Samarinda (ANTARA Kaltim) - Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak diminta mencabut izin pertambangan demi terwujudnya cita-cita menuju swasembada dan ketahanan pangan, karena aktivitas tambang batu bara merusak kualitas air dan lingkungan.

"Dari riset yang kami lakukan dengan Waterkeeper Alliance, terbukti lahan di sekitar tambang mengandung logam berat dan tingkat pH (keasaman) yang merusak produksi pangan serta perikanan," ujar Ketua Devisi Hukum dan Advokasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Ketut Bagia Yasa di Samarinda, Senin.

Hal yang paling mungkin dilakukan untuk menghindari kehancuran pangan bagi Kaltim adalah pertambangan batu bara pasca-operasi produksi harus melakukan reklamasi sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pasca Tambang pada Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara pasal 12.

Selain itu, lanjutnya, Gubernur harus segera mencabut seluruh izin pertambangan batu bara yang ada di Kaltim, kemudian memperluas wilayah pertanian dan budidaya perikanan.

"Cara ini dinilai masuk akal untuk menghindari defisit pangan di masa depan, karena selama ini telah terbukti tambang menghancurkan pertanian," ujarnya.

Potret kehancuran dari pertambangan batu bara dapat dilihat dari tiga wilayah yang menjadi lokasi riset di Kaltim, yakni Samarinda, Kutai Timur, dan Kutai Kartanegara.

Salah satunya adalah yang dialami Baharuddin, petani dan peternak ikan yang sejak tahun 2000 tinggal di Makroman, Samarinda.

Selama tujuh tahun sebelum CV Arjuna menambang di Makroman, pemasukan Baharuddin bersama kelompok tani bisa mencapai Rp150 juta per tahun.

Sedangkan saat ini, ia hanya mendapat Rp20 juta per tahun karena sumber air yang baik bagi ikannya hilang dan ia mengganti dengan air yang berasal dari lubang tambang milik CV Arjuna.

Masih di Samarinda, Dewi yang tinggal 100 meter dari tambang batu bara milik PT Cahaya Energi Mandiri, sejak 2009 tidak lagi bisa menggunakan air sumurnya sebagai konsumsi hariannya, karena longsor yang diakibatkan oleh tambang batu bara.

Rumah tangga petani yang awalnya berjumlah 83 kepala keluarga, sekarang hanya bersisa 20 KK karena longsor sering terjadi dan memberikan limpasan bagi lahan pertanian mereka.

Kemudian Rahmawati yang tinggal tidak jauh dari lokasi lubang tambang milik PT Graha Benua Etam yang menjadi salah satu lubang maut, karena akhir tahun 2014 anak keduanya menjadi korban ke-9 dari mautnya lubang tambang.

Contoh lainnya adalah Abba yang berhadapan dengan CV Limbuh yang menghancurkan irigasi pengairannya bagi 100 rumah tangga, petani padi yang sudah 25 tahun bertani dan bisa menghasilkan paling kurang 4 ton per tahun.

Namun, ketika CV Limbuh menambang tak jauh dari pertanian mereka, maka dampaknya kemudian hanya mampu menghasilkan 2 ton per tahun dan hanya 4 keluarga petani yang bertahan untuk menjadi petani hingga saat ini.

Sama seperti Abba, kejadian serupa menimpa pada Derman yang tinggal dan bertani di Desa Kertabuana, Kabupaten Kutai Kartenagara, sejak 1995, kini harus menggunakan air dari lubang tambang sebagai sumber irigasi bagi pertaniannya karena air tanah sudah tidak ada lagi akibat tambang.

Hasil dari pertaniannya hanya 4 ton per tahun, padahal dulunya bisa lebih dari 8 ton per tahun, yakni ketika PT Kitadin belum berkativitas di lokasi itu.

"Perubahan kualitas air terjadi karena adanya logam berat dan tingkat keasaman yang meracuni air. Hasil riset kami menunjukan rata-rata logam berat yang terkandung melebihi ambang batas, bahkan pH sampel air cenderung tidak pada batas wajar," ujar Ketut. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017