Samarinda (ANTARA Kaltim) - Organisasi nasional yang peduli terhadap keberadaan satwa endemik orangutan, Centre for Orangutan Protection (COP) menyatakan, ke-13 Orangutan Kalimantan (Pongo pygmeaus morio) yang terjebak di hutan sisa di areal perkebunan kelapa sawit harus segera diselamatkan.

"Ke-13 orangutan yang saat ini terjebak di hutan-hutan kecil di kawasan perkebunan kelapa sawit milik PT AE di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, harus segera diselamatkan. Kami tidak menjamin, ke-13 orangutan tersebut dapat bertahan hidup di hutan-hutan sisa itu," kata Direktur COP, Ramadhani kepada wartawan di Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa.

COP pada Selasa siang telah menyampaikan langsung hasil temuan 13 orangutan terjebak di areal perkebunan kelapa sawit milik PT AE di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur tersebut kepada Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Hendradi.

"Tadi siang (Selasa) kami sudah menyampaikan temuan orangutan terjebak itu ke Kepala BKSDA Kaltim. Pihak BKSDA berjanji, akan segera menunjuk tim untuk mengecek laporan kami tersebut," ujar Ramadhani.

COP berharap tambah Ramadhani, ke-13 orangutan terjebak tersebut segera direlokasi sebab sangat rentan menjadi buruan karena dianggap sebagai hama.

"Selain tidak dapat bertahan hidup karena berada di hutan-hutan sisa yang luasnya mulai dua hingga lima hektare saja, ke-13 orangutan tersebut juga rentan dan sangat mudah diburu akibat dianggap sebagai hama karena dapat memakan tunas sawit," tuturnya.

"Dari pengamatan tim kami, terdapat lima hutan sisa yang luasnya bervariasi yakni mulai 1,5 hektare hingga lima hektara yang terfragmentasi oleh kawasan perkebunan kelapa sawit milik PT AE. Jadi, ke-13 orangutan tersebut terkurung dan dalam kondisi terancam sehingga harus segera dilakukan pemindahan," papar Ramadhani.

COP tambahnya, mendesak pemerintah agar meninjau ulang izin perusahaan perkebunan milik PT AE karena dinilai melakukan pelanggaran terhadap pengelolaan kawasan yang menyebabkan 13 orangutan terjebak dan terancam.

"Terpenting, upaya penyelamatan orangutan itu yang harus segera dilakukan. Namun, langkah selanjutnya tetap kami mendesak pemerintah agar meninjau ulang izin PT AE," tegas Ramadhani.

Sebelumnya, COP kata Ramadhani pada Kamis (10/3) telah menggelar unjuk rasa di Kantor PT AE di Jakarta sekaligus menyerahkan dokumen terkait adanya satwa langka dan dilindungi di kawasan perkebunan kelapa sawit mereka.

"Kami sudah bertemu dengan manajemen PT AE dan mereka menyatakan akan menindaklanjuti laporan kami tersebut dan akan segera melakukan kroscek di lapangan apakah betul titik yang kami temukan itu benar berada di lokasi mereka, namun sampai saat ini kami belum menerima konfirmasi dari PT AE apakah mereka telah melakukan identifikasi lokasi," tutur Ramadhani.

Pada lokasi orangutan terjebak itu, COP juga berhasil mengidentifikasi berbagai jenis satwa liar langka dan dilindungi seperti Owa Abu (Hylobates muelleri) dan Rangkok (Bucherotidae).

Keberadaan beragam jenis satwa liar menurut Ramadhani, merupakan bukti bahwa kawasan tersebut dulunya memang merupakan kawasan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi (High Conservation Value).

"Hal itu bisa dipandang sebagai sebuah kejahatan jika didasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, pasal 21 ayat 2 poin (e) yang menyatakan, setiap orang dilarang untuk mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/sarang satwa yang dilindungi," katanya.

"Adanya orangutan di areal itu mengindikasikan bahwa hutan tersebut merupakan konservasi tinggi. Jadi, kami minta pemerintah meninjau ulang izin PT AE," tutur Ramadhani.

"Ke-13 orangutan tersebut merupakan target mudah bagi para pemburu karena sempitnya kawasan yang tersisa dan jarangnya pepohonan. COP menilai bahwa daya dukung kawasan tersebut sudah tidak memadai, karenanya orangutan memakan tunas-tunas kelapa sawit. Dibasminya orangutan di kawasan tersebut hanyalah soal waktu saja karena dianggap sebagai hama," tutur Ramadhani.

Pembabatan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit kata dia, merupakan ancaman utama bagi kelangsungan hidup orangutan dan satwa liar lainnya di Kalimantan.

"Setidaknya, 2.000 orangutan terpaksa dievakuasi pada lima pusat penyelamatan orangutan di Kalimantan dan hingga sekarang arus pengungsi orangutan belum ada tanda-tanda berhenti," ujar Ramadhani. (*)

Pewarta: Amirullah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016