Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Sebagian kebutuhan ikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, ternyata dipenuhi dengan cara transhipment atau alih muatan.

"Cukup banyak jumlahnya, lebih kurang 60 persen dari yang beredar di pasaran setiap hari," kata Kepala Dinas Pertanian, Kelautan dan Perikanan (DPKP) M Yosmianto, Minggu (1/2).

Jumlah itu berarti rata-rata 12 ton per hari dari sekitar 20 ton ikan yang dibawa nelayan pulang dari laut.

Karena keterbatasan alat tangkap, kesulitan Bahan Bakar Minyak (BBM), dan melihat peluang yang terbuka, sebagian nelayan Kota Minyak kemudian lebih memilih menjadi pembeli ikan dari kapal-kapal nelayan yang lebih besar yang beroperasi di lepas pantai Balikpapan.

Menurut Kepala DPKP, ada 107 kapal yang menjalankan transhipment ini. Satu kapal diawaki 7-10 orang.

"Mereka membeli dari nelayan-nelayan dari Pati, Jawa Tengah yang punya kemampuan menangkap ikan sampai di sini. Kapalnya besar-besar, yaitu bebobot 35 GT lebih," terang Yosmianto.

Dengan alat tangkap yang dimiliki dan izin menangkap ikan di perairan yang jauh nelayan-nelayan Pati, Rembang, atau Jepara, kerap turut menangkap ikan layang dan tongkol yang kecil-kecil kendati mereka bukan mencari ikan jenis ini.

"Sementara nelayan kita perlunya ya ikan-ikan kecil itu, yang laku keras di pasar-pasar Balikpapan," lanjut Yosmianto.

Mereka pun alih-alih menangkap sendiri, kemudian lebih suka membeli dari nelayan-nelayan Pati yang ada di Selat Makassar tersebut.

Setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 57/2014 perihal Larangan Alih Muatan (Transhipment) di Tengah Laut dan Dibawa ke Luar Negeri, tidak kurang dari 750 nelayan Balikpapan kemudian langsung terkena dampaknya.

"Ada 107 kapal nelayan yang menganggur kemudian karena tidak bisa lagi melakukan praktik transhipment tersebut," lanjut Yosmianto dengan menambahkan dari 107 kapal tersebut, setiap kapal diawaki oleh 7-10 kru.

Tidak hanya itu, ratusan kuli angkut di pelabuhan pendaratan ikan di Klandasan pun terkena dampaknya. Pendapatan mereka menurun sebab berkurangnya ikan-ikan yang biasa diangkut.

"Nah, bedanya dari pengusaha kepiting, nelayan penangkap ikan ini kami dorong untuk kembali menjadi nelayan yang sesungguhnya seperti sedia kala, artinya menjadi nelayan penangkap ikan sepert biasa," tegas Yosmianto. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015