Indonesia di tahun 2022 diprediksi akan menjadi tahun yang tidak mudah, termasuk juga Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan sebagai regulator kebijakan.
 

“BI pun mengambil kebijakan yakni suku bunga dan giro wajib minimum bank akan diarahkan ke pro stabilitas dan pro pertumbuhan,” kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti di Samarinda, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, BI tidak akan naikkan cepat-cepat suku bunga, melainkan akan melihat terlebih dulu bagaimana inflasi, masih tinggi atau tidak.

Lanjutnya, kebijakan BI akan mendorong meningkatkan pertumbuhan (pro growth). Kebijakan itu adalah kebijakan makro prudential, kebijakan UMKM dan kebijakan untuk syariah, serta kebijakan untuk pendalaman pasar keuangan.

Menurutnya, pada tahun 2020-2021 masalahnya jelas yaitu pandemi,  bagaimana negara bisa mengatasi pandemi dan memulihkan perekonomian.

Penanganan ekonomi tahun 2020-2021 bisa dilakukan lebih jelas ketika pandemi bisa ditangani dengan baik, mobilitas kembali meningkat, maka ekonomi Indonesia perlahan bergerak positif.

Sepanjang dua tahun itu seluruh kebijakan diarahkan untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.

"Alhamdulillah, Indonesia termasuk satu dari lima negara dengan penanganan COVID-19 terbaik di dunia. Ini membuat ekonomi Indonesia bisa lebih cepat berbalik," kata Destry.

Ia mengungkapkan, belum lama ini BPS merilis ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 persen pada triwulan I 2022. Sebelumnya, Indonesia sempat mengalami resesi di 2020, pertumbuhan negatif.

“Pada tahun 2021 kondisi ekonomi mulai membaik dengan pertumbuhan sekitar dua persen, namun tantangan tahun ini akan lebih besar," imbuhnya.

Dikemukakannya, selain masih harus mewaspadai kemungkinan varian baru COVID-19 dan melakukan pemulihan ekonomi nasional, tahun 2022 Indonesia juga harus melakukan stabilisasi.

Stabilisasi menjadi isu yang tercermin dari tingkat inflasi yang terus mengalami peningkatan.

Inflasi dan 'gangguan' ekonomi, diprediksi bukan hanya bersumber dari domestik karena aktivitas masyarakat yang makin membaik, tapi justru banyak dari luar dan tidak bisa dikontrol.

Contohnya ketegangan antara Rusia dan Ukraina yang masih terus berkecamuk hingga saat ini.

"Sekarang ketika mereka harus lakukan normalisasi untuk stabilisasi, bank sentral mulai menaikkan suku bunga. Investor sudah mulai banyak bertanya, Indonesia kapan," tuturnya.

"Kita semua harus tetap waspada. Bisa jadi karena energy crisis dan commodity shock yang pada saatnya nanti juga akan mengganggu ekonomi negara lain," tuturnya.

Destry menambahkan, selain itu bisa juga terjadi karena faktor kebijakan negara-negara maju. Saat pandemi COVID-19 hampir seluruh negara di dunia memberikan stimulus yang sangat besar, baik oleh pemerintahnya atau bank sentral mereka. Akibatnya, likuiditas keuangan masih aman.
 

Pewarta: R'sya Rahmadina

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2022