Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur menyoroti fakta bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak justru didominasi oleh orang-orang terdekat korban.
"Pelaku kekerasan sebagian besar atau mencapai 85 persen adalah orang yang dikenal korban, mulai dari orang tua, suami-istri, saudara, guru, hingga teman dekat," kata Kepala DKP3A Kaltim Noryani Sorayalita di Samarinda, Senin.
Soraya mengungkapkan, dari setiap 16 kasus kekerasan yang terjadi, 15 kasus di antaranya dilakukan oleh orang yang sebenarnya sudah dikenal baik oleh korban.
Ia merinci bahwa pelaku terbanyak saat ini justru berasal dari kalangan teman atau pacar yang menyumbang angka cukup signifikan, yakni sekitar 30 persen dari total kasus yang ada.
Ironisnya, tempat kejadian kekerasan dengan frekuensi tertinggi justru berada di dalam lingkup rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat teraman, dengan angka mencapai 55,88 persen.
Selain dominasi kejadian di lingkup domestik, kekerasan juga tercatat masih terjadi di berbagai fasilitas umum dan institusi pendidikan atau sekolah dengan persentase sebesar 6,2 persen.
Meskipun sempat mengalami penurunan angka menjadi 1.002 kasus pada 2024. Data terkini yang dihimpun pada tahun 2025 menunjukkan angka yang kembali tinggi yakni sebanyak 1.110 kasus.
Data itu menunjukkan rata-rata penambahan kasus mencapai tiga kejadian per hari, dengan jumlah korban yang terdampak berkisar antara tiga hingga lima orang setiap harinya.
Namun demikian, tingginya angka pencatatan ini juga bisa dimaknai sebagai indikator positif mengenai meningkatnya kesadaran dan keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami atau saksikan.
Dari total laporan yang masuk ke dinas terkait, sebanyak 60 persen korban teridentifikasi adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun, sedangkan 40 persen sisanya merupakan korban usia dewasa.
Soraya menekankan, dampak kekerasan tidak hanya melukai fisik semata, tetapi juga menghancurkan kesehatan mental dan mengancam masa depan korban dalam jangka panjang.
"Proses pemulihan dampak mental dan psikis korban kekerasan diketahui memerlukan waktu yang jauh lebih lama dan penanganan yang lebih kompleks dibandingkan penyembuhan luka fisik," jelasnya.
Kualitas hidup anak dan remaja yang terjaga dengan baik tanpa kekerasan akan menjadi fondasi utama dalam mewujudkan visi besar Indonesia Emas pada tahun 2030 dan 2045.
"Oleh karena itu, seluruh institusi pendidikan mulai dari sekolah hingga kampus didorong untuk segera membuat kebijakan guna mencegah terjadinya praktik kekerasan di lingkungan akademis mereka," demikian Soraya.(ADV/Diskominfo)
Editor : Rahmad
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2025