Samarinda (ANTARA Kaltim) - Jaringan Advokasi Tambang mengungkapkan luasan areal tambang batu bara yang mencapai 4,5 juta hektare di Provinsi Kalimantan Timur telah terbukti menghancurkan lahan pangan bagi jutaan jiwa warga setempat.

"Hal ini terbukti dari hasil laporan riset bersama yang dilakukan oleh Jatam Kaltim dengan Waterkeeper Alliance sejak 2015 hingga 2016," ujar Ketua Divisi Hukum dan Advokasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Ketut Bagia Yasa di Samarinda, Senin.

Hal itu dikatakan Ketut saat menggelar pertemuan dengan awak media, yang juga dihadiri Consultant International Energy Campaigner dari Australia Paul Winn, dan Baharuddin, petani asal Kabupaten Kutai Kartanegara yang bangkrut akibat pencemaran tambang batu bara.

Ketut menjelaskan dalam dua tahun tersebut riset terfokus pada titik-titik ruang hidup dan pangan di Kaltim dengan mengambil 17 sampel air dari delapan situs tambang di Kaltim pada tiga wilayah, yakni Samarinda, Kutai Kartenagera, dan Kutai Timur.

Dari hasil 17 sampel air yang diambil dari tambang-tambang batu bara beserta jalur air di sekelilingnya, terdapat 15 sampel yang mengandung logam berat dan tingkat pH (keasaman) yang berdaya rusak terhadap produksi pangan dan budidaya ikan.

Menurutnya, luas Provinsi Kaltim setelah adanya pemekaran Provinsi Kalimantan Utara kini menjadi 12,5 juta hektare, sementara izin untuk pertambangan batu bara hampir setengah dari luas Kaltim, yaitu 5,3 juta hektare

Sementara alokasi untuk lahan pangan dari tahun 2016 hingga 2035 berdasarkan RTRW hanya 460.346 hektare. Jumlah tersebut sudah termasuk tanaman pangan dan budidaya perikanan.

Apabila berbicara soal produksi dan ketahanan pangan bagi Kaltim, kata Ketut, bisa dipastikan sangat tidak mungkin provinsi ini mampu memenuhi pangannya sendiri karena lahan yang ada tidak mendukungnya.

"Pemprov Kaltim harus mempertimbangkan mengeluarkan izin tambang, karena ketika izin tambang sudah dikeluarkan, maka dapat dipastikan perampasan terhadap ruang hidup dan pangan akan terjadi, selanjutnya akan muncul berbagai konflik di masyarakat," ujarnya.

Sedangkan ketika izin pertambangan telah naik pada izin operasi produksi, maka sumber hara dan air bersih yang menjadi sumber kehidupan bagi tanaman pangan dan budidaya ikan, dapat dipastikan teracuni dan terbunuh yang mengakibatkan produktivitas pertanian menurun.

"Bahkan ketika pascapertambangan pun, masyarakat harus dihadapkan pada kondisi sangat buruk, seperti lubang-lubang tambang berisi air beracun menganga tanpa reklamasi. Bahkan sejumlah lubang tambang sudah terbukti menelan belasan nyawa anak, karena tenggelam di lubang bekas tambang," kata Ketut. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017