Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menyatakan upaya konservasi dan restorasi bentang alam di Indonesia
memerlukan kemitraan multipihak yang melibatkan pemerintah, pelaku
usaha, dan masyarakat.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) Hadi Daryanto di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa sejumlah program pembangunan nasional Indonesia terkait dengan konservasi dan restorasi bentang alam tidak bisa hanya dilakukan salah satu pihak.
"Harus melibatkan multipihak, termasuk pelaku usaha, masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil," katanya.
Pemerintah, lanjut dia, mewajibkan pelaku usaha untuk terlibat dalam upaya konservasi dan restorasi sebagai bagian dari amanat Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Menurut dia, untuk mengonservasi hutan dan keanekaragaman hayati, Indonesia sudah menetapkan 27 juta hektare sebagai kawasan konservasi, sementara untuk merestorasi bentang alam yang rusak, dilaksanakan program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), perhutanan sosial, dan kegiatan restorasi ekosistem.
Upaya untuk konservasi dan restorasi bentang alam di Indonesia juga dituangkan dalam dokumen NDC (kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca) terkait dengan Persetujuan Paris.
"Jadi, wajar jika publik internasional memberi apresiasi atas apa yang Indonesia lakukan," kata Hadi.
Ia mengaitkan hal itu dengan pertemuan tingkat tinggi Bonn Challenge di Palembang 9 - 10 Mei 2017.
Bonn Challenge adalah upaya global untuk melindungi dan merestosi lahan terdeforestasi dan terdegradasi seluas 150 juta hektare yang diluncurkan pada pertemuan di Bonn Jerman pada tahun 2011.
Target restorasi hutan dan lahan secara global kemudian ditingkatkan menjadi 350 juta hektare pada pertemuan iklim PBB pada tahun 2014 di Ney York.
Meski ada target global dalam Bonn Challenge, menurut Hadi, pemerintah Indonesia tidak secara khusus menetapkan janji luas restorasi hutan dan lahan.
Sementara itu, Southeast Asia Regional Coordinator Tropical Forest Alliance 2020 Erwin Widodo menjelaskan keterlibatkan pelaku usaha dalam restorasi hutan dan lahan sejatinya adalah sebuah keniscayaan.
"Tren dunia saat ini menginginkan produk yang lebih hijau, lebih ramah lingkungan," katanya.
Terkait dengan penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi Bonn Challenge di Palembang, Erwin mengapresiasi komitmen Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk mengonservasi dan merestorasi hutan. Komitmen tersebut sudah dituangkan sebagai prinsip Pembangunan Ekonomi Hijau (Green Growth Economic Development) yang memengaruhi kebijakan yang dilaksanakan.
"Prinsip ini mengarahkan pembangunan di Sumsel harus ke arah pengelolaan yang lebih baik," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) Hadi Daryanto di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa sejumlah program pembangunan nasional Indonesia terkait dengan konservasi dan restorasi bentang alam tidak bisa hanya dilakukan salah satu pihak.
"Harus melibatkan multipihak, termasuk pelaku usaha, masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil," katanya.
Pemerintah, lanjut dia, mewajibkan pelaku usaha untuk terlibat dalam upaya konservasi dan restorasi sebagai bagian dari amanat Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Menurut dia, untuk mengonservasi hutan dan keanekaragaman hayati, Indonesia sudah menetapkan 27 juta hektare sebagai kawasan konservasi, sementara untuk merestorasi bentang alam yang rusak, dilaksanakan program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), perhutanan sosial, dan kegiatan restorasi ekosistem.
Upaya untuk konservasi dan restorasi bentang alam di Indonesia juga dituangkan dalam dokumen NDC (kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca) terkait dengan Persetujuan Paris.
"Jadi, wajar jika publik internasional memberi apresiasi atas apa yang Indonesia lakukan," kata Hadi.
Ia mengaitkan hal itu dengan pertemuan tingkat tinggi Bonn Challenge di Palembang 9 - 10 Mei 2017.
Bonn Challenge adalah upaya global untuk melindungi dan merestosi lahan terdeforestasi dan terdegradasi seluas 150 juta hektare yang diluncurkan pada pertemuan di Bonn Jerman pada tahun 2011.
Target restorasi hutan dan lahan secara global kemudian ditingkatkan menjadi 350 juta hektare pada pertemuan iklim PBB pada tahun 2014 di Ney York.
Meski ada target global dalam Bonn Challenge, menurut Hadi, pemerintah Indonesia tidak secara khusus menetapkan janji luas restorasi hutan dan lahan.
Sementara itu, Southeast Asia Regional Coordinator Tropical Forest Alliance 2020 Erwin Widodo menjelaskan keterlibatkan pelaku usaha dalam restorasi hutan dan lahan sejatinya adalah sebuah keniscayaan.
"Tren dunia saat ini menginginkan produk yang lebih hijau, lebih ramah lingkungan," katanya.
Terkait dengan penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi Bonn Challenge di Palembang, Erwin mengapresiasi komitmen Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk mengonservasi dan merestorasi hutan. Komitmen tersebut sudah dituangkan sebagai prinsip Pembangunan Ekonomi Hijau (Green Growth Economic Development) yang memengaruhi kebijakan yang dilaksanakan.
"Prinsip ini mengarahkan pembangunan di Sumsel harus ke arah pengelolaan yang lebih baik," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017