Nunukan (ANTARA Kaltim) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengamati potensi terjadinya golput (golongan putih) atau tidak menggunakan hak pilih disebabkan belum validnya data kependudukan dari pemerintah.
"Sebenarnya kecurangan pemilu itu berawal dari data kependudukan dari pemerintah yang belum valid sehingga dibutuhkan komitmen pemerintah untuk menyikapinya," sebut Nasrullah, komisioner Bawaslu RI di Nunukan, akhir pekan lalu.
Ia mengakui, belum akuratnya data kependudukan sehingga masih seringkali ditemukan data pemilih yang ganda maupun aspek lain yang berkaitan dengan akurasi data pemilih seperti meninggal dunia, perubahan status kependudukan dari TNI/Polri yang telah purnabakti atau sebaliknya dan lain-lain.
Membuang "sampah" kependudukan yang tidak akurat tersebut dapat saja dilakukan pemerintah daerah sepanjang ada keinginan bersama dalam mewujudkan sistem demokrasi di Indonesia agar upaya kecurangan tersebut sangat kecil dilakukan oleh calon atau pasangan calon.
Nasrullah mengungkapkan masih banyaknya pemilih ganda pada setiap pemilu baik pilpres, pileg maupun pilkada disebabkan belum sigapnya pemerintah dalam melakukan tindakan untuk menghapuskan nomor kependudukan seseorang apabila telah berpindah tempat tinggal.
Berkaitan dengan hal ini, konsekuensinya golongan putih (golput) atau tidak menggunakan hak pilih sangat tinggi padahal sebenarnya pemilih bersangkutan tidak berada di daerah itu tetapi masih didaftar sebagai pemilih, terang dia.
"Kontribusi golput ini disebabkan oleh mal administrasi kependudukan," terangnya.
Ia mengungkapkan, jumlah surat suara mengacu pada berapa jumlah pemilih yang terdaftar karena hal itu yang menjadi standarisasi yang perlu diterapkan.
Nasrullah mencontohkan, karyawan pada perusahaan dimana kemungkinan masih terdaftar sebagai penduduk di daerah asalnya dan terdaftar sebagai pemilih sementara menggunakan hak pilihnya di daerah tempat kerjanya saat pemilu.
Persoalan ini dapat menambah golput karena kemungkinan dapat saja karyawan bersangkutan tidak terdaftar sebagai pemilih padahal telah memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilihnya.
Jika, karyawan perusahaan yang belum didaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) kemudian didaftar sebagai daftar pemilih khusus (DPK) kemungkinan akan sulit juga mendapatkan surat suara.
Sehubungan dengan besarnya potensi golput tersebut, kata Nasrullah, dibuktikan banyaknya sisa surat suara pada tempat pemungutan suara (TPS) setiap pemilu sehingga hal ini dianggap pemilu menyisakan banyak persoalan yang belum dapat dicarikan solusi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014
"Sebenarnya kecurangan pemilu itu berawal dari data kependudukan dari pemerintah yang belum valid sehingga dibutuhkan komitmen pemerintah untuk menyikapinya," sebut Nasrullah, komisioner Bawaslu RI di Nunukan, akhir pekan lalu.
Ia mengakui, belum akuratnya data kependudukan sehingga masih seringkali ditemukan data pemilih yang ganda maupun aspek lain yang berkaitan dengan akurasi data pemilih seperti meninggal dunia, perubahan status kependudukan dari TNI/Polri yang telah purnabakti atau sebaliknya dan lain-lain.
Membuang "sampah" kependudukan yang tidak akurat tersebut dapat saja dilakukan pemerintah daerah sepanjang ada keinginan bersama dalam mewujudkan sistem demokrasi di Indonesia agar upaya kecurangan tersebut sangat kecil dilakukan oleh calon atau pasangan calon.
Nasrullah mengungkapkan masih banyaknya pemilih ganda pada setiap pemilu baik pilpres, pileg maupun pilkada disebabkan belum sigapnya pemerintah dalam melakukan tindakan untuk menghapuskan nomor kependudukan seseorang apabila telah berpindah tempat tinggal.
Berkaitan dengan hal ini, konsekuensinya golongan putih (golput) atau tidak menggunakan hak pilih sangat tinggi padahal sebenarnya pemilih bersangkutan tidak berada di daerah itu tetapi masih didaftar sebagai pemilih, terang dia.
"Kontribusi golput ini disebabkan oleh mal administrasi kependudukan," terangnya.
Ia mengungkapkan, jumlah surat suara mengacu pada berapa jumlah pemilih yang terdaftar karena hal itu yang menjadi standarisasi yang perlu diterapkan.
Nasrullah mencontohkan, karyawan pada perusahaan dimana kemungkinan masih terdaftar sebagai penduduk di daerah asalnya dan terdaftar sebagai pemilih sementara menggunakan hak pilihnya di daerah tempat kerjanya saat pemilu.
Persoalan ini dapat menambah golput karena kemungkinan dapat saja karyawan bersangkutan tidak terdaftar sebagai pemilih padahal telah memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilihnya.
Jika, karyawan perusahaan yang belum didaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) kemudian didaftar sebagai daftar pemilih khusus (DPK) kemungkinan akan sulit juga mendapatkan surat suara.
Sehubungan dengan besarnya potensi golput tersebut, kata Nasrullah, dibuktikan banyaknya sisa surat suara pada tempat pemungutan suara (TPS) setiap pemilu sehingga hal ini dianggap pemilu menyisakan banyak persoalan yang belum dapat dicarikan solusi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014