Samarinda (ANTARA Kaltim) - Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Kalimantan Timur dr Nathaniel Tandirogan menyatakan, pemberlakuan Dokter Layanan Primer (DLP) berpotensi menimbulkan konflik horizontal yang dapat mengganggu terwujudnya peningkatan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

"Masih banyak faktor lain selain pendidikan dokter di pelayanan primer yang perlu diprioritaskan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan," kata Nathaniel Tandirogan pada aksi damai menolak pendidikan DLP di Samarinda, Senin.

Aksi menolak pendidikan DLP yang diikuti puluhan dokter dari kabupaten/kota di Kaltim dan Kalimantan Utara sekaligus, melaksanakan upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-66 IDI.

Aksi damai menolak DLP dengan tema "Reformasi Sistem Kesehatan dan Sistem Pendidikan Kedokteran Pro Rakyat" itu dilakukan dengan membentangkan spanduk dan orasi mendesak pemerintah agar membatalkan rencana diberlakukannya pendidikan lanjutan para dokter umum melalui DLP.

"IDI mendukung peningkatan kompetensi dokter di layanan primer, namun beberapa hal yang menjadi pertimbangan menolak Dokter Layanan Primer sebagai profesi baru di dunia kedokteran, yakni belum adanya `blueprint` dan `roadmap` atau kerangka kerja terperinci yang jelas mengenai peningkatan sistem pelayanan kesehatan secara komprehenshif," katanya.

Penerapan Dokter Layanan Primer berdasarkan Undang-undang Pendidikan Kedokteran (Dikdok) Nomor 20 Tahun 2013 yang saat ini gencar disosialisasikan Kementerian Kesehatan akan memperpanjang masa pendidikan seorang dokter.

Selama ini, kata dia, seorang dokter sudah dapat melakukan pelayanan di layanan primer setelah menjalani pendidikan di perguruan tinggi kemudian dilanjutkan dengan program pemahiran/pendidikan selama satu tahun, yang menjadi syarat sebagai seorang dokter.

"Namun jika DLP berdasarkan Dikdok Nomor 20/2013 itu diterapkan maka dokter umum yang selama ini sudah menjalankan tugas di layanan primer harus menjalani pendidikan lagi selama 2 sampai 3 tahun untuk mendapatkan gelar Dokter Layanan Primer (DLP) dan saat ini sudah ada 17 perguruan tinggi di Indonesia mendeklarasikan kesiapan pendidikan DLP," katanya.

"Jadi tentu penerapan pendidikan DLP tersebut akan merugikan dokter umum yang selama ini sudah melakukan pelayanan di layanan primer karena mereka harus lagi menjalani pendidikan dengan estimasi biaya hingga Rp300 juta perorang yang anggarannya bersumber dari APBN. Sementara, biaya pendidikan yang selama ini dilakukan IDI pada program DLP hanya berkisar Rp10 juta per orang," tutur Nathaniel Tandirogan.

Selain menolak pendidikan DLP, IDI Wilayah Kaltim juga mendesak DPR RI merevisi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013, meminta Kementerian Kesehatan menghentikan sosialisasi pendidikan DLP serta meminta Gubernur Kaltim dan Kalimantan Utara tidak menfasilitasi penyelenggaraan pendidikan DLP di kedua wilayah itu.

Setelah menggelar aksi damai, puluhan dokter dari berbagai kabupaten/kota di Kaltim dan kalimantan Utara tersebut kemudian melaksanakan donor darah.      (*)

Pewarta: Amirullah

Editor : Amirullah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016