Mantan anggota Komisi V DPR, Bambang Haryo SoekartoBambang Haryo Soekartono, no, mengemukakan, pemerintah semestinya lebih serius menyelamatkan maskapai penerbangan nasional.
Dia merekomendasikan dibangunnya low cost terminal (LCT) di seluruh bandara dan secara bersamaan menekan kurs dolar AS sehingga pada level keekonomian untuk bisnis jasa angkuran udara.
“LCT ini tentu diiringi dengan menekan biaya parkir, biaya navigasi dan biaya-biaya lainnya, termasuk passenger service charge (PSC). LCT seperti itu amat dibutuhkan dalam rangka menekan cost maskapai,” tuturnya kepada Media Antara, Selasa (1/10/2019).
Dia menuturkan dibegitu banyak negara, termasuk Eropa LCT dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan publik terhadap penerbangan low cost carrier (LCC).
Sejalan dengan pembangunan LCT, Bambang Haryo menuturkan, pemerintah semestinya menekan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.
Dengan kurs Rp14.000-an / dolar AS, beban biaya maskapai semakin berat.
“Karena komponen biaya didominasi oleh penggunaan dolar AS. Kalau dolar makin mahal maka semakin membengkak biaya maskapai,” ujarnya.
Karenanya, dia mengutarakan sudah saatnya pemerintah mengerahkan dan memanfaatkan seluruh instrumen untuk menekan nilai tukar dolar AS.
Pada sisi lain, dia mengingatkan pemerintah untuk tidak membuat regulasi yang menambah beban maskapai penerbangan.
Kinerja Runway
Bambang Haryo juga menyoroti kinerja AirNav yang dinilainya sangat minim. Setiap runway produktifitasnya hanya sekitar 20-35 takeoff landing per jam, padahal banyak bandara di negara lain sudah antara 75-100 take off landing per jam.
Contohnya Bandara Heathrow di London, dia mengutarakan produktiftasnya per runway 100 takeoff landing per jam, sedangkan Bandara Soekarno-Hatta dengan 3 runway, target menteri perhubungan hanya 118 takeof landing per jam.
“Dengan kinerja runway kita, pesawat yang akan landing atau mendarat harus putar-putar, istilahnya holding, dan yang akan takeoff terbang harus antre panjang. Akhirnya terjadi inefisiensi biaya BBM, bertambah banyak. Waktu banyak yang hilang airlane dan konsumen sangat dirugikan,” cetusnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019
Dia merekomendasikan dibangunnya low cost terminal (LCT) di seluruh bandara dan secara bersamaan menekan kurs dolar AS sehingga pada level keekonomian untuk bisnis jasa angkuran udara.
“LCT ini tentu diiringi dengan menekan biaya parkir, biaya navigasi dan biaya-biaya lainnya, termasuk passenger service charge (PSC). LCT seperti itu amat dibutuhkan dalam rangka menekan cost maskapai,” tuturnya kepada Media Antara, Selasa (1/10/2019).
Dia menuturkan dibegitu banyak negara, termasuk Eropa LCT dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan publik terhadap penerbangan low cost carrier (LCC).
Sejalan dengan pembangunan LCT, Bambang Haryo menuturkan, pemerintah semestinya menekan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.
Dengan kurs Rp14.000-an / dolar AS, beban biaya maskapai semakin berat.
“Karena komponen biaya didominasi oleh penggunaan dolar AS. Kalau dolar makin mahal maka semakin membengkak biaya maskapai,” ujarnya.
Karenanya, dia mengutarakan sudah saatnya pemerintah mengerahkan dan memanfaatkan seluruh instrumen untuk menekan nilai tukar dolar AS.
Pada sisi lain, dia mengingatkan pemerintah untuk tidak membuat regulasi yang menambah beban maskapai penerbangan.
Kinerja Runway
Bambang Haryo juga menyoroti kinerja AirNav yang dinilainya sangat minim. Setiap runway produktifitasnya hanya sekitar 20-35 takeoff landing per jam, padahal banyak bandara di negara lain sudah antara 75-100 take off landing per jam.
Contohnya Bandara Heathrow di London, dia mengutarakan produktiftasnya per runway 100 takeoff landing per jam, sedangkan Bandara Soekarno-Hatta dengan 3 runway, target menteri perhubungan hanya 118 takeof landing per jam.
“Dengan kinerja runway kita, pesawat yang akan landing atau mendarat harus putar-putar, istilahnya holding, dan yang akan takeoff terbang harus antre panjang. Akhirnya terjadi inefisiensi biaya BBM, bertambah banyak. Waktu banyak yang hilang airlane dan konsumen sangat dirugikan,” cetusnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019