Sudah saatnya Indonesia menoleh ke Benua Afrika bila ingin melebarkan sayap dan menjadi pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Di dalam Benua Induk (Mother Continent) itu terdapat puluhan mineral yang dapat diperdagangkan, salah satunya adalah litium.
Litium merupakan mineral kritis yang menjadi komponen penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Sedari menyadari betapa berharganya mineral kritis tersebut, Indonesia sama sekali tak berniat untuk menyembunyikan ketertarikannya terhadap gudang litium yang bersemayam di perut bumi Afrika.
Hal tersebut dibuktikan dengan kerja sama antara BUMN Holding Industri Pertambangan MIND ID dengan Tanzania terkait litium, sebagaimana yang menjadi rujukan Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani ketika memaparkan betapa Indonesia membutuhkan Afrika.
Untuk menghasilkan sebuah baterai listrik, Indonesia memerlukan banyak mineral kritis yang tidak terbatas hanya pada nikel. Berbagai mineral kritis tersebut diyakini dapat diperoleh dari negara-negara Afrika.
Oleh karenanya, dalam sebuah pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dengan Wakil Presiden Zimbabwe K.C.D. Mohadi yang berlangsung di sela-sela Forum Indonesia-Afrika (IAF) ke-2, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini sedang menjajaki kerja sama dalam penambangan litium di Zimbabwe.
Ikhtiar tersebut didasari fakta atas gudang litium yang dimiliki oleh Zimbabwe. Sebagaimana yang diklaim oleh Mohadi, Zimbabwe merupakan sumber litium terbesar kedua di dunia.
Teruntuk kerja sama antara Indonesia dengan Zimbabwe di bidang penambangan litium, Presiden mengatakan akan menugaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia untuk mempercepat finalisasi nota kesepahamannya.
Indonesia tentu tak ingin melepas cengkeraman dari kesempatan yang memungkinkan dirinya untuk selangkah lebih dekat dalam mewujudkan ambisi sebagai raja baterai EV seantero jagat.
Sebuah peran yang diyakini oleh Pemerintah akan membawa Indonesia menjadi pemain utama dalam misi transisi energi dunia dari energi fosil menuju energi bersih.
Zimbabwe memberi peluang
Zimbabwe tak hanya menyambut Indonesia dengan sepasang tangan yang terbuka lebar. Negara yang terkurung oleh daratan tersebut bahkan mengundang Indonesia untuk segera bertandang.
“Kami mengundang Indonesia untuk menjadi bagian dari Visi 2030 kami, dengan memanfaatkan berbagai peluang investasi di sektor pertambangan kami demi kebaikan bersama,” ucap Mohadi pada sesi Leaders' Talk V Forum Indonesia-Afrika.
Kalimat-kalimat pujian kepada Indonesia pun meluncur dengan lancar dari bibir Mohadi kala menyampaikan pidatonya.
Bagi Zimbabwe, Indonesia adalah teladan dalam sektor pertambangan, terutama pada hilirisasi mineral hasil tambang. Pengalaman Indonesia dalam melakukan hilirisasi nikel menjadi inspirasi dan edukasi bagi negara-negara di Afrika.
Hadirnya nilai tambah akibat hilirisasi nikel di Indonesia memantik keinginan Zimbabwe untuk melakukan hal yang serupa terhadap litium yang ia hasilkan. Dengan harapan, nilai jual litium yang selama ini mereka ekspor mentah dapat meningkat nilai tambahnya.
Terlebih, sektor pertambangan merupakan tulang punggung dari pertumbuhan perekonomian Zimbabwe. Kontribusi sektor pertambangan pada penerimaan Zimbabwe melalui ekspor mencapai 60 persen.
Oleh karena itu, Mohadi menggelar karpet merah kepada Indonesia yang berniat untuk melakukan kerja sama di bidang penambangan litium guna mewarisi semangat hilirisasi.
Sebuah kerja sama yang dilandasi oleh prinsip kesetaraan dan keinginan untuk menciptakan ekosistem industri baterai EV, khususnya yang berbasis litium.
Selaras dengan keinginan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan turut membakar semangat negara-negara Afrika.
“Kalau Indonesia bisa, maka Afrika juga bisa,” ujarnya yang merujuk pada keberhasilan Indonesia dalam melakukan hilirisasi.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, menempati posisi kedua terbesar untuk cadangan timah, serta penghasil bauksit dan tembaga.
Menurut Luhut, membantu negara-negara di Afrika melakukan hilirisasi litium dapat menjadi kepingan puzzle yang menyempurnakan desain pembangunan ekosistem industri baterai EV.
Kepentingan antara Indonesia dan Zimbabwe telah bertemu, terjalin, dan kini tinggal menanti Pemerintah menuangkannya pada nota kesepahaman yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Luhut menjamin bahwa kerja sama yang terjalin akan bersifat setara. Indonesia tak akan menjadi mitra yang mendikte, tidak pula menempatkan diri sebagai sosok yang lebih dominan. Kerja sama itu nantinya akan membawa semangat Selatan-Selatan.
“Indonesia tak akan mendikte. Kita setara. Mari bekerja bersama dalam semangat Kawasan Selatan (Global South),” ujar Luhut.
Potensi pasar
Lebih dari sekadar lumbung litium, Indonesia juga menyoroti potensi pasar negara-negara Afrika. Pada 2045, populasi Afrika diperkirakan akan berlipat ganda.
Hal tersebut selaras dengan pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala N. Mansury yang juga menyoroti peningkatan populasi di negara-negara Afrika. Pahala mengatakan populasi Afrika mengalami peningkatan besar, yang saat ini saja mencapai 1,4 miliar penduduk.
Besarnya populasi tersebut dapat digunakan oleh Indonesia untuk melakukan diversifikasi pasar ke nontradisional.
Dengan diversifikasi pasar itu, Indonesia berharap mendapatkan pasokan komoditas, perluasan tujuan ekspor, hingga potensi investasi di luar negeri.
Selain itu, menurut data Bank Pembangunan Afrika, pertumbuhan ekonomi kawasan itu mencapai 3,2 persen pada 2023, dengan estimasi lonjakan menjadi 3,8 persen pada 2024.
Potensi yang dimiliki oleh Afrika terlampau besar untuk dipandang sebelah mata, apalagi diabaikan. Afrika telah membuka pintu bagi Indonesia. Momentum yang dinanti-nanti pun kini tiba.
Tidak ada kata menunggu bagi Indonesia bila ingin melebarkan sayapnya ke Afrika dan menjadi pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2024
Litium merupakan mineral kritis yang menjadi komponen penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Sedari menyadari betapa berharganya mineral kritis tersebut, Indonesia sama sekali tak berniat untuk menyembunyikan ketertarikannya terhadap gudang litium yang bersemayam di perut bumi Afrika.
Hal tersebut dibuktikan dengan kerja sama antara BUMN Holding Industri Pertambangan MIND ID dengan Tanzania terkait litium, sebagaimana yang menjadi rujukan Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani ketika memaparkan betapa Indonesia membutuhkan Afrika.
Untuk menghasilkan sebuah baterai listrik, Indonesia memerlukan banyak mineral kritis yang tidak terbatas hanya pada nikel. Berbagai mineral kritis tersebut diyakini dapat diperoleh dari negara-negara Afrika.
Oleh karenanya, dalam sebuah pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dengan Wakil Presiden Zimbabwe K.C.D. Mohadi yang berlangsung di sela-sela Forum Indonesia-Afrika (IAF) ke-2, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini sedang menjajaki kerja sama dalam penambangan litium di Zimbabwe.
Ikhtiar tersebut didasari fakta atas gudang litium yang dimiliki oleh Zimbabwe. Sebagaimana yang diklaim oleh Mohadi, Zimbabwe merupakan sumber litium terbesar kedua di dunia.
Teruntuk kerja sama antara Indonesia dengan Zimbabwe di bidang penambangan litium, Presiden mengatakan akan menugaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia untuk mempercepat finalisasi nota kesepahamannya.
Indonesia tentu tak ingin melepas cengkeraman dari kesempatan yang memungkinkan dirinya untuk selangkah lebih dekat dalam mewujudkan ambisi sebagai raja baterai EV seantero jagat.
Sebuah peran yang diyakini oleh Pemerintah akan membawa Indonesia menjadi pemain utama dalam misi transisi energi dunia dari energi fosil menuju energi bersih.
Zimbabwe memberi peluang
Zimbabwe tak hanya menyambut Indonesia dengan sepasang tangan yang terbuka lebar. Negara yang terkurung oleh daratan tersebut bahkan mengundang Indonesia untuk segera bertandang.
“Kami mengundang Indonesia untuk menjadi bagian dari Visi 2030 kami, dengan memanfaatkan berbagai peluang investasi di sektor pertambangan kami demi kebaikan bersama,” ucap Mohadi pada sesi Leaders' Talk V Forum Indonesia-Afrika.
Kalimat-kalimat pujian kepada Indonesia pun meluncur dengan lancar dari bibir Mohadi kala menyampaikan pidatonya.
Bagi Zimbabwe, Indonesia adalah teladan dalam sektor pertambangan, terutama pada hilirisasi mineral hasil tambang. Pengalaman Indonesia dalam melakukan hilirisasi nikel menjadi inspirasi dan edukasi bagi negara-negara di Afrika.
Hadirnya nilai tambah akibat hilirisasi nikel di Indonesia memantik keinginan Zimbabwe untuk melakukan hal yang serupa terhadap litium yang ia hasilkan. Dengan harapan, nilai jual litium yang selama ini mereka ekspor mentah dapat meningkat nilai tambahnya.
Terlebih, sektor pertambangan merupakan tulang punggung dari pertumbuhan perekonomian Zimbabwe. Kontribusi sektor pertambangan pada penerimaan Zimbabwe melalui ekspor mencapai 60 persen.
Oleh karena itu, Mohadi menggelar karpet merah kepada Indonesia yang berniat untuk melakukan kerja sama di bidang penambangan litium guna mewarisi semangat hilirisasi.
Sebuah kerja sama yang dilandasi oleh prinsip kesetaraan dan keinginan untuk menciptakan ekosistem industri baterai EV, khususnya yang berbasis litium.
Selaras dengan keinginan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan turut membakar semangat negara-negara Afrika.
“Kalau Indonesia bisa, maka Afrika juga bisa,” ujarnya yang merujuk pada keberhasilan Indonesia dalam melakukan hilirisasi.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, menempati posisi kedua terbesar untuk cadangan timah, serta penghasil bauksit dan tembaga.
Menurut Luhut, membantu negara-negara di Afrika melakukan hilirisasi litium dapat menjadi kepingan puzzle yang menyempurnakan desain pembangunan ekosistem industri baterai EV.
Kepentingan antara Indonesia dan Zimbabwe telah bertemu, terjalin, dan kini tinggal menanti Pemerintah menuangkannya pada nota kesepahaman yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Luhut menjamin bahwa kerja sama yang terjalin akan bersifat setara. Indonesia tak akan menjadi mitra yang mendikte, tidak pula menempatkan diri sebagai sosok yang lebih dominan. Kerja sama itu nantinya akan membawa semangat Selatan-Selatan.
“Indonesia tak akan mendikte. Kita setara. Mari bekerja bersama dalam semangat Kawasan Selatan (Global South),” ujar Luhut.
Potensi pasar
Lebih dari sekadar lumbung litium, Indonesia juga menyoroti potensi pasar negara-negara Afrika. Pada 2045, populasi Afrika diperkirakan akan berlipat ganda.
Hal tersebut selaras dengan pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala N. Mansury yang juga menyoroti peningkatan populasi di negara-negara Afrika. Pahala mengatakan populasi Afrika mengalami peningkatan besar, yang saat ini saja mencapai 1,4 miliar penduduk.
Besarnya populasi tersebut dapat digunakan oleh Indonesia untuk melakukan diversifikasi pasar ke nontradisional.
Dengan diversifikasi pasar itu, Indonesia berharap mendapatkan pasokan komoditas, perluasan tujuan ekspor, hingga potensi investasi di luar negeri.
Selain itu, menurut data Bank Pembangunan Afrika, pertumbuhan ekonomi kawasan itu mencapai 3,2 persen pada 2023, dengan estimasi lonjakan menjadi 3,8 persen pada 2024.
Potensi yang dimiliki oleh Afrika terlampau besar untuk dipandang sebelah mata, apalagi diabaikan. Afrika telah membuka pintu bagi Indonesia. Momentum yang dinanti-nanti pun kini tiba.
Tidak ada kata menunggu bagi Indonesia bila ingin melebarkan sayapnya ke Afrika dan menjadi pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2024