Nunukan (ANTARA Kaltim) - Warga Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mempertanyakan legalitas sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, untuk menggarap hutan adat dan hutan lindung khusus bagi pertahanan negara di kawasan tapal batas Indonesia-Malaysia.

Abdul Wahab Kiak, tokoh masyarakat Kabupaten Nunukan, Kamis, mempertanyakannya dengan alasan HGU yang dimiliki PT Bumi Seimenggaris Indah (BSI) tersebut memasuki kawasan hutan lindung khusus, tepatnya di tapal batas Indonesia-Malaysia.

Menurut dia, siapa pun dilarang menggarap hutan lindung yang berada di tapal batas, karena merupakan kawasan pertahanan negara jika terjadi ancaman dari negara tetangga.

"Tetapi pada kenyataannya BSI dibiarkan mengelola hutan yang berada di tapal batas antar negara dengan adanya HGU tersebut," ujar mantan anggota DPRD Nunukan periode 2004-2009 ini.

Ia mengatakan, sesuai dengan instruksi Presiden RI, jarak yang bisa digarap untuk kawasan perkebunan minimal lima kilometer dari tapal batas.

Dia menduga proses penerbitan HGU yang dimiliki PT BSI ini bermasalah, karena di kawasan hutan tersebut juga terdapat lahan milik masyarakat adat yang telah dikelola sejak ratusan tahun oleh nenek moyang mereka.

"Itulah yang menjadi pertanyaan. Ada apa di balik semua ini," katanya bertanya-tanya.

Dugaan pencaplokan lahan masyarakat adat tersebut kini tengah diproses di pengadilan setempat.

Sebelum konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia pada 1967, masyarakat Suku Tidung telah bertempat tinggal dan mengolah kebun di kawasan yang dipersengketakan masyarakat dengan PT BSI saat ini.

Namun ketika konfrontasi tersebut pecah, seluruh masyarakat adat diminta untuk meninggalkan kawasan itu demi keamanan, kata Wahab Kiak.

Wahab Kiak menyatakan, luas lahan terlarang yang dikelola PT BSI tersebut sekitar 12.000 hektare, yang di dalamnya juga terdapat tugu Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo). (*)

Pewarta: M Rusman

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013