Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) menjelaskan peran mitra deradikalisasi dalam program deradikalisasi saat menerima kunjungan Religious Rehabilitation Group (RRG) dan Internal Security Department (ISD) Singapura.
Direktur Deradikalisasi BNPT RI Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid mengatakan salah satu peran mitra deradikalisasi tersebut adalah menceritakan bagaimana proses mereka terpapar ideologi yang salah.
"Terorisme ini bisa menyerang siapa saja, maka dalam penanggulangan terorisme, kami menggandeng mereka yang secara langsung telah mengalami dan pernah terpapar. Sehingga, mereka bisa menceritakan pengalamannya secara langsung. Kami gandeng menjadi mitra deradikalisasi," ucap Ahmad di Kantor Pusat BNPT, Sentul, Selasa, sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta.
Pada kesempatan itu, Ahmad juga menjelaskan perbandingan regulasi penanggulangan terorisme antara Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, kata dia, ada tiga tahap klaster dalam menghadapi virus ideologi.
Pertama, mereka yang masih moderat, tetapi rentan terpapar; kedua, sudah terpapar virus ideologi yang salah, tetapi tidak sadar; ketiga, mereka yang sudah berpaham radikal dan sudah masuk dalam jaringan teror.
"Tahapan ketiga ini baru kami bisa bekerja sama dengan Densus (Detasemen Khusus 88 Antiteror, red.) dan melakukan program deradikalisasi. Sementara, di Singapura dari klaster pertama sudah bisa dilakukan pre-emptive justice (keadilan pendahuluan)," imbuhnya.
Sementara itu, pimpinan delegasi RRG Salim bin Mohamed Nasir mengatakan bahwa Singapura melihat Indonesia sebagai negara yang mampu menangani tantangan penanggulangan terorisme dengan positif.
"Kami mau belajar dari pakar-pakar penanggulangan terorisme di BNPT RI. Indonesia kami lihat mampu menghadapi segala tantangan penanggulangan terorisme dengan positif, jadi kami belajar dari Indonesia," ucap Salim.
Di sisi lain, perwakilan mitra deradikalisasi Sofyan Tasuri menjelaskan bahwa jaringan teror berakar pada intoleransi dan radikalisme.
"Akar terorisme adalah intoleransi dan radikalisme, kelompok-kelompok ini menyajikan agama secara instan dan terlihat peduli pada perkembangan agama padahal mereka tidak membawa roh agama dalam aktivitas-nya," papar Sofyan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023
Direktur Deradikalisasi BNPT RI Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid mengatakan salah satu peran mitra deradikalisasi tersebut adalah menceritakan bagaimana proses mereka terpapar ideologi yang salah.
"Terorisme ini bisa menyerang siapa saja, maka dalam penanggulangan terorisme, kami menggandeng mereka yang secara langsung telah mengalami dan pernah terpapar. Sehingga, mereka bisa menceritakan pengalamannya secara langsung. Kami gandeng menjadi mitra deradikalisasi," ucap Ahmad di Kantor Pusat BNPT, Sentul, Selasa, sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta.
Pada kesempatan itu, Ahmad juga menjelaskan perbandingan regulasi penanggulangan terorisme antara Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, kata dia, ada tiga tahap klaster dalam menghadapi virus ideologi.
Pertama, mereka yang masih moderat, tetapi rentan terpapar; kedua, sudah terpapar virus ideologi yang salah, tetapi tidak sadar; ketiga, mereka yang sudah berpaham radikal dan sudah masuk dalam jaringan teror.
"Tahapan ketiga ini baru kami bisa bekerja sama dengan Densus (Detasemen Khusus 88 Antiteror, red.) dan melakukan program deradikalisasi. Sementara, di Singapura dari klaster pertama sudah bisa dilakukan pre-emptive justice (keadilan pendahuluan)," imbuhnya.
Sementara itu, pimpinan delegasi RRG Salim bin Mohamed Nasir mengatakan bahwa Singapura melihat Indonesia sebagai negara yang mampu menangani tantangan penanggulangan terorisme dengan positif.
"Kami mau belajar dari pakar-pakar penanggulangan terorisme di BNPT RI. Indonesia kami lihat mampu menghadapi segala tantangan penanggulangan terorisme dengan positif, jadi kami belajar dari Indonesia," ucap Salim.
Di sisi lain, perwakilan mitra deradikalisasi Sofyan Tasuri menjelaskan bahwa jaringan teror berakar pada intoleransi dan radikalisme.
"Akar terorisme adalah intoleransi dan radikalisme, kelompok-kelompok ini menyajikan agama secara instan dan terlihat peduli pada perkembangan agama padahal mereka tidak membawa roh agama dalam aktivitas-nya," papar Sofyan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023