Samarinda (ANTARA Kaltim) - Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Agus Maryono menyarankan Pemerintah Kota Samarinda, Kalimantan Timur, segera menetapkan garis sempadan sungai jika ingin sumber daya air sungai tidak semakin rusak akibat perambahan dan perusakan oleh warga.
"Aturan tentang garis sempadan sungai sudah ada, yakni UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai," ujar Agus Maryono di Samarinda, Kamis.
Hal itu dikatakan Agus setelah melakukan penilaian terhadap komunitas Gerakan Memungut Sehelai Sampah di Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda. Komunitas ini masuk tiga besar nasional dalam lomba Komunitas Peduli Sungai. Dua tim penilai lainnya adalah Yudi dan Bambang
Menurut Agus, mengingat sudah ada UU dan peraturan menteri yang mengatur, maka Pemkot Samarinda dalam menetapkan garis sempadan tidak harus mengeluarkan peraturan daerah (perda). Namun bisa menerapkan salah satu dari tiga cara yang dilakukan bersama masyarakat.
Cara pertama adalah dengan membentuk Tim Penerapan Sempadan yang di dalamnya ada unsur pemerintah daerah dan tokoh masyarakat serta pihak terkait sehingga kemudian tim ini sepakat menentukan garis sempadan.
Cara kedua adalah menonjolkan kearifan lokal, yakni membangun kesadaran masyarakat tentang fungsi dan manfaat sungai sehingga masyarakat sadar yang akhirnya mereka sepakat mematok sendiri mana wilayah sungai yang harus dilindungi, seperti yang sudah diterapkan di Yogyakarta.
Sedangkan cara ketiga, lanjut dia, merupakan gabungan dari dua cara itu, yakni tim bersama masyarakat sepakat mematok garis sempadan. Penetapan tiga cara ini harus tetap mengacu pada UU dan peraturan yang ada.
"Kalau saya melihat kondisi Sungai Karang Mumus (SKM) yang penuh masalah, maka saya minta Pemkot Samarinda segera menetapkan garis sempadan. Paling lambat akhir tahun ini patok sempadan untuk SKM harus sudah ditancap, jika ingin sungainya selamat, karena cara ini pada hakekatnya juga menyelamatkan kehidupan manusia dan ekosistem sungai," tuturnya.
Berdasarkan pengamatan Agus, daerah aliran sungai (DAS) untuk SKM mencapai 500 meter karena termasuk sungai besar sehingga berdasarkan aturan yang ada, maka untuk kawasan dalam kota garis sempadan SKM adalah 50 meter dan di luar perkotaan dengan sempadan 100 meter.
Sedangkan untuk anak SKM di luar kawasan perkotaan, maka sempadannya 50 meter dan di dalam perkotaan 30 meter.
Dari anak sungai ini kemudian dibagi dua, yakni jika kedalaman 3 meter, maka garis sempadannya 10 meter, jika kedalaman 3-20 meter dengan sempadan 15 meter, kedalaman lebih dari 20 meter, maka sempadannya 30 meter.
Berdasarkan aturan itu, maka garis sempadannya harus segera dipatok meski masyarakat ada di kawasan sempadan, sehingga melalui aturan pemerintah daerah, maka masyarakat tidak boleh semena-mena terhadap sempadan.
"Jika dalam sempadan itu ada bangunan warga, maka kawasan itu harus dibuat status kuo, yakni bangunan yang ada tidak boleh di tingkat, tidak boleh dikembangkan, jadi harus dibiarkan apa adanya, kemudian pemerintah membuat program seperti relokasi atau memundurkan bangunan," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017
"Aturan tentang garis sempadan sungai sudah ada, yakni UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai," ujar Agus Maryono di Samarinda, Kamis.
Hal itu dikatakan Agus setelah melakukan penilaian terhadap komunitas Gerakan Memungut Sehelai Sampah di Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda. Komunitas ini masuk tiga besar nasional dalam lomba Komunitas Peduli Sungai. Dua tim penilai lainnya adalah Yudi dan Bambang
Menurut Agus, mengingat sudah ada UU dan peraturan menteri yang mengatur, maka Pemkot Samarinda dalam menetapkan garis sempadan tidak harus mengeluarkan peraturan daerah (perda). Namun bisa menerapkan salah satu dari tiga cara yang dilakukan bersama masyarakat.
Cara pertama adalah dengan membentuk Tim Penerapan Sempadan yang di dalamnya ada unsur pemerintah daerah dan tokoh masyarakat serta pihak terkait sehingga kemudian tim ini sepakat menentukan garis sempadan.
Cara kedua adalah menonjolkan kearifan lokal, yakni membangun kesadaran masyarakat tentang fungsi dan manfaat sungai sehingga masyarakat sadar yang akhirnya mereka sepakat mematok sendiri mana wilayah sungai yang harus dilindungi, seperti yang sudah diterapkan di Yogyakarta.
Sedangkan cara ketiga, lanjut dia, merupakan gabungan dari dua cara itu, yakni tim bersama masyarakat sepakat mematok garis sempadan. Penetapan tiga cara ini harus tetap mengacu pada UU dan peraturan yang ada.
"Kalau saya melihat kondisi Sungai Karang Mumus (SKM) yang penuh masalah, maka saya minta Pemkot Samarinda segera menetapkan garis sempadan. Paling lambat akhir tahun ini patok sempadan untuk SKM harus sudah ditancap, jika ingin sungainya selamat, karena cara ini pada hakekatnya juga menyelamatkan kehidupan manusia dan ekosistem sungai," tuturnya.
Berdasarkan pengamatan Agus, daerah aliran sungai (DAS) untuk SKM mencapai 500 meter karena termasuk sungai besar sehingga berdasarkan aturan yang ada, maka untuk kawasan dalam kota garis sempadan SKM adalah 50 meter dan di luar perkotaan dengan sempadan 100 meter.
Sedangkan untuk anak SKM di luar kawasan perkotaan, maka sempadannya 50 meter dan di dalam perkotaan 30 meter.
Dari anak sungai ini kemudian dibagi dua, yakni jika kedalaman 3 meter, maka garis sempadannya 10 meter, jika kedalaman 3-20 meter dengan sempadan 15 meter, kedalaman lebih dari 20 meter, maka sempadannya 30 meter.
Berdasarkan aturan itu, maka garis sempadannya harus segera dipatok meski masyarakat ada di kawasan sempadan, sehingga melalui aturan pemerintah daerah, maka masyarakat tidak boleh semena-mena terhadap sempadan.
"Jika dalam sempadan itu ada bangunan warga, maka kawasan itu harus dibuat status kuo, yakni bangunan yang ada tidak boleh di tingkat, tidak boleh dikembangkan, jadi harus dibiarkan apa adanya, kemudian pemerintah membuat program seperti relokasi atau memundurkan bangunan," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017