Balikpapan (ANTARA News Kaltim) - Sekitar 200 hektare sawah dan tambak ikan milik warga RT 6 Desa Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, terendam banjir akibat meluapnya Sungai Merdeka sepanjang pekan lalu.
"Persisnya antara tanggal 7 Januari hingga hari ini," kata Faridah Hanum, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tani Abadi di RT 6 Desa Sungai Merdeka, Samboja, Selasa.
Dari 200 hektare tersebut, 145 hektare-nya malah sudah setahun terakhir tidak bisa ditanami lagi karena air tidak kunjung turun.
Sawah-sawah penduduk itu kini berwujud rawa-rawa di balik perbukitan di Km 36 Jalan Soekarno-Hatta. Petani tinggal bercocok tanam di 55 lahan tersisa dan kini lahan itu juga diterjang banjir.
"Kerugian kami ratusan juta rupiah. Yang pasti kami juga tidak jadi panen bulan Maret ini," sambung Abdul Jabar, ketua Kelompok Tani Setia Jaya.
Menurut dia, itu artinya mereka harus membeli beras, bukan menjual seperti seharusnya.
Warga melihat penyebab utama banjir terutama tambang-tambang batubara yang ada di sekitar, yaitu di barat desa, mapun yang ada di timur desa.
Tambang telah menyebabkan Sungai Merdeka mendangkal karena sedimentasi atau pengendapan. Tambang batubara juga membuat air hujan tidak mampu diserap tanah sehingga langsung turun ke sungai.
"Sebab sebelum ada tambang tidak ada banjir begini," kata Said, warga lainnnya yang mengaku sudah bertani di Samboja sejak tahun 1970-an.
Bercerita Said, sebelum ada kuasa-kuasa pertambangan kecil di timur desa, atau disebutnya "tambang pribadi", banjir terjadi karena air meluap dari hulu. Karena itu mereka yakin penyebabnya adalah perubahan permukaan tanah yang dibuat PT Singlurus, tambang batubara yang ada di sebelah barat. Sementara di sebelah timur desa, ada tiga perusahaan tambang.
"Sekarang air juga naik dari hilir karena sungainya tambah dangkal," kata Said.
Sedangkan menurut Hamsyi, warga yang juga staf kelurahan Sungai Merdeka, mereka pernah minta tolong PT Singlurus untuk mengeruk sungai selain melihat banjir yang timbul karena kerusakan di hulu tersebut.
"PT Singlurus minta bukan hanya mereka yang disalahkan, tapi juga tambang-tambang yang ada di hilir itu," kata Hamsyi.
Warga sendiri, lanjut Hamsyi, hanya minta perusahaan membantu mengeruk sungai agar air bisa mengalir dan warga bisa bercocok tanam lagi.
Bila panen tidak gagal, kelompok tani ini biasa menjual ke pasar 3-4 ton beras per hektare ke pasar di Balikpapan atau Samarinda. Penduduk di sini menanam padi jenis Ciherang, salah satu jenis padi unggulan yang bias dipanen setelah ditanam 3 bulan.
"Memang, rencana kami akan menggelar panen raya Maret mendatang," kata Faridah.
Di sisi lain, menurut Faridah, padahal para petani tengah bersemangat untuk terus menaikkan produksi padi per hektare. Bila maksimal, padi Ciherang bisa menghasilkan beras antara 9 hingga 11 ton per hektar.
Air luapan Sungai Merdeka tersebut merendam tanaman padi warga yang baru berumur satu bulan seluas 55 hektare dan juga 3 hektare tambak ikan lele, nila, dan ikan mas. Terendam juga lahan Sekolah Lapangan (SL) seluah setengah hektar.
"Sekolah lapangan itu berupa sawah juga, tempat kami belajar memberantas hama dan penyakit tanaman," kata Tarigan, warga lainnya.
Selain padi, masyarakat juga kehilangan ikan yang ditanam dalam kolam seluas 3 hektare. Kemudian, ikan lele yang tidak ikut terbawa banjir kini malah terkena penyakit. "Mana bisa dijual kalau begini," katanya.
Meskipun demikian, Faridah mengatakan mereka masih mencoba untuk mengobati ikan-ikan tersebut. Karena banjir dan kehilangan ikan-ikan tersebut, pasokan 300 kg lele ke pasar Balikpapan per hari menjadi tidak ada. Dengan harga jual ke pengepul Rp16.000 per kg, maka mereka diperkirakan kehilangan omzet tak kurang dari Rp4,8 juta sehari. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012
"Persisnya antara tanggal 7 Januari hingga hari ini," kata Faridah Hanum, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tani Abadi di RT 6 Desa Sungai Merdeka, Samboja, Selasa.
Dari 200 hektare tersebut, 145 hektare-nya malah sudah setahun terakhir tidak bisa ditanami lagi karena air tidak kunjung turun.
Sawah-sawah penduduk itu kini berwujud rawa-rawa di balik perbukitan di Km 36 Jalan Soekarno-Hatta. Petani tinggal bercocok tanam di 55 lahan tersisa dan kini lahan itu juga diterjang banjir.
"Kerugian kami ratusan juta rupiah. Yang pasti kami juga tidak jadi panen bulan Maret ini," sambung Abdul Jabar, ketua Kelompok Tani Setia Jaya.
Menurut dia, itu artinya mereka harus membeli beras, bukan menjual seperti seharusnya.
Warga melihat penyebab utama banjir terutama tambang-tambang batubara yang ada di sekitar, yaitu di barat desa, mapun yang ada di timur desa.
Tambang telah menyebabkan Sungai Merdeka mendangkal karena sedimentasi atau pengendapan. Tambang batubara juga membuat air hujan tidak mampu diserap tanah sehingga langsung turun ke sungai.
"Sebab sebelum ada tambang tidak ada banjir begini," kata Said, warga lainnnya yang mengaku sudah bertani di Samboja sejak tahun 1970-an.
Bercerita Said, sebelum ada kuasa-kuasa pertambangan kecil di timur desa, atau disebutnya "tambang pribadi", banjir terjadi karena air meluap dari hulu. Karena itu mereka yakin penyebabnya adalah perubahan permukaan tanah yang dibuat PT Singlurus, tambang batubara yang ada di sebelah barat. Sementara di sebelah timur desa, ada tiga perusahaan tambang.
"Sekarang air juga naik dari hilir karena sungainya tambah dangkal," kata Said.
Sedangkan menurut Hamsyi, warga yang juga staf kelurahan Sungai Merdeka, mereka pernah minta tolong PT Singlurus untuk mengeruk sungai selain melihat banjir yang timbul karena kerusakan di hulu tersebut.
"PT Singlurus minta bukan hanya mereka yang disalahkan, tapi juga tambang-tambang yang ada di hilir itu," kata Hamsyi.
Warga sendiri, lanjut Hamsyi, hanya minta perusahaan membantu mengeruk sungai agar air bisa mengalir dan warga bisa bercocok tanam lagi.
Bila panen tidak gagal, kelompok tani ini biasa menjual ke pasar 3-4 ton beras per hektare ke pasar di Balikpapan atau Samarinda. Penduduk di sini menanam padi jenis Ciherang, salah satu jenis padi unggulan yang bias dipanen setelah ditanam 3 bulan.
"Memang, rencana kami akan menggelar panen raya Maret mendatang," kata Faridah.
Di sisi lain, menurut Faridah, padahal para petani tengah bersemangat untuk terus menaikkan produksi padi per hektare. Bila maksimal, padi Ciherang bisa menghasilkan beras antara 9 hingga 11 ton per hektar.
Air luapan Sungai Merdeka tersebut merendam tanaman padi warga yang baru berumur satu bulan seluas 55 hektare dan juga 3 hektare tambak ikan lele, nila, dan ikan mas. Terendam juga lahan Sekolah Lapangan (SL) seluah setengah hektar.
"Sekolah lapangan itu berupa sawah juga, tempat kami belajar memberantas hama dan penyakit tanaman," kata Tarigan, warga lainnya.
Selain padi, masyarakat juga kehilangan ikan yang ditanam dalam kolam seluas 3 hektare. Kemudian, ikan lele yang tidak ikut terbawa banjir kini malah terkena penyakit. "Mana bisa dijual kalau begini," katanya.
Meskipun demikian, Faridah mengatakan mereka masih mencoba untuk mengobati ikan-ikan tersebut. Karena banjir dan kehilangan ikan-ikan tersebut, pasokan 300 kg lele ke pasar Balikpapan per hari menjadi tidak ada. Dengan harga jual ke pengepul Rp16.000 per kg, maka mereka diperkirakan kehilangan omzet tak kurang dari Rp4,8 juta sehari. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012