Samarinda (Antaranews Kaltim) - Sejumlah lembaga kajian lingkungan meminta penghentian pembahasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kalimantan Timur ( RZWP3K) yang saat ini tengah dirumuskan oleh DPRD dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Dinamisatoris Jaringan Advokasi Takbang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, kepada awak media di Samarinda, Rabu, mengatakan bahwa pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dalam pembahasan RZWP3K tersebut.
"RZWP3K Kaltim sejak awal tidak melibatkan nelayan tradisional sebagai subyek penting dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Hal ini makin terlihat jelas saat proses konsultasi hari ini hanya 1 lembaga masyarakat sipil yang diundang," katanya.
Selain itu, lanjut Rupang, penyusunan draft perda RZWP3K yang seperti kejar tayang terlihat jelas disusun secara diam-diam, tidak transparan dan tidak partisipatif terhadap nelayan.
"Kelompok Kerja yang dibentuk oleh Gubernur Kalimantan Timur tidak memperhatikan tahapan penyusunan dokumen. Sementara tahap konsultasi teknis di KPP belum usai, justru Pansus RZWP3K di DPRD Kaltim telah dibentuk dan diklaim telah bekerja," bebernya.
Ia mengungkap, pada tahapan ini kami menduga telah terjadi proses melompat dalam penyusunan Raperda dan terkesan terburu-buru. "Hal yang sangat bertolak belakang dengan visi Rezim Jokowi-JK dan Menteri Kelautan dan Perikanan, bahwa `Laut sebagai masa depan Indonesia`," katanya.
Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Fathur Roziqin menambahkan saat penyusun tengah berlangsung telah ada beberapa persoalan yang terjadi diantaranya, pertama, sebagian besar kawasan pesisir di Kaltim terhubung dengan Karst.
"Diketahui Karts itu kaya akan sumber air tawar telah dicaplok sejumlah konsesi industri ekstraktif sumber daya alam baik itu tambang, pabrik semen, hutan tanaman industri, perkebunan sawit serta pelabuhan terminal khusus," jelasnya.
Ia mengatakan, kehadiran sektor industri ini mengancam Ekosistem Karst Sangkulirang Mangkalihat yang menjadi penopang kelangsungan hidup nelayan dan juga ekosistem laut khususnya di sepanjang pesisir wilayah utara Kalimantan Timur.
"Berdasarkan Perda RTRW Kaltim No.1 Tahun 2016-2036 dari 1,8 juta Ha luas Kawasan Sangkulirang Mangkalihat 307.337 Ha diantaranya ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi karst," jelasnya.
Namun ironinya ada sebanyak 37 izin lokasi yaitu 14 tambang, 1 pabrik semen, 21 sawit, dan 1 perkebunan karet diterbitkan di kawasan tersebut.
Persolaan kedua, lanjut Fatur yakni fakta nelayan sepanjang pesisir Kalimantan Timur, mulai dari Berau, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Balikpapan hingga Penajam Paser Utara dan Paser telah diabaikan haknya untuk menentukan zonasi tradisional tangkap nelayan.
"Setidaknya kami mengindentifikasi selama setahun ini dari September 2017 sampai September 2018 sudah ada 4 kasus yang terjadi berkaitan dengan rusak dan tercemarnya wilayah tangkapan nelayan dari 4 wilayah yaitu Berau, Balikapapan, Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara," bebernya.
Ketiga, telah berlangsung pembangunan fisik pabrik dan tambang semen serta pelabuhan terminal khusus di wilayah pesisir Biduk-Biduk yang dalam Kepmen KKP No.87 Tahun 2016 di tetapkan sebagai kawasan konservasi.
"Jika mengacu UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pasal 35 huruf i, telah terjadi pelanggaran pidana," jelas Fatur.
Sementara Ketua Jaringan Advokasi Lingkungan ( JAL) Balikpapan, Fathulhuda menambahkan terbitnya izin reklamasi pesisir pantai Balikpapan terkait mega proyek Coastal Road yang membentang sepanjang 7.5 km dari pantai melawai hingga stal kuda (berbatasan dengan Bandara Sepinggan) tanpa adanya dasar hukum sebagaimana dipersyaratkan oleh undang-undang yakni berupa Perda RZWP3K.
"Rencana Coastal Road ini juga berpotensi menggusur ratusan KK yang sebagian besar adalah nelayan yang telah lama bermukim, serta berpotensi merusak biota laut di sepanjang bibir pantai yang akan menjadi lokasi reklamasi pembangunan Coastal Road," jelasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018
Dinamisatoris Jaringan Advokasi Takbang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, kepada awak media di Samarinda, Rabu, mengatakan bahwa pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dalam pembahasan RZWP3K tersebut.
"RZWP3K Kaltim sejak awal tidak melibatkan nelayan tradisional sebagai subyek penting dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Hal ini makin terlihat jelas saat proses konsultasi hari ini hanya 1 lembaga masyarakat sipil yang diundang," katanya.
Selain itu, lanjut Rupang, penyusunan draft perda RZWP3K yang seperti kejar tayang terlihat jelas disusun secara diam-diam, tidak transparan dan tidak partisipatif terhadap nelayan.
"Kelompok Kerja yang dibentuk oleh Gubernur Kalimantan Timur tidak memperhatikan tahapan penyusunan dokumen. Sementara tahap konsultasi teknis di KPP belum usai, justru Pansus RZWP3K di DPRD Kaltim telah dibentuk dan diklaim telah bekerja," bebernya.
Ia mengungkap, pada tahapan ini kami menduga telah terjadi proses melompat dalam penyusunan Raperda dan terkesan terburu-buru. "Hal yang sangat bertolak belakang dengan visi Rezim Jokowi-JK dan Menteri Kelautan dan Perikanan, bahwa `Laut sebagai masa depan Indonesia`," katanya.
Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Fathur Roziqin menambahkan saat penyusun tengah berlangsung telah ada beberapa persoalan yang terjadi diantaranya, pertama, sebagian besar kawasan pesisir di Kaltim terhubung dengan Karst.
"Diketahui Karts itu kaya akan sumber air tawar telah dicaplok sejumlah konsesi industri ekstraktif sumber daya alam baik itu tambang, pabrik semen, hutan tanaman industri, perkebunan sawit serta pelabuhan terminal khusus," jelasnya.
Ia mengatakan, kehadiran sektor industri ini mengancam Ekosistem Karst Sangkulirang Mangkalihat yang menjadi penopang kelangsungan hidup nelayan dan juga ekosistem laut khususnya di sepanjang pesisir wilayah utara Kalimantan Timur.
"Berdasarkan Perda RTRW Kaltim No.1 Tahun 2016-2036 dari 1,8 juta Ha luas Kawasan Sangkulirang Mangkalihat 307.337 Ha diantaranya ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi karst," jelasnya.
Namun ironinya ada sebanyak 37 izin lokasi yaitu 14 tambang, 1 pabrik semen, 21 sawit, dan 1 perkebunan karet diterbitkan di kawasan tersebut.
Persolaan kedua, lanjut Fatur yakni fakta nelayan sepanjang pesisir Kalimantan Timur, mulai dari Berau, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Balikpapan hingga Penajam Paser Utara dan Paser telah diabaikan haknya untuk menentukan zonasi tradisional tangkap nelayan.
"Setidaknya kami mengindentifikasi selama setahun ini dari September 2017 sampai September 2018 sudah ada 4 kasus yang terjadi berkaitan dengan rusak dan tercemarnya wilayah tangkapan nelayan dari 4 wilayah yaitu Berau, Balikapapan, Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara," bebernya.
Ketiga, telah berlangsung pembangunan fisik pabrik dan tambang semen serta pelabuhan terminal khusus di wilayah pesisir Biduk-Biduk yang dalam Kepmen KKP No.87 Tahun 2016 di tetapkan sebagai kawasan konservasi.
"Jika mengacu UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pasal 35 huruf i, telah terjadi pelanggaran pidana," jelas Fatur.
Sementara Ketua Jaringan Advokasi Lingkungan ( JAL) Balikpapan, Fathulhuda menambahkan terbitnya izin reklamasi pesisir pantai Balikpapan terkait mega proyek Coastal Road yang membentang sepanjang 7.5 km dari pantai melawai hingga stal kuda (berbatasan dengan Bandara Sepinggan) tanpa adanya dasar hukum sebagaimana dipersyaratkan oleh undang-undang yakni berupa Perda RZWP3K.
"Rencana Coastal Road ini juga berpotensi menggusur ratusan KK yang sebagian besar adalah nelayan yang telah lama bermukim, serta berpotensi merusak biota laut di sepanjang bibir pantai yang akan menjadi lokasi reklamasi pembangunan Coastal Road," jelasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018