Balikpapan (ANTARA Kaltim) - "Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia biar semua negara besar di dunia iri dengan Indonesia dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya," kata Presiden RI ke-1, Soekarno.

Sejak keberhasilan pengeboran sumur Telaga Said oleh perusahaan Belanda tahun 1884, hingga kurun waktu tahun 1960. Saat itu, lapangan minyak Indonesia setidaknya dikuasai oleh 18 perusahaan milik Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. Perusahaan tersebut menguasai lapangan minyak berdasarkan Kontrak Konsesi.

Artinya, kepemilikan sumber daya alam berada di tangan pemegang hak konsesi dan negara hanya memperoleh royalti saja. Itu pun berdasarkan persentase dari produksi yang dihasilkan.

Presiden Soekarno kala itu sudah menyadari ketidakberesan ide royalti, karena bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bumi dengan segenap kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, menyangkut dan menguasai hajat orang banyak harus dikuasai oleh negara.

Menyadari amanat tersebut, Bung Karno kemudian melakukan nasionalisasi dan sekaligus mengubah bentuk kontrak pengusahaan sumber minyak dan gas (migas). Melalui UU No 44 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, pengelolaan migas mulai ditata kembali.

Kegelisahan mengenai pengelolaan migas tersebut dituangkan Gde Pradnyana dalam bukunya berjudul "Nasionalisme Migas" dengan tebal 181 halaman yang diterbitkan pada September 2014 oleh Nayottama Press Holding dengan editor Heriyono.

Buku yang menyampaikan tentang perkembangan industri migas di Indonesia mulai dari era kolonial sampai pada reformasi. Serta berbagai kebijakan pengelolaan migas yang dilakukan pada era tersebut.

"Melalui UU No 44 Tahun 1960 pengelolaan migas mulai ditata kembali. Usaha pertambangan migas hanya boleh diselenggarakan oleh negara. Kontrak Konsesi diubah menjadi Kontrak Karya, di mana para perusahaan migas asing hanya boleh menjadi penggarap dan harus berhubungan Kontrak Karya dengan salah satu perusahaan negara yaitu Pertamina, Pertamina atau Pertamigan," kata Gde.

Kondisi tersebut berlanjut, dalam kurun waktu 1961 hingga 1971, dinamika politik nasional ikut mewarnai pengelolaan migas. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semisal Pertamin, Permina dan Permigas melakukan konsolidasi dan pengambilalihan aset. Kilang-kilang penyulingan minyak yang semula dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing kemudian dibeli oleh pemerintah.

"Sepanjang kurun waktu 1971 hingga 2001, Pertamina memonopoli industri hilir dan hulu migas sebagai regulator sekaligus pemain. Maka terjadi penumpukan kekuasaan di satu tangan ini. Tumpukan hutang nyaris membuat Indonesia bangkrut," kata Gde yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Selanjutnya, guna memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah kembali mengajukan rancangan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi pada tahun 1999. Inisiatif tersebut jelas merupakan langkah reformasi di industri hulu dan hilir migas.

Kegiatan operasi beberapa perusahaan migas multinasional di Indonesia menyebabkan sektor hulu migas di Indonesia sering dituding dikuasai asing. Dengan anggapan nasionalisme sempit, tudingan yang mudah disebarluaskan setiap isu kebijakan publik terkait energi, termasuk kenaikan BBM yang sebenarnya masuk ranah hilir.

"Dengan pola Kontrak Kerja Sama (KKS), pengelolaan migas sepenuhnya dikuasai negara. Kita sendiri yang menguras sumber daya kita dengan mempekerjakan para penggarap," kata Gde.

Dilakukan dengan berbagai cara, termasuk memberikan insentif dan National Oil Company (NOC) maupun International Oil Company (IOC) agar pengurasan cadangan bisa lebih cepat dan produksi bisa terus meningkat, katanya.

Saat ini, jumlah cadangan minyak Indonesia terus menurun, sedangkan tingkat pengurasan tercatat sangat tinggi. Data yang ada menunjukkan Indonesia sudah menguras cadangan minyak delapan kali lebih cepat daripada Arab Saudi dan Libya.

Trisakti
Sumber kekayaan alam sektor energi dan mineral juga memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Karakteristik dari investasi pada sektor migas yang unik, yaitu bersifat padat modal, padat teknologi dan padat risiko telah membuat industri migas seolah-olah eksklusif dan tertutup.

"Mengelola sektor energi, khususnya energi migas sebagai hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dapat dimaknai sebagai meniti keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan membangun kesinambungan jangka panjang," kata Gde.

Menurut dia industri migas adalah komoditas strategis yang tidak lepas dari percaturan politik dunia. Indonesia sebagai negara yang menganut konsep ekonomi terbuka maka penguasaan sumber migas, maka harus membangun keseimbangan antara nasionalisme dan internasionalisme.

Buku ini mengajak pembaca untuk memahami secara lengkap dasar pemikiran UUD 1945 pasal 33 yang mengamanahkan agar bumi, air serta kekayaan alam yang ada di dalamnya dikelola oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

Amanah inilah yang diartikan sebagai wujud dari nasionalisme migas. Buku ini menjawab, bahwa nasionalisme migas bukan berarti mengibarkan sikap antipati terhadap asing, namun lebih kepada membangun kemandirian dan kesinambungan agar negara kita terhindar dari krisis energi di masa mendatang.

"Pengelolaan energi, khususnya energi migas harus dijiwai oleh nasionalisme tinggi dan kecintaan yang tulus kepada bangsa dan negara," kata Gde.

Gde menuangkan tulisannya ini banyak diilhami oleh pemikiran-pemikiran Bung Karno tentang Trisakti yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berbudaya yang diaplikasikan untuk pengelolaan sumber daya alam, khususnya bidang pengelolaan minyak dan gas bumi dalam era kekinian.

Menteri Pertahanan Kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi), Jenderal TNI (Purn) Rymizard Ryacudu dalam testimoni nya di buku tersebut mengatakan arti penting dari pengelolaan sumber migas yang dilakukan secara komprehensif serta pembenahan yang diperlukan, sehingga dapat dijadikan landasan dalam merumuskan kebijakan nasional dalam rangka mencapai ketahanan energi.

Buku Nasionalisme Migas juga dilengkapi foto-foto dari Presiden RI ke 1, Soekarno, Presiden RI ke 2, Soeharto serta gambar-gambar kilang pengolahan minyak beserta aktifitasnya.

Kaji Ulang Penguasaan Migas
Pola yang ada pada UU migas saat ini, penguasaan negara atas industri migas hanya terbatas di sisi hulu. Padahal, persoalan utama ada di sisi hilir, karena sektor hilir yang secara langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari.

"Tidak terlibatnya negara di sektor hilir juga menyebabkan belum terealisasinya pembangunan kilang BBM baru yang sebenarnya sudah sangat mendesak di tengah naiknya konsumsi BBM," kata Gde.

Selama ini, Pertamina cenderung dilepas sendiri memperjuangkan proyek kilang BBM dan sering kali harus harus menghadapi begitu banyak kendala. Bayangkan jika negara yang melaksanakan, maka proyek kilang BBM akan menjadi tugas pemerintah dan dituangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Saat defisit anggaran terjadi, tudingan yang banyak muncul adalah buruknya kinerja sektor hulu. Turunnya lifting minyak menjadi `kambing hitam` atas defisit neraca perdagangan, khususnya saat makin melebarnya defisit penerimaan dan pembelanjaan migas," kata Gde.

Selain itu, penyakit subsidi migas dan listrik ini tidak terlepas dari pola pikir masyarakat yang terbentuk dari wacana Indonesia sebagai negara penghasil migas yang memiliki sumber daya alam melimpah ruah, dengan demikian maka masyarakat menuntut bahwa energi migas harus murah.

"Tuntutan untuk menyediakan energi murah telah menghasilkan kebijakan yang bersifat `jalan pintas`, yaitu dengan memberikan subsidi energi yang ternyata membuat konsumsi energi Indonesia sangat boros," kata Gde.

Subsidi energi cenderung meningkat dari 13,7 persen pada tahun 2006 menjadi 21,8 persen pada tahun 2008 dan pada tahun 2010 berjumlah Rp89,3 triliun untuk BBM serta Rp55,1 triliun untuk listrik. Subsidi energi dalam RAPBN 2015 ditetapkan pemerintah Rp363,5 triliun terdiri dari subsidi BBM Rp291,1 triliun dan subsidi listrik Rp72,4 triliun.

Gde mengatakan untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, maka harus ada penambahan investasi untuk kegiatan eksplorasi dan pengembangan teknologi, termasuk teknologi laut dalam dan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) bagi lapangan-lapangan minyak yang sudah mengalami penurunan produksi.(*)

Pewarta: Susylo Asmalyah

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014