Tenggarong (ANTARA Kaltim) - Bagi kebanyakan orang, mencukupi kebutuhan energi berupa gas elpiji, minyak tanah, atau kayu bakar agar dapur tetap mengepul menjadi perhatian khusus.

Bahkan wajib hukumnya menyisihkan sejumlah rupiah agar api kompor bisa menyala untuk memasak makanan kebutuhan sehari-hari.

Tak jarang warga kerepotan, apa bila stok gas elpiji atau minyak tanah berkurang dan langka di pasaran, harganya pun bisa saja melambung. Masalah seperti ini kerap dijumpai warga di Tanah Air.

Namun, masalah seperti di atas tidak lagi dialami oleh sebagian warga desa Sumber Sari RT 06 kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, yang tergabung dalam kelompok ternak sapi Cipta Usaha.

Keluarga Sukardi, adalah salah satu warga desa yang umumnya berprofesi sebagai petani tersebut, bisa dikatakan mandiri energi khususnya untuk bahan bakar memasak.

Pasalnya, sejak 2011 lalu kebutuhan akan api untuk memasak dirumahnya dicukupi oleh bio gas. Meski hanya tahan untuk nyala api kompor tiga jam non stop per hari, yang dihasilkan dari bak penampungan fermentasi ukuran 4 kubik, namun sangat mencukupi kebutuhan api untuk memasak di rumahnya.

"Yo cukup untuk masak sehari-hari, jadi saya 'enggak' pernah beli elpiji atau minyak tanah lagi," ujar Ny Sukardi dengan logat Jawa sambil memperlihatkan nyala api dari biogas dari kompor di dapurnya,
Senin (7/10).

Ya, karena memang Sukardi, pria berusia 60 tahun itu, adalah peternak sapi Bali khusus penggemukan. Kandang penggemukan sapi terletak kurang lebih 15 meter dari dapurnya, tampak tak kurang delapan ekor sapi dengan tubuh gempal ada di kandang berukuran lebih kurang 10 x 3 meter tersebut.

Tentunya, sapi tersebut saban hari menghasilkan kotoran yang bagi sebagian orang dipandang sebelah mata dan tak berharga, belum lagi baunya yang menyengat bisa membuat orang meringis ketika mencium aroma tak sedap kotoran sapi itu.

Tetapi di tangan Sukardi dan kawan-kawan, kotoran sapi tersebut banyak manfaat salah satunya sebagai bahan baku bio gas.

Bak gayung bersambut, pemerintah pusat melalui APBN dua tahun lalu membantu Sukardi dan kawan-kawan dalam pembuatan biogas.

Selain itu, limbah padat kotoran sapi sisa biogas bisa dijadikan pupuk. Sukardi bahkan menjual pupuk tersebut dengan harga Rp 4 ribu per karung ukuran 25 kilogram.

Sedangkan limbah cairnya, digunakan untuk larutan menyiram tanam-tanaman disekitar rumahnya. Pantas saja, beraneka mamacam saur-sayuran, buah-buahan dan tanaman hias dipekarangan Sukardi nampak subur.

"Jadi kotoran sapi ini tidak sia-sia bagi kami, bahkan menghasilkan uang," ujar pria berambut putih yang juga ketua kelompok Cipta Usaha itu, sambil tersenyum diberanda rumahnya.

Dikatakannya, hampir semua anggotanya memanfaatkan kotoran ternak untuk dijadikan biogas dan pupuk.

Kepala Bidang Kesehatan Hewan Disnakkeswan Kukar Fathuddin mengatakan didampingi petugas UPT Disnakkeswan Loa Kulu Sugianto, mengatakan bahwa hingga saat ini sudah ada 49 kepala keluarga di desa Sumber Sari yang menggunakan bio gas, dengan kapasitas paling kecil empat kubik dan paling besar enam kubik.

"Seluruh pembuatan instalasi biogas tersebut merupakan bantuan APBN, kami hanya melakukan pembinaan saja," terangnya.

Fathuddin berharap agar peternak lainnya di Kukar juga dapat memanfaatkan potensi lain dari ternak, misalnya biogas atau pupuk.

"Tinggal kemauan saja, Insyaallah kami siap membina," ujarnya. (*)

Pewarta: Hayru Abdi

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013