Samarinda (ANTARA Kaltim) - Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Provinsi Kalimantan Timur menggelar Kongres Ibu dan Anak di Samarinda yang dihadiri sekitar 500 peserta dari sejumlah kabupaten/kota dengan tema "Negara Perisai Hakiki bagi Ibu dan Anak".
"Kongres ini secara nasional digelar pada 19-26 Desember di 60 kota, sedangkan di Kaltim digelar di Samarinda dan Berau pada 20 Desember kemarin. Acara di Samarinda dihadiri 500 peserta, sedangkan di Berau dihadiri 100 peserta," ujar Ketua MHTI Kaltim Sri Hartini di Samarinda, Senin.
Menurutnya, kekerasan terhadap ibu dan anak secara nasional, termasuk kekerasan seksual jumlahnya tiap tahun terus mengalami peningkatan, yakni pada 2013 terdapat 4.311 kasus, 2014 sejumlah 5.066 kasus, dan hingga Agustus 2015 tercatat 6.006 kasus.
Meningkatnya kasus tersebut, tambahnya, akibat dari sistem yang diterapkan di negara ini kapitalis sekuler, sehingga bukannya mengayomi ibu dan anak, tapi justru menjadikan ibu dan anak sebagai korban keserakahan nafsu pelaku.
"Inilah yang menjadi alasan MHTI menyelenggarakan Kongres Ibu dan Anak yang memasuki edisi ke-3. Kami ingin kekerasan terhadap ibu dan anak maupun kekerasan seksual dapat dihentikan," katanya.
Kongres Ibu Nusantara tersebut menghadirkan empat pembicara dari ketua dan pengurus MHTI Kaltim, yakni Sri Yenita Ginting, S.Pd, Yulita Andriani, Ratna Sari Dewi, SE, dan Sri Hartini, S.Pd.
Dalam orasinya, Hartini menyampaikan kehidupan saat ini tidak lagi memberikan rasa aman dan nyaman kepada mayoritas manusia, termasuk bagi ibu dan anak.
Rasa ketidaknyamanan itu melanda seluruh dunia baik negara di timur maupun barat, dan semua itu terjadi akibat penerapan sistem demokrasi dan kapitalis liberal.
Sementara itu, Yenita Ginting menyampaikan dalam sistem kapitalis tidak ada perlindungan hakiki bagi perempuan dan anak. Negara yang berlandaskan ideologi kapitalis liberal merupakan propaganda negara kafir penjajah dengan dalih kemajuan dan pembebasan dari otoritas agama.
"Kapitalis mengalihkan fitrah dan fungsi dasar perempuan sebagai ibu, penjaga generasi dan peradaban. Sistem itu juga membuat anak-anak kehilangan hak dasarnya dan menjadi korban kekerasan," kata Yenita. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
"Kongres ini secara nasional digelar pada 19-26 Desember di 60 kota, sedangkan di Kaltim digelar di Samarinda dan Berau pada 20 Desember kemarin. Acara di Samarinda dihadiri 500 peserta, sedangkan di Berau dihadiri 100 peserta," ujar Ketua MHTI Kaltim Sri Hartini di Samarinda, Senin.
Menurutnya, kekerasan terhadap ibu dan anak secara nasional, termasuk kekerasan seksual jumlahnya tiap tahun terus mengalami peningkatan, yakni pada 2013 terdapat 4.311 kasus, 2014 sejumlah 5.066 kasus, dan hingga Agustus 2015 tercatat 6.006 kasus.
Meningkatnya kasus tersebut, tambahnya, akibat dari sistem yang diterapkan di negara ini kapitalis sekuler, sehingga bukannya mengayomi ibu dan anak, tapi justru menjadikan ibu dan anak sebagai korban keserakahan nafsu pelaku.
"Inilah yang menjadi alasan MHTI menyelenggarakan Kongres Ibu dan Anak yang memasuki edisi ke-3. Kami ingin kekerasan terhadap ibu dan anak maupun kekerasan seksual dapat dihentikan," katanya.
Kongres Ibu Nusantara tersebut menghadirkan empat pembicara dari ketua dan pengurus MHTI Kaltim, yakni Sri Yenita Ginting, S.Pd, Yulita Andriani, Ratna Sari Dewi, SE, dan Sri Hartini, S.Pd.
Dalam orasinya, Hartini menyampaikan kehidupan saat ini tidak lagi memberikan rasa aman dan nyaman kepada mayoritas manusia, termasuk bagi ibu dan anak.
Rasa ketidaknyamanan itu melanda seluruh dunia baik negara di timur maupun barat, dan semua itu terjadi akibat penerapan sistem demokrasi dan kapitalis liberal.
Sementara itu, Yenita Ginting menyampaikan dalam sistem kapitalis tidak ada perlindungan hakiki bagi perempuan dan anak. Negara yang berlandaskan ideologi kapitalis liberal merupakan propaganda negara kafir penjajah dengan dalih kemajuan dan pembebasan dari otoritas agama.
"Kapitalis mengalihkan fitrah dan fungsi dasar perempuan sebagai ibu, penjaga generasi dan peradaban. Sistem itu juga membuat anak-anak kehilangan hak dasarnya dan menjadi korban kekerasan," kata Yenita. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015