Samarinda (ANTARA Kaltim) - Pengamat Politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia Dr Yon Machmudi mengatakan Pemerintah Indonesia harus lebih responsif mencegah terjadinya pembantaian militer terhadap para demonstran damai di Mesir.

"Pemerintah Indonesia harus mendesak penguasa Mesir untuk melakukan langkah-langkah kompromi politik dengan melibatkan secara penuh kelompok Ikhwanul Muslimin," ujar Yon Machmudi yang dihubungi dari Samarinda, Selasa.

Menurut dia, tidak rasional jika Mesir kembali melakukan isolasi politik kepada kelompok Ikhwanul Muslimin, karena kelompok ini merupakan kelompok mainstream yang ditindas.

Hal itu, katanya, bisa dicegah dengan melakukan pembicaraan serius dengan pemimpin-pemimpin negara di kawasan Timur Tengah, guna menciptakan perdamaian permanen di kawasan itu.

Sebenarnya, kata dia lagi, masyarakat Mesir telah mengalami perubahan besar dan siap hidup secara damai dan demokratis.

Bahkan, katanya, Ikhwanul Muslimin yang ditakutkan tidak dapat bekerja sama dengan elemen masyarakat yang plural juga melakukan transformasi gerakan yang cukup signifikan.

Menurut Yon, militer adalah satu-satunya kelompok yang tidak mengalami perubahan, sehingga hadirnya kembali militer di era transisi akan menjadikan Mesir kembali pada otoritarian baru yang jauh lebih represif ketimbang era Husni Mubarok.

Karena itu, katanya, tidak mengejutkan jika kemudian militer yang berkuasa melakukan langkah-langkah di luar batas kemanusiaan.

Militer, menurut dia, bisa saja kembali ke politik asalkan telah melakukan reformasi internal, tetapi hal ini tidak terjadi di Mesir.

Saat ini korban dari para demonstran sudah mencapai ribuan, tetapi militer yang berkuasa tetap bergeming dan dunia internasional kurang responsif terhadap isu ini.

"Ini hanya bisa terjadi di Timur Tengah, ribuan nyawa dikorbankan oleh para penguasa sementara negara-negara pengusung demokrasi 'kikuk' menyikapinya," ujarnya.

Peraih gelar doktor dari Australia National University (ANU) itu mengaku heran jika ada negara maupun kelompok yang mendukung langkah-langkah yang dilakukan oleh penguasa militer Mesir saat ini.

Ia menilai, dukungan Arab Saudi misalnya, lebih pada upaya untuk mempertahankan monopoli politik di Timur Tengah yang selama ini cenderung dikuasai oleh keluarga istana dan militer.

Dalam kurun waktu yang sangat panjang, ujarnya, "raja" dan militer adalah pilar utama monarkhi absolut di Timur Tengah. Kompromi politik dan "power sharing" tidak dikenal dalam terminologi politik Timur Tengah.

Mesir, menurut Yon, akan menjadi monumen bagi kawasan Timur Tengah ke depan, apakah akan menjadikan wilayah yang demokratis atau mempertahankan sistem lama yang cenderung otoriter.

"Saya melihat dukungan Arab Saudi kepada militer Mesir sangat berisiko. Negara-negara Barat akan menghentikan bantuan ke Mesir, tetapi sebaliknya Saudi malah menjanjikan bantuan," katanya.

Jika militer di Mesir gagal, maka diperkirakan Saudi akan mengalami "tsunami politik" yang dapat menghancurkan dinasti Saudi dan para pendukung dinasti lainnya di kawasan Teluk itu.

Dinamika di Mesir, katanya, telah menunjukkan kecenderungan "zero sum game" yang masing-masing tetap bertahan dengan kepentingannya.

Kelompok Islam radikal dan pendukung rezim lama bersama militer sangat berkepentingan untuk mengambil alih kekuasaan, sementara Ikhwanul Muslimin yang melakukan aksi damai dijadikan sebagai korban. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013