembangkit listrik batu bara setelah China.

Kondisi itu dinilai merupakan dampak dari turunnya permintaan listrik dan lambatnya pengembangan pembangkit listrik batu bara akibat pandemi COVID-19, ditambah lagi dengan pengetatan pembiayaan bagi pembangkit listrik batu bara dan menurunnya biaya pembangkit listrik tenaga surya dan angin, sehingga semakin menutup pintu bagi batu bara di kawasan ini.

"Kami melihat potensi yang besar PLTU batu bara terakhir dalam perencanaan di sebagian besar dunia," katanya.

Indonesia sendiri, lanjutnya, sebagian besar rencana energi jangka pendek dan jangka panjangnya telah ditangguhkan pada 2020, setidaknya sebelas proyek pembangkit bernilai 13,1 miliar dolar AS mengalami keterlambatan akibat pandemi, termasuk lebih dari 8 GW proyek pembangkit listrik batu bara.

Sebagaimana diwartakan Indonesia membutuhkan investasi sebanyak 167 miliar AS untuk pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan membangun 56 GW tambahan pembangkit energi hijau.

"Kita membutuhkan total investasi sektor EBT sekitar 167 miliar dolar AS untuk mencapai target penurunan emisi di tahun 2030, dengan membangun 56 GW tambahan pembangkit EBT," kata Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam di Jakarta, Jumat (5/3).

Tahun ini, ujar dia, pemerintah menargetkan investasi pada sektor energi hijau senilai 2,05 miliar AS, lebih tinggi dibandingkan capaian investasi pada 2020 yang berjumlah 1,36 miliar AS.

Berdasarkan kajian Bappenas, ada enam jenis EBT yang tersedia dan telah dikembangkan secara komersil di Indonesia, yakni surya, angin, panas bumi, dan bioenergi. Selain itu, ada energi potensial yang belum dikembangkan seperti gelombang air laut dan hidrogen.

"Total potensi EBT untuk pembangkitan listrik yang ada di Indonesia diperkirakan berada di angka 419 GW. Dari total potensi tersebut, hampir setengahnya adalah potensi dari energi surya sebesar 207 GW disusul dengan air 75 GW, dan angin 60 GW," kata Medrilzam.

Indonesia memiliki dua target besar yaitu target bauran energi hijau sebesar 23 persen tahun 2025 melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan target penurunan emisi sebesar 29 persen dari baseline di tahun 2030 sesuai Paris Agreement.

"Bauran energi saat ini berada di angka 11,5 persen dari target sebesar 23 persen. Sebagai upaya mencapai target tersebut, dilakukan banyak dorongan kepada pengembangan EBT, baik dalam bentuk peraturan, stimulus, maupun insentif," kata Medrilzam.

Pewarta: M Razi Rahman

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021