Balikpapan (ANTARA Kaltim) -  Pemerintah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur dianggap belum mengambil tindakan, meskipun semakin banyak ancaman kerusakan lingkungan terjadi di Teluk Balikpapan.

"Tidak ada langkah-langkah signifikan yang diambil pasca penetapan Kawasan Industri Kariangau (KIK) sebagai bagian dari RTRW kota," kata Stanislav Lhota, peneliti margasatwa dari Czech University of Life Sciences di Praha, Republik Ceko di Balikpapan. Senin.

Lhota sudah puluhan tahun meneliti Teluk Balikpapan mempelajari kehidupan beragam satwa, terutama bekantan (Nasalis larvatus), dan beragam aspek-aspek kehidupan di Teluk itu.

Dikatakan, sejak perubahaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada 2012, pemerintah tidak memperkuat pengawasan terhadap kawasan hutan dan aktivitas illegal logging yang berlanjut terus.

Hampir setiap kali memasuki kawasan Kariangau dari Solok Puda sampai ke perbatasan PPU, suara chainsaw dapat didengar," cerita Lhota.

Lokasi paling sering yaitu di sekitar Sungai Tengah, Sungai Berenga, dan Sungai Tempadung. Selama ini, kata Lhota, pemerintah dan polisi tidak melakukan langkah apapun untuk menghentikan kegiatan illegal logging di kawasan hutan Kariangau.

Bagi para aktivis lingkungan, adanya pembalakan liar atau illegal logging di Kariangau adalah bukti bahwa pemerintah tidak serius saat menjanjikan bahwa Kawasan Industri Kariangau akan dibangun dengan cara ramah lingkungan dan tidak akan mengancam kawasan hutan.

Disisi lain Teluk Balikpapan juga telah menjadi obyek pantauan internasional. Aktivis lingkungan dari berbagai belahan dunia menggunakan bermacam data seterti data menggunakan citra satelit, investigasi lapangan, hingga informasi dari masyarakat setempat untuk melihat kondisi akhir Teluk dan hutang mangrove diatasnya.

Alasan utama mengapa Teluk Balikpapan dan Kawasan Industri Karinagau dipantau di tingkat internasional adalah kegiatan PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Berenga.

WINA telah merusak 27,1 hektar hutan di sekitar Sungai Berenga Kanan, kebanyakan adalah hutan mangrove dan kawasan lindung di pesisir dan sempadan sungai. WINA juga telah menutup hulu Sungai Berenga Kanan dengan timbunan tanah.

Pemotongan dan penimbunan

Selain mangrove yang dirusak secara langsung akibat terkena pemotongan dan penimbunan, sangat banyak pohon mangrove yang mati ke arah hulu sungai akibat penutupan sungai tersebut yang meyebabkan perubahaan sirkulasi air.

Kemudian, hanya sedikit hutan di pesisir dialokasikan untuk dipertahankan dalam RTRW 2013-2032. Namun hutan ini pun tetap dibuka dan dirusak.

Menurut catatan para aktivis, perusakan ini sudah terjadi dua kali dalam kurun waktu satu tahun di DAS Sungai Puda. Tahun yang lalu PT Pelindo (Pelabuhaan Indonesia) merusak beberapa hektar hutan mangrove di Sungai Puda untuk memperluas areal gudang.

Pada bulan Maret ini, ungkap Lhota, pembukaan hutan mangrove yang dilindungi oleh RTRW 2013-2032 terjadi lagi. Sebuah pelabuhaan baru dibangun di antara pelabuhan Peti Kemas Kariangau dengan Muara Solok Puda.

Di atas Sungai Berenga Kanan juga terlihat rintisan lahan yang cukup luas dengan 2 buah pelang atas nama PT Tunas Catur Lestari. Wilayah yang dikuasai oleh PT Tunas Catur Lestari termasuk mangrove di Sungai Tengah yang sangat luas.

"Kami belum tahu apa rencana perusahaan itu, tapi kerusakan yang dibuatnya sudah kami laporkan ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan," kata Lhota.

Teluk Balikpapan juga dicemari limbah batubara. PT Dermaga Kencana Indonesia (DKI) yang berlokasi di muara Sungai Tempadung membuat stockpile terlalu dekat dengan laut dan terumbu karang Batu Kapal.

Terumbu karang ini sekarang sudah berada dalam kondisi kritis karena pencemaran dari perusahaan, yang juga mengancam habitat duyung, pesut, dan ikan. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014