Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan terkait penyelenggaraan sistem pemilu secara tertutup, pada Kamis.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis.

Keputusan penolakan itu berlangsung dalam sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan para pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.

"Dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009 sampai dengan 2019, partai politik seperti kehilangan peran sentral-nya dalam kehidupan berdemokrasi," ujar Saldi Isra.

Menurut keputusan MK,  sesuai Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.

"Sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon," ujar Saldi Isra.

Terkait kekhawatiran ideologi calon anggota DPR/DPRD yang tidak sejalan dengan ideologi partai, Saldi menjelaskan partai politik memiliki peran sentral dalam memilih calon yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.

Mengenai peluang praktik politik uang dalam sistem proporsional terbuka, Saldi menyebut sistem pemilihan umum apa pun, tetap berpotensi terjadinya hal itu.

“Misalnya, dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elit partai politik dengan para calon anggota legislatif yang berebut 'nomor urut calon jadi' agar peluang keterpilihan makin besar," katanya.

Menurut Saldi, praktik politik uang tidak menjadi dasar untuk mengarahkan tudingan disebabkan oleh sistem pemilihan umum tertentu.

Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).

Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.

Pewarta: Putu Indah Savitri

Editor : Imam Santoso


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023