Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk menampung dana-dana program lingkungan dari dalam dan luar negeri.
"Di dalam BPDLH itu kami rencanakan ada dana dari Climate Change Funding Window, yang bertumpu kepada program REDD+," kata Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nur Masripatin di Balikpapan, Rabu.
Dirjen Masripatin berbicara dalam forum tukar pengalaman di ajang pertemuan tahunan Governors Climate and Forest Task Force (GCF) di Hotel Novotel di Balikpapan, Kalimantan Timur. Forum itu beranggotakan para gubernur dari provinsi dan negara bagian dari 10 negara di dunia pemilik hutan hujan tropis.
Program Reduction Emission, Deforestation and Degradation (REDD atau REDD+) adalah program yang kerap juga disebut program perdagangan karbon. Dalam hal ini, negara-negara berkembang yang memiliki hutan, terutama hutan hujan tropis sebagai kawasan penyimpan karbon dan paru-paru dunia, diminta untuk tidak membuka hutannya, juga memeliharanya.
Sebagai kompensasi, negara seperti Norwegia berjanji memberikan sejumlah bantuan dana untuk program pemeliharaan tersebut dan kesejahteraan masyarakat tempatan.
Menurut Masripatin, pembentukan BPDLH di bawah payung Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. BPDLH juga membuat pertanggungjawaban penggunaan dana akan lebih transparan.
"Sehingga komitmen Pemerintah Norwegia dalam kemitraan REDD+ melalui pembayaraan berbasis kinerja (performance based payment) dapat segera direalisasikan," kata Masripatin.
Di Kalimantan Timur adalah program Kaltim Green yang digagas Gubernur Awang Faroek Ishak di tahun 2010. Program ini dicanangkan untuk target pengurangan emisi hingga 26 persen di tahun 2020.
"Program kami itu mendorong investasi dengan cara menciptakan proyek yang dapat dibiayai bank untuk mengerjakan program REDD+, bekerja sama dengan GGGI dalam bentuk Forest Carbon Partnership Facility," jelas Asisten II Sekretaris Pemprov Kaltim Ichwansjah.
Brazil turut berbagi pengalaman mendorong investasi untuk program REDD+. Alex Marega, Wakil Sekretaris Negara bidang Lingkungan Hidup dari Mato Grosso, Brazil mengulas "Program of Produce, Conserve, Include" (PCI) Mato Grosso yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Program ini berhasil memetakan 241 inisiatif yang diimplementasikan dan didanai bersama oleh 381 institusi, baik publik maupun swasta.
Selain itu, Luzimeire Ribiero da Moura Carreira, Wakil Sekretaris Negara Brazil untuk bidang Lingkungan Hidup bercerita tentang strategi wilayah Tocantins, Brasil untuk memastikan pembangunan yang rendah karbon dan mempertahankan penurunan angka penggundulan hutan.
Sesi diakhiri dengan pemaparan dari Alfredo Arellano, Menteri Lingkungan Hidup Quintana Roo yang membagi pembelajaran dari wilayah Yucatan Peninsula, Meksiko mengenai Perjanjian Kerangka Yucatan Peninsula tentang Keberlanjutan untuk tahun 2030 (ASPY 2030).
Perjanjian ini ditandatangani oleh 13 negara bagian dan juga didukung oleh 3 universitas dalam komitmen terhadap pertumbuhan hijau dan konservasi di Yucatan. Di antara tujuan yang disepakati adalah untuk menarik pembiayaan swasta dan internasional guna melengkapi pendanaan publik domestik untuk ekonomi hijau.
Diluncurkan pada tahun 2009 oleh sepuluh Gubernur dari Brasil, Indonesia, dan Amerika Serikat (AS), GCF dirancang untuk memajukan pendekatan yurisdiksi secara keseluruhan terhadap program REDD+ dan pengembangan emisi rendah. Pertemuan tahun ini berlangsung di Balikpapan, Kalimantan Timur pada tanggal 25-29 September 2017. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017
"Di dalam BPDLH itu kami rencanakan ada dana dari Climate Change Funding Window, yang bertumpu kepada program REDD+," kata Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nur Masripatin di Balikpapan, Rabu.
Dirjen Masripatin berbicara dalam forum tukar pengalaman di ajang pertemuan tahunan Governors Climate and Forest Task Force (GCF) di Hotel Novotel di Balikpapan, Kalimantan Timur. Forum itu beranggotakan para gubernur dari provinsi dan negara bagian dari 10 negara di dunia pemilik hutan hujan tropis.
Program Reduction Emission, Deforestation and Degradation (REDD atau REDD+) adalah program yang kerap juga disebut program perdagangan karbon. Dalam hal ini, negara-negara berkembang yang memiliki hutan, terutama hutan hujan tropis sebagai kawasan penyimpan karbon dan paru-paru dunia, diminta untuk tidak membuka hutannya, juga memeliharanya.
Sebagai kompensasi, negara seperti Norwegia berjanji memberikan sejumlah bantuan dana untuk program pemeliharaan tersebut dan kesejahteraan masyarakat tempatan.
Menurut Masripatin, pembentukan BPDLH di bawah payung Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. BPDLH juga membuat pertanggungjawaban penggunaan dana akan lebih transparan.
"Sehingga komitmen Pemerintah Norwegia dalam kemitraan REDD+ melalui pembayaraan berbasis kinerja (performance based payment) dapat segera direalisasikan," kata Masripatin.
Di Kalimantan Timur adalah program Kaltim Green yang digagas Gubernur Awang Faroek Ishak di tahun 2010. Program ini dicanangkan untuk target pengurangan emisi hingga 26 persen di tahun 2020.
"Program kami itu mendorong investasi dengan cara menciptakan proyek yang dapat dibiayai bank untuk mengerjakan program REDD+, bekerja sama dengan GGGI dalam bentuk Forest Carbon Partnership Facility," jelas Asisten II Sekretaris Pemprov Kaltim Ichwansjah.
Brazil turut berbagi pengalaman mendorong investasi untuk program REDD+. Alex Marega, Wakil Sekretaris Negara bidang Lingkungan Hidup dari Mato Grosso, Brazil mengulas "Program of Produce, Conserve, Include" (PCI) Mato Grosso yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Program ini berhasil memetakan 241 inisiatif yang diimplementasikan dan didanai bersama oleh 381 institusi, baik publik maupun swasta.
Selain itu, Luzimeire Ribiero da Moura Carreira, Wakil Sekretaris Negara Brazil untuk bidang Lingkungan Hidup bercerita tentang strategi wilayah Tocantins, Brasil untuk memastikan pembangunan yang rendah karbon dan mempertahankan penurunan angka penggundulan hutan.
Sesi diakhiri dengan pemaparan dari Alfredo Arellano, Menteri Lingkungan Hidup Quintana Roo yang membagi pembelajaran dari wilayah Yucatan Peninsula, Meksiko mengenai Perjanjian Kerangka Yucatan Peninsula tentang Keberlanjutan untuk tahun 2030 (ASPY 2030).
Perjanjian ini ditandatangani oleh 13 negara bagian dan juga didukung oleh 3 universitas dalam komitmen terhadap pertumbuhan hijau dan konservasi di Yucatan. Di antara tujuan yang disepakati adalah untuk menarik pembiayaan swasta dan internasional guna melengkapi pendanaan publik domestik untuk ekonomi hijau.
Diluncurkan pada tahun 2009 oleh sepuluh Gubernur dari Brasil, Indonesia, dan Amerika Serikat (AS), GCF dirancang untuk memajukan pendekatan yurisdiksi secara keseluruhan terhadap program REDD+ dan pengembangan emisi rendah. Pertemuan tahun ini berlangsung di Balikpapan, Kalimantan Timur pada tanggal 25-29 September 2017. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017