Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mempersilakan
masyarakat berunjuk rasa untuk menuntut pemekaran daerah, namun
pemerintah tetap tidak akan mencabut moratorium tentang penambahan
jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia itu.
"Silakan demo, tapi tidak akan ada pemekaran," ujarnya saat memberikan sambutan peluncuran Institut Otonomi Daerah dan Seminar Nasional "Strategi dan Arah Pengembangan Kebijakan Smart City di Indonesia Menghadapi Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN" di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan latar belakang keluarnya moratorium pemekaran daerah dan penerimaan calon pegawai negeri sipil bahwa sebelum era reformasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara rata-rata mencapai Rp200 triliun, sekitar 50 persennya dialokasikan untuk program pembangunan.
Namun setelah reformasi jumlah APBN mencapai 10 kali lipat dari nilai sebelum reformasi, namun untuk membiayai program pembangunan kurang dari 20-30 persen.
"Secara nominal tinggi, namun persentase untuk program pembangunan sangat rendah. Perbandingannya tidak signifikan dengan angka itu. Terlalu besar ongkos pemerintahan," ujarnya.
Wapres juga menyebutkan bahwa pada 2006 transfer dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dari pemerintah pusat ke daerah-daerah sekitar Rp220 triliun. Namun tahun ini transfer DAU dan DAK mencapai Rp770 triliun.
"Artinya banyak biaya operasional yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Kalau ditambah lagi pemerintahan, maka anggaran pun akan bertambah. Ada daerah yang anggaran rutinnya 50 bahkan 80 persen, namun ada juga yang anggaran rutinnya hanya 5 persen," kata Kalla.
Ia juga menyayangkan beberapa daerah yang mengutamakan pembangunan kantor dan pengadaan mobil dinas. "Padahal semangat otonomi daerah itu untuk rakyat yang membutuhhkan air dan kebutuhan hidup lainnya, " kata Kalla yang ikut menggagas lahirnya Ketetapan MPR Nomor 15 Tahun 1998 sebagai salah satu rujukan keluarnya Undang-Undang Otonomi Daerah itu.
Dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, termasuk laju ekonomi nasional yang baru tumbuh 5 persen, menurut dia, bukan momentum yang tepat mengeluarkan biaya operasional pemerintahan.
Dia mengingatkan pemerintah dan politikus di daerah menyelesaikan program pembangunan yang sudah direncanakan.
"Kalau ekonomi kita tumbuh 7 persen, baru berpikir pemekaran itu perlu atau tidak," katanya menambahkan.
Di tengah melambatnya perekonomian global, Indonesia pun mengalami defisit anggaran yang hampir mendekati 3 persen.
"Hal itu berarti gaji yang diberikan kepada para PNS itu hasil dari utang. Apa kita perlu seperti ini?" kata Wapres dalam acara yang dihadiri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, para kepala daerah, anggota parlemen, dan pengusaha itu. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
"Silakan demo, tapi tidak akan ada pemekaran," ujarnya saat memberikan sambutan peluncuran Institut Otonomi Daerah dan Seminar Nasional "Strategi dan Arah Pengembangan Kebijakan Smart City di Indonesia Menghadapi Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN" di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan latar belakang keluarnya moratorium pemekaran daerah dan penerimaan calon pegawai negeri sipil bahwa sebelum era reformasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara rata-rata mencapai Rp200 triliun, sekitar 50 persennya dialokasikan untuk program pembangunan.
Namun setelah reformasi jumlah APBN mencapai 10 kali lipat dari nilai sebelum reformasi, namun untuk membiayai program pembangunan kurang dari 20-30 persen.
"Secara nominal tinggi, namun persentase untuk program pembangunan sangat rendah. Perbandingannya tidak signifikan dengan angka itu. Terlalu besar ongkos pemerintahan," ujarnya.
Wapres juga menyebutkan bahwa pada 2006 transfer dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dari pemerintah pusat ke daerah-daerah sekitar Rp220 triliun. Namun tahun ini transfer DAU dan DAK mencapai Rp770 triliun.
"Artinya banyak biaya operasional yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Kalau ditambah lagi pemerintahan, maka anggaran pun akan bertambah. Ada daerah yang anggaran rutinnya 50 bahkan 80 persen, namun ada juga yang anggaran rutinnya hanya 5 persen," kata Kalla.
Ia juga menyayangkan beberapa daerah yang mengutamakan pembangunan kantor dan pengadaan mobil dinas. "Padahal semangat otonomi daerah itu untuk rakyat yang membutuhhkan air dan kebutuhan hidup lainnya, " kata Kalla yang ikut menggagas lahirnya Ketetapan MPR Nomor 15 Tahun 1998 sebagai salah satu rujukan keluarnya Undang-Undang Otonomi Daerah itu.
Dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, termasuk laju ekonomi nasional yang baru tumbuh 5 persen, menurut dia, bukan momentum yang tepat mengeluarkan biaya operasional pemerintahan.
Dia mengingatkan pemerintah dan politikus di daerah menyelesaikan program pembangunan yang sudah direncanakan.
"Kalau ekonomi kita tumbuh 7 persen, baru berpikir pemekaran itu perlu atau tidak," katanya menambahkan.
Di tengah melambatnya perekonomian global, Indonesia pun mengalami defisit anggaran yang hampir mendekati 3 persen.
"Hal itu berarti gaji yang diberikan kepada para PNS itu hasil dari utang. Apa kita perlu seperti ini?" kata Wapres dalam acara yang dihadiri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, para kepala daerah, anggota parlemen, dan pengusaha itu. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016