Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Sebanyak 300 orang anggota Kelompok Tani Maju Bersama, Kampung Sungai Nangka, Desa Teluk Dalam, Kecamatan Muara Jawa kehilangan lahan garapan seluas 400 hektare setelah lahannya dicaplok oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan Kalimantan Utama (PKU).
"Tidak hanya itu, pertambangan di sekitar kampung kami juga menghambat aliran air sehingga terbentuk kubangan yang merendam kebun-kebun kami, di mana terdapat tidak kurang 3.000 rumpun merica, banyak sekali pohon durian, rambutan, mangga, kebun pepaya, salak, pisang, sehingga rusak dan mati," kata Ketua Kelompok Tani Maju Bersama, Rukka, 58 tahun di Balikpapan, Kamis.
Rukka menambahkan bahwa tambang dan kebun sawit juga merusak sawah, kebun kopi dan pohon-pohon jati, dan sengon milik warga, termasuk juga kolam-kolam ikan. Sebagian lahan lalu berubah menjadi tambang batubara atau kebun kelapa sawit.
Kampung Sungai Nangka mulai berkembang sejak tahun 1991. Di RT 06 yang dipimpin Rukka ada 27 kepala keluarga dan bagian dari 300 anggota Kelompok Tani Maju Bersama tersebut. Mereka memegang Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT).
"Perusahaan datang tahun 2009," kata Rukka.
Setelah itu, perlahan kehidupan berubah di Sungai Nangka. Sebab aktivitas pertambangan, air Sungai Nangka dan sumur-sumur warga yang semula jernih sehingga bisa digunakan untuk minum, kini tak bisa lagi dipakai.
Cerita Rukka, Kampung Sungai Nangka pun mulai jadi "kampung mati". Kini tinggal 3 kepala keluarga, termasuk Rukka yang bertahan. Sebagian besar warga memilih pindah sebab tidak ada lagi sumber penghidupan di Sungai Nangka bagi warga yang mau bekerja sebagai petani.
"Meski begitu kami tetap bertahan. Kami tidak akan jual tanah kami. Begitu pula kawan-kawan yang lain meski tidak lagi tinggal di Sungai Nangka," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
"Tidak hanya itu, pertambangan di sekitar kampung kami juga menghambat aliran air sehingga terbentuk kubangan yang merendam kebun-kebun kami, di mana terdapat tidak kurang 3.000 rumpun merica, banyak sekali pohon durian, rambutan, mangga, kebun pepaya, salak, pisang, sehingga rusak dan mati," kata Ketua Kelompok Tani Maju Bersama, Rukka, 58 tahun di Balikpapan, Kamis.
Rukka menambahkan bahwa tambang dan kebun sawit juga merusak sawah, kebun kopi dan pohon-pohon jati, dan sengon milik warga, termasuk juga kolam-kolam ikan. Sebagian lahan lalu berubah menjadi tambang batubara atau kebun kelapa sawit.
Kampung Sungai Nangka mulai berkembang sejak tahun 1991. Di RT 06 yang dipimpin Rukka ada 27 kepala keluarga dan bagian dari 300 anggota Kelompok Tani Maju Bersama tersebut. Mereka memegang Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT).
"Perusahaan datang tahun 2009," kata Rukka.
Setelah itu, perlahan kehidupan berubah di Sungai Nangka. Sebab aktivitas pertambangan, air Sungai Nangka dan sumur-sumur warga yang semula jernih sehingga bisa digunakan untuk minum, kini tak bisa lagi dipakai.
Cerita Rukka, Kampung Sungai Nangka pun mulai jadi "kampung mati". Kini tinggal 3 kepala keluarga, termasuk Rukka yang bertahan. Sebagian besar warga memilih pindah sebab tidak ada lagi sumber penghidupan di Sungai Nangka bagi warga yang mau bekerja sebagai petani.
"Meski begitu kami tetap bertahan. Kami tidak akan jual tanah kami. Begitu pula kawan-kawan yang lain meski tidak lagi tinggal di Sungai Nangka," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015