Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta KPU RI segera mengumumkan nama bakal calon anggota legislatif, baik tingkat DPRD kota/kabupaten/provinsi, DPR RI, dan DPD RI yang berstatus sebagai mantan terpidana koruptor.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai apabila KPU tidak mengumumkan nama bakal caleg yang berstatus mantan koruptor, kondisi ini akan menambah rentetan kontroversi sejak awal penyelenggaraan tahapan pemilu.
"Harapan adanya kebijakan progresif dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang sepertinya masih menjadi angan-angan semu. Bagaimana tidak, hari ini partai politik sebagai pengusung bakal caleg ternyata masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Adapun temuan ICW menunjukkan setidaknya terdapat 12 nama mantan koruptor dalam daftar calon sementara (DCS) bakal caleg, baik tingkat DPR RI maupun DPD RI yang dipublikasikan pada 19 Agustus 2023.
Baca juga: KPK sebut banyaknya OTT tak buat koruptor jadi kapok
Ia menilai KPU terkesan menutupi, karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan salah satu anggotanya, yaitu Idham Holik yang menyatakan bahwa tidak ada perintah dalam undang-undang untuk mengumumkan status mantan terpidana para bakal calon legislatif.
Menurut Kurnia, pernyataan itu justru bertolak belakang dengan janji Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari yang pada akhir Juli lalu menyatakan bahwa mantan terpidana korupsi yang didaftarkan sebagai bacaleg akan diumumkan saat penetapan DCS.
Ketiadaan pengumuman status terpidana korupsi dalam DCS tentu akan menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi memberikan masukan dan tanggapan terhadap DCS secara maksimal. Terlebih, informasi mengenai daftar riwayat hidup para bakal caleg juga tidak disampaikan melalui laman KPU.
Jika pada akhirnya para mantan terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam daftar calon tetap (DCT), tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil.
Baca juga: Kaji urgensi Tim Pemburu Koruptor
Padahal hasil survei jajak pendapat yang dipublikasikan oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa sebanyak 90,9 persen responden tidak setuju mantan napi korupsi maju sebagai caleg dalam pemilu.
Ia mengatakan kondisi ini berbeda dengan Pemilu 2019 di mana KPU pada saat itu justru sangat progresif karena mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi.
"Artinya, langkah KPU RI saat ini jelas sebuah langkah mundur, tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel sebagaimana disinggung dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," katanya.
Baca juga: Penyidik Kejati Kaltim serah terima berkas perkara koruptor PT MMPKT ke JPU
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai apabila KPU tidak mengumumkan nama bakal caleg yang berstatus mantan koruptor, kondisi ini akan menambah rentetan kontroversi sejak awal penyelenggaraan tahapan pemilu.
"Harapan adanya kebijakan progresif dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang sepertinya masih menjadi angan-angan semu. Bagaimana tidak, hari ini partai politik sebagai pengusung bakal caleg ternyata masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Adapun temuan ICW menunjukkan setidaknya terdapat 12 nama mantan koruptor dalam daftar calon sementara (DCS) bakal caleg, baik tingkat DPR RI maupun DPD RI yang dipublikasikan pada 19 Agustus 2023.
Baca juga: KPK sebut banyaknya OTT tak buat koruptor jadi kapok
Ia menilai KPU terkesan menutupi, karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan salah satu anggotanya, yaitu Idham Holik yang menyatakan bahwa tidak ada perintah dalam undang-undang untuk mengumumkan status mantan terpidana para bakal calon legislatif.
Menurut Kurnia, pernyataan itu justru bertolak belakang dengan janji Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari yang pada akhir Juli lalu menyatakan bahwa mantan terpidana korupsi yang didaftarkan sebagai bacaleg akan diumumkan saat penetapan DCS.
Ketiadaan pengumuman status terpidana korupsi dalam DCS tentu akan menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi memberikan masukan dan tanggapan terhadap DCS secara maksimal. Terlebih, informasi mengenai daftar riwayat hidup para bakal caleg juga tidak disampaikan melalui laman KPU.
Jika pada akhirnya para mantan terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam daftar calon tetap (DCT), tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil.
Baca juga: Kaji urgensi Tim Pemburu Koruptor
Padahal hasil survei jajak pendapat yang dipublikasikan oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa sebanyak 90,9 persen responden tidak setuju mantan napi korupsi maju sebagai caleg dalam pemilu.
Ia mengatakan kondisi ini berbeda dengan Pemilu 2019 di mana KPU pada saat itu justru sangat progresif karena mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi.
"Artinya, langkah KPU RI saat ini jelas sebuah langkah mundur, tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel sebagaimana disinggung dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," katanya.
Baca juga: Penyidik Kejati Kaltim serah terima berkas perkara koruptor PT MMPKT ke JPU
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023