Jakarta (ANTARA News) - Kalau malam itu tak bertambah tua,
mungkin Mugiyanti akan menceritakan kisah seluruh anak didiknya, atau
minimal 25 anak berkebutuhan khusus yang ikut dia asuh di panti.
Begitu bersemangat perempuan berkerudung itu menuturkan perkembangan murid-muridnya. Energinya seolah tak berkurang sedikitpun meski dia telah menghabiskan hampir sepertiga waktu hari itu untuk mengikuti serangkaian kegiatan yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Setiap anak punya cerita, seperti sinetron saja ceritanya," kata guru sekolah luar biasa itu ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.
Perempuan berkulit sawo matang itu mengawali ceritanya dengan Muryanti, yang umurnya sekitar enam tahun ketika dibawa ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Bina Siwi di Manukan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Kami mendatangi rumahnya setelah mendapat informasi dari guru taman kanak-kanak tentang anak yang sama sekali tidak bicara. Ditendang atau dicubit teman-temannya pun tak bersuara, jadi dia dikira bisu. Dan dia berjalan berjinjit," kata perempuan asal Bantul yang lahir tanggal 16 Agustus 1971 itu.
"Waktu kami temukan, tubuhnya penuh borok. Baunya campur aduk, tidak bisa digambarkan, sampai ada rekan kami yang muntah saat masuk ke rumahnya. Dia tinggal sama simbahnya yang mencari nafkah dengan derep (buruh sawah). Ibunya gila dan bapaknya meninggalkan rumah," tambahnya.
Guru-guru SLB Bina Siwi kemudian membawa Muryanti ke sekolah, membersihkan dan merawat luka di seluruh tubuhnya, termasuk menggunduli kepalanya yang juga penuh borok.
Mereka lantas melakukan penilaian dan membuat kesimpulan awal bahwa anak itu tuna grahita dan sedang dalam keadaan depresi berat. Tapi anak perempuan itu ternyata tidak bisu. Setelah beberapa waktu di panti Muryanti bisa tersenyum dan kemudian bicara.
"Sekarang umurnya sudah sembilan tahun dan sudah bisa menari," kata alumnus Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta itu dengan mata berbinar, penuh kebanggaan.
Lalu Mugiyanti berkisah tentang Njari, anak laki-laki bertubuh besar yang setiap hari dia lihat duduk di gapura tikungan jalan di Kampung Triwidaden.
"Rambutnya panjang rewo-rewo kayak demit. Bajunya dobel-dobel, pakai kaus dalam, kaus pendek, kaus panjang dan kemeja. Celananya juga dobel-dobel," tuturnya.
Mugiyanti meminta petugas sekolah membawa Njari ke panti. "Saya bilang, tolong dilihat, siapa tahu dia membutuhkan kami," katanya.
Petugas sekolah kemudian menelusuri kehidupan Njari dan menemukan fakta bahwa anak yang pernah belajar di Sekolah Dasar (SD) itu hidup sendiri di sebuah gubuk kecil yang disokong sebatang pohon mlandingan (petai cina) .
"Seperti sinetron kalau saya ceritakan. Dia tinggal di gubuk sebatang kara. Dia punya mbakyu (kakak) yang hanya bisa mengirim beras karena miskin. Jadi Njari hanya makan nasi dan garam setiap hari. Dia minum langsung dari air sumur," tuturnya.
Njari akhirnya dibawa ke panti, meninggalkan gubuk yang sudah hampir ambruk. Anak laki-laki itu sampai sekarang tinggal dan belajar di Panti SLB Bina Siwi.
"Dulu nggak ada yang peduli sama dia. Tapi sekarang sudah mentereng dia. Kami menugasinya menjaga warung, kalau ada yang beli dia yang melayani. Bangga kami sebagai orang tua bisa melihat itu," katanya dengan mata berbinar.
Mugiyanti juga bercerita tentang muridnya Ngatijan yang sekarang sudah menjadi karyawan SLB, Uswatun Khasanah yang sudah bisa bekerja di peternakan ayam, dan Erwin yang meski tak punya tangan ingin belajar komputer. Juga siswa-siswa SLB lain yang kini sudah pandai membuat emping melinjo.
"Setiap anak punya kisah yang tak bisa saya lupa," kata Mugiyanti, yang sejak 19 tahun lalu mengajar di SLB Bina Siwi.
Pangkal Cerita
Hubungan Mugiyanti dengan anak-anak berkebutuhan khusus berawal dari keinginannya untuk menjadi guru yang membuat dia memilih belajar di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Ringinharjo, Bantul.
"Di desa kelahiran saya guru sangat dihargai. Orang tua saya juga ingin anak perempuannya menjadi guru. Jadi selepas SMP di Jetis, saya masuk ke SPG," tutur Mugiyanti, yang lahir di Desa Sumber Mulyo, Bambanglipuro, Bantul.
Mugiyanti memilih Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) karena masa pendidikan yang lebih pendek dan biaya yang tidak terlalu tinggi.
"Awalnya kami juga tidak tahu mau dicetak jadi apa, yang penting kuliah saja. Kemudian dikasih tahu kakak kelas bahwa kita akan menjadi guru sekolah luar biasa, dari situ kami terdorong untuk belajar," kata dia.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SGPLB Negeri Yogyakarta, dia terpanggil untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah.
"Kami mencari informasi dulu di wilayah Kabupaten Bantul, dan menemukan Kecamatan Pajangan termasuk daerah yang belum punya SLB," katanya.
Bersama beberapa teman Mugiyanti kemudian mencari data di kelurahan-kelurahan dan menemukan lebih dari 100 anak berkebutuhan khusus di Pajangan, wilayah kecamatan yang berada sekitar enam kilometer dari ibukota Kabupaten Bantul.
"Pihak kelurahan sangat membantu. Tapi kami juga melakukan identifikasi pintu ke pintu dari kampung ke kampung untuk melakukan penjaringan," katanya.
Dari penjaringan yang dilakukan dari kampung ke kampung, mereka menemukan 30 anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan pendidikan.
"Pertama kami bingung, mau kami tempatkan dimana anak-anak ini. Untung pihak Kelurahan Sendangsari sangat membantu, mereka menyisihkan tempat di balai desa untuk belajar," tuturnya.
Mugiyanti dan dua temannya kemudian memulai kegiatan belajar di ruangan seluas 3x4 meter persegi dengan sejumlah meja dan kursi bantuan dari kelurahan.
"Kami mengajar semampu kami, dari ilmu yang kami dapat. Kemudian kami melihat kurikulum sekolah luar biasa lain, kadang kami pinjam atau foto kopi kurikulum mereka untuk memperbaiki kurikulum kami," katanya.
Mereka bahu membahu menghidupkan sekolah luar biasa yang kemudian dinamai Bina Siwi itu. Biaya operasional untuk menjalankan sekolah gratis itu mereka cari dari berbagai sumber, termasuk dari keluarga mereka.
"Keluarga mendukung kami. Jadi kadang ada sedikit beras, atau hasil kebun, kami bawa ke sekolah untuk anak-anak," katanya.
Mereka bekerja sukarela. Honor tidak mereka dapat meski status mereka adalah guru honorer. "Honornya dari Allah," katanya.
Sampai sekarang pun Mugiyanti dan rekan-rekannya di Bina Siwi mengupayakan sendiri biaya operasional sekolah maupun panti, meski bantuan dari pemerintah kini sering mengalir.
Mereka membangun jaringan dengan badan-badan mahasiswa dan pelaku usaha setempat untuk mendukung penggalangan bantuan dan dana.
Namun mereka tak mau sepenuhnya bergantung pada pemberian orang, karenanya mereka membangun usaha berbasis potensi wilayah untuk menyokong kegiatan sekolah dan panti.
Bersama anak-anak didik, mereka mengerjakan pembuatan emping melinjo untuk pelaku usaha setempat.
"Emping bikinan anak-anak kami bagus kualitasnya, termasuk yang paling bagus di daerah kami," katanya sambil memperlihatkan video aktivitas anak-anak tuna grahita di sekolahnya yang kini sudah mahir membuat emping.
Mereka juga membuat telur asin, membuka layanan cuci motor, dan sekarang sudah punya sebuah warung. "Kami ingin anak-anak kami berkarya supaya tidak dipandang sebelah mata," kata guru yang banyak mengikuti kegiatan pelatihan dan mendapat sejumlah penghargaan itu.
"Dan Alhamdulillah sekarang sudah bisa mendukung operasional sekolah. Bahkan kami bisa membangun panti sendiri," kata Mugiyanti serta menambahkan sampai sekarang tak ada donatur tetap untuk sekolahnya.
Setelah sekolah berkembang dan bertambah besar, mereka juga memanfaatkan lahan kosong di belakang sekolah untuk menanam aneka sayuran supaya biaya makan tidak terlalu besar.
"Kalau beli semua kami kan tidak bisa. Di asrama ada 25 anak, yang kalau makan piringnya harus penuh. Sekali kami menanak nasi, dengan 11 gelas beras, itu langsung habis sekali makan," katanya.
Selanjutnya dia ingin suatu saat sekolah bisa membangun ruang pamer untuk memajang hasil karya anak-anak didik dan membeli mesin pembuatan emping untuk memajukan usaha sekolah.
Dia juga ingin bisa membeli komputer untuk anak-anak berkebutuhan khusus, supaya anak-anak tuna daksa seperti Erwin bisa belajar menggunakan piranti modern itu.
Separuh Waktu
Bekerja untuk anak-anak difabel yang kebanyakan yatim, piatu, atau yatim piatu sama sekali tak pernah membuat Mugiyanti bosan, jenuh atau lelah.
Ibu dari dua putra itu menikmati setiap waktu yang dia lewati bersama anak-anak didik yang kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu.
Dia menghabiskan lebih dari separuh waktunya untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Sejak pukul 07.00-14.00 WIB dia mengajar di SLB Bina Siwi.
Sebelum pulang ke rumah dia mampir ke panti untuk memastikan anak-anak yang kembali ke panti berganti baju, makan dan istirahat.
Dari panti dia pulang sebentar ke rumahnya, yang berjarak sekitar dua kilometer dari panti, untuk kemudian balik ke panti lagi. "Biasanya kami pulang dari panti sehabis magrib," katanya.
Suami dan kedua putranya tidak keberatan. "Malah kadang mereka ikut main ke panti," katanya
Bermodal kasih sayang dan niat untuk menapaki jalan kebaikan, putri pasangan Jarwo Wiyono dan Ngadinah itu bekerja sepenuh hati membantu anak-anak didik mempersiapkan diri untuk menjalani hidup yang lebih baik.
Meski bukan orang kaya dan tidak berasal dari keluarga kaya, Mugiyanti tidak terlalu mengharapkan upah dari pekerjaan yang dia lakukan.
Dia percaya pekerjaan baik dengan sendirinya akan membuka jalan bagi kebaikan dan berkah. "Saya dengan mudah jadi pegawai negeri sipil tahun 2005 dan sekarang saya bisa berada di sini, tempat yang bahkan tak pernah saya angankan, ini semua saya yakin karena doa anak-anak," katanya.
Perempuan bertubuh ramping yang terlihat cergas itu sudah bangga menyaksikan anak-anak asuhnya punya ketrampilan untuk bertahan hidup mandiri. Dan dia bahagia anak-anak didik menganggapnya sebagai ibu.
"Setiap saya datang, anak-anak memanggil-manggil saya dan bilang, ini simbok (ibu) saya. Itu rasanya sudah sangat senang. Senang rasanya kalau hidup kita bisa bermanfaat untuk orang lain," demikian Mugiyanti. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012
Begitu bersemangat perempuan berkerudung itu menuturkan perkembangan murid-muridnya. Energinya seolah tak berkurang sedikitpun meski dia telah menghabiskan hampir sepertiga waktu hari itu untuk mengikuti serangkaian kegiatan yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Setiap anak punya cerita, seperti sinetron saja ceritanya," kata guru sekolah luar biasa itu ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.
Perempuan berkulit sawo matang itu mengawali ceritanya dengan Muryanti, yang umurnya sekitar enam tahun ketika dibawa ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Bina Siwi di Manukan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Kami mendatangi rumahnya setelah mendapat informasi dari guru taman kanak-kanak tentang anak yang sama sekali tidak bicara. Ditendang atau dicubit teman-temannya pun tak bersuara, jadi dia dikira bisu. Dan dia berjalan berjinjit," kata perempuan asal Bantul yang lahir tanggal 16 Agustus 1971 itu.
"Waktu kami temukan, tubuhnya penuh borok. Baunya campur aduk, tidak bisa digambarkan, sampai ada rekan kami yang muntah saat masuk ke rumahnya. Dia tinggal sama simbahnya yang mencari nafkah dengan derep (buruh sawah). Ibunya gila dan bapaknya meninggalkan rumah," tambahnya.
Guru-guru SLB Bina Siwi kemudian membawa Muryanti ke sekolah, membersihkan dan merawat luka di seluruh tubuhnya, termasuk menggunduli kepalanya yang juga penuh borok.
Mereka lantas melakukan penilaian dan membuat kesimpulan awal bahwa anak itu tuna grahita dan sedang dalam keadaan depresi berat. Tapi anak perempuan itu ternyata tidak bisu. Setelah beberapa waktu di panti Muryanti bisa tersenyum dan kemudian bicara.
"Sekarang umurnya sudah sembilan tahun dan sudah bisa menari," kata alumnus Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta itu dengan mata berbinar, penuh kebanggaan.
Lalu Mugiyanti berkisah tentang Njari, anak laki-laki bertubuh besar yang setiap hari dia lihat duduk di gapura tikungan jalan di Kampung Triwidaden.
"Rambutnya panjang rewo-rewo kayak demit. Bajunya dobel-dobel, pakai kaus dalam, kaus pendek, kaus panjang dan kemeja. Celananya juga dobel-dobel," tuturnya.
Mugiyanti meminta petugas sekolah membawa Njari ke panti. "Saya bilang, tolong dilihat, siapa tahu dia membutuhkan kami," katanya.
Petugas sekolah kemudian menelusuri kehidupan Njari dan menemukan fakta bahwa anak yang pernah belajar di Sekolah Dasar (SD) itu hidup sendiri di sebuah gubuk kecil yang disokong sebatang pohon mlandingan (petai cina) .
"Seperti sinetron kalau saya ceritakan. Dia tinggal di gubuk sebatang kara. Dia punya mbakyu (kakak) yang hanya bisa mengirim beras karena miskin. Jadi Njari hanya makan nasi dan garam setiap hari. Dia minum langsung dari air sumur," tuturnya.
Njari akhirnya dibawa ke panti, meninggalkan gubuk yang sudah hampir ambruk. Anak laki-laki itu sampai sekarang tinggal dan belajar di Panti SLB Bina Siwi.
"Dulu nggak ada yang peduli sama dia. Tapi sekarang sudah mentereng dia. Kami menugasinya menjaga warung, kalau ada yang beli dia yang melayani. Bangga kami sebagai orang tua bisa melihat itu," katanya dengan mata berbinar.
Mugiyanti juga bercerita tentang muridnya Ngatijan yang sekarang sudah menjadi karyawan SLB, Uswatun Khasanah yang sudah bisa bekerja di peternakan ayam, dan Erwin yang meski tak punya tangan ingin belajar komputer. Juga siswa-siswa SLB lain yang kini sudah pandai membuat emping melinjo.
"Setiap anak punya kisah yang tak bisa saya lupa," kata Mugiyanti, yang sejak 19 tahun lalu mengajar di SLB Bina Siwi.
Pangkal Cerita
Hubungan Mugiyanti dengan anak-anak berkebutuhan khusus berawal dari keinginannya untuk menjadi guru yang membuat dia memilih belajar di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Ringinharjo, Bantul.
"Di desa kelahiran saya guru sangat dihargai. Orang tua saya juga ingin anak perempuannya menjadi guru. Jadi selepas SMP di Jetis, saya masuk ke SPG," tutur Mugiyanti, yang lahir di Desa Sumber Mulyo, Bambanglipuro, Bantul.
Mugiyanti memilih Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) karena masa pendidikan yang lebih pendek dan biaya yang tidak terlalu tinggi.
"Awalnya kami juga tidak tahu mau dicetak jadi apa, yang penting kuliah saja. Kemudian dikasih tahu kakak kelas bahwa kita akan menjadi guru sekolah luar biasa, dari situ kami terdorong untuk belajar," kata dia.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SGPLB Negeri Yogyakarta, dia terpanggil untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah.
"Kami mencari informasi dulu di wilayah Kabupaten Bantul, dan menemukan Kecamatan Pajangan termasuk daerah yang belum punya SLB," katanya.
Bersama beberapa teman Mugiyanti kemudian mencari data di kelurahan-kelurahan dan menemukan lebih dari 100 anak berkebutuhan khusus di Pajangan, wilayah kecamatan yang berada sekitar enam kilometer dari ibukota Kabupaten Bantul.
"Pihak kelurahan sangat membantu. Tapi kami juga melakukan identifikasi pintu ke pintu dari kampung ke kampung untuk melakukan penjaringan," katanya.
Dari penjaringan yang dilakukan dari kampung ke kampung, mereka menemukan 30 anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan pendidikan.
"Pertama kami bingung, mau kami tempatkan dimana anak-anak ini. Untung pihak Kelurahan Sendangsari sangat membantu, mereka menyisihkan tempat di balai desa untuk belajar," tuturnya.
Mugiyanti dan dua temannya kemudian memulai kegiatan belajar di ruangan seluas 3x4 meter persegi dengan sejumlah meja dan kursi bantuan dari kelurahan.
"Kami mengajar semampu kami, dari ilmu yang kami dapat. Kemudian kami melihat kurikulum sekolah luar biasa lain, kadang kami pinjam atau foto kopi kurikulum mereka untuk memperbaiki kurikulum kami," katanya.
Mereka bahu membahu menghidupkan sekolah luar biasa yang kemudian dinamai Bina Siwi itu. Biaya operasional untuk menjalankan sekolah gratis itu mereka cari dari berbagai sumber, termasuk dari keluarga mereka.
"Keluarga mendukung kami. Jadi kadang ada sedikit beras, atau hasil kebun, kami bawa ke sekolah untuk anak-anak," katanya.
Mereka bekerja sukarela. Honor tidak mereka dapat meski status mereka adalah guru honorer. "Honornya dari Allah," katanya.
Sampai sekarang pun Mugiyanti dan rekan-rekannya di Bina Siwi mengupayakan sendiri biaya operasional sekolah maupun panti, meski bantuan dari pemerintah kini sering mengalir.
Mereka membangun jaringan dengan badan-badan mahasiswa dan pelaku usaha setempat untuk mendukung penggalangan bantuan dan dana.
Namun mereka tak mau sepenuhnya bergantung pada pemberian orang, karenanya mereka membangun usaha berbasis potensi wilayah untuk menyokong kegiatan sekolah dan panti.
Bersama anak-anak didik, mereka mengerjakan pembuatan emping melinjo untuk pelaku usaha setempat.
"Emping bikinan anak-anak kami bagus kualitasnya, termasuk yang paling bagus di daerah kami," katanya sambil memperlihatkan video aktivitas anak-anak tuna grahita di sekolahnya yang kini sudah mahir membuat emping.
Mereka juga membuat telur asin, membuka layanan cuci motor, dan sekarang sudah punya sebuah warung. "Kami ingin anak-anak kami berkarya supaya tidak dipandang sebelah mata," kata guru yang banyak mengikuti kegiatan pelatihan dan mendapat sejumlah penghargaan itu.
"Dan Alhamdulillah sekarang sudah bisa mendukung operasional sekolah. Bahkan kami bisa membangun panti sendiri," kata Mugiyanti serta menambahkan sampai sekarang tak ada donatur tetap untuk sekolahnya.
Setelah sekolah berkembang dan bertambah besar, mereka juga memanfaatkan lahan kosong di belakang sekolah untuk menanam aneka sayuran supaya biaya makan tidak terlalu besar.
"Kalau beli semua kami kan tidak bisa. Di asrama ada 25 anak, yang kalau makan piringnya harus penuh. Sekali kami menanak nasi, dengan 11 gelas beras, itu langsung habis sekali makan," katanya.
Selanjutnya dia ingin suatu saat sekolah bisa membangun ruang pamer untuk memajang hasil karya anak-anak didik dan membeli mesin pembuatan emping untuk memajukan usaha sekolah.
Dia juga ingin bisa membeli komputer untuk anak-anak berkebutuhan khusus, supaya anak-anak tuna daksa seperti Erwin bisa belajar menggunakan piranti modern itu.
Separuh Waktu
Bekerja untuk anak-anak difabel yang kebanyakan yatim, piatu, atau yatim piatu sama sekali tak pernah membuat Mugiyanti bosan, jenuh atau lelah.
Ibu dari dua putra itu menikmati setiap waktu yang dia lewati bersama anak-anak didik yang kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu.
Dia menghabiskan lebih dari separuh waktunya untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Sejak pukul 07.00-14.00 WIB dia mengajar di SLB Bina Siwi.
Sebelum pulang ke rumah dia mampir ke panti untuk memastikan anak-anak yang kembali ke panti berganti baju, makan dan istirahat.
Dari panti dia pulang sebentar ke rumahnya, yang berjarak sekitar dua kilometer dari panti, untuk kemudian balik ke panti lagi. "Biasanya kami pulang dari panti sehabis magrib," katanya.
Suami dan kedua putranya tidak keberatan. "Malah kadang mereka ikut main ke panti," katanya
Bermodal kasih sayang dan niat untuk menapaki jalan kebaikan, putri pasangan Jarwo Wiyono dan Ngadinah itu bekerja sepenuh hati membantu anak-anak didik mempersiapkan diri untuk menjalani hidup yang lebih baik.
Meski bukan orang kaya dan tidak berasal dari keluarga kaya, Mugiyanti tidak terlalu mengharapkan upah dari pekerjaan yang dia lakukan.
Dia percaya pekerjaan baik dengan sendirinya akan membuka jalan bagi kebaikan dan berkah. "Saya dengan mudah jadi pegawai negeri sipil tahun 2005 dan sekarang saya bisa berada di sini, tempat yang bahkan tak pernah saya angankan, ini semua saya yakin karena doa anak-anak," katanya.
Perempuan bertubuh ramping yang terlihat cergas itu sudah bangga menyaksikan anak-anak asuhnya punya ketrampilan untuk bertahan hidup mandiri. Dan dia bahagia anak-anak didik menganggapnya sebagai ibu.
"Setiap saya datang, anak-anak memanggil-manggil saya dan bilang, ini simbok (ibu) saya. Itu rasanya sudah sangat senang. Senang rasanya kalau hidup kita bisa bermanfaat untuk orang lain," demikian Mugiyanti. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012