Sangatta (ANTARA Kaltim) - Suku Dayak Wehea di Desa Benhes Kecamatan Muara Wahau Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur akan menggelar doa ritual khusus sebagai penutup dari Pesta Lom Plai yang merupakan pesta padi, pada 28 Mei 2013.
Tokoh masyarakat adat Dayak Wehea, Kristian, Sabtu, mengatakan masa panen yang dalam tradisi masyarakat Wehea biasa disebut Lom Plai.
Ia menjelaskan, Lom artinya Pesta dan Plai artinya Padi. Tradisi itu digelar setiap tahun mulai April-Mei dan harus ditutup dengan ritual doa agar tahun berikutnya hasil padi bisa lebih baik.
"Ritual atau doa penutup Lom Plai dan pembukaan kebun atau ladang baru kami disebut `bob jengia` dipimpin Kepala Adat Besar Dayak Wehea," kata Kristian.
Ia mengatakan, ritual dan doa `bob jengia` itu akan dilakukan secara bergantian di masing-masing desa. Pada 2013 ini dilakukan dan dipusatkan Desa Benhes, Muara Wahau, pada tanggal 28 Mei.
Nantinya, lanjut dia, pada saat dilakukan ritual dan doa oleh kepala Adat Besar Suku Dayak Wehea, Wang Lung Langet, masyarakat tidak boleh melakukan kegiatan apapun itu yang berkaitan dengan kerusakan bumi dan hutan.
"Sebelum ritual doa dilakukan, masyarakat dilarang melakukan kegiatan yang merusak bumi, seperti menebang pohon, memotong rumput, menggali tanah dan membakar lahan," kata Kristian.
Bahkan, menurut Kristian yang juga Kepala Desa Nehes Liah Bing itu, sebelum persiapan dan sesudah pesta padi "Lom Plai" dilakukan sejak Maret hingga Mei 2013, tidak diperbolehkan menebang pohon dan merusak bumi.
Oleh karena itu, melalui Bob Jengia itulah ritual dan doa akan disembelih juga hewan ternak seperti ayam dan babi, untuk mengawali dimulainya kembali masyarakat adat membuka lahan untuk bercocok tanam padi dan tanaman lainnya.
Ledjie Taq, Kepala Adat Suku Dayak Wehea, Desa Nehas Liah Bing, mengatakan, "bob jengia" yang dilaksanakan selama sebulan sebagai masa jeda atau biasa disebut Naq Heyang merupakan rangkaian Lom Plai.
Ia mengatakan sebelum "bob jengia" selesai dilaksanakan tidak boleh ada kegiatan masyarakat menebang pohon, membabat hutan dan atau merusak bumi termasuk membakar lahan.
"Setelah ritual doa selesai, maka awal Juni masyarakat dibolehkan membuka lahan untuk menanam padi dan sayuran, namun dengan penuh hati-hati agar bumi tidak rusak," kata Ladjie Taq.
Mengelola lingkungan dan bumi oleh masyarakat Suku Dayak Wehea, menurut Ladjie Taq, sudah dilaksanakan jauh sebelum pemerintah mengeluarkan peraturan tentang hutan Wehea sebagai kawasan hutan lindung.
"Kami masyarakat Dayak Wehea tidak berani merusak bumi, tanah dan hutan beserta isinya serta makhluk yang hidup di atasnya," katanya.
Masyarakat Dayak Wehea, sebelum mengambil sesuatu dari alam, lebih dahulu memberi sesaji kepada penunggu bumi atapun hutan setempat, dengan maksud agar selama menggarap diberikan rejeki dan aman dari gangguan hama.
Ia mencontohkan, ketika akan membuka lahan baru untuk ladang, ada beberapa syarat yang harus dilakukan, seperti memberitahukan maksudnya kepada kepala suku atau kepala adat.
Kemudian adat memberikan tugas kepada sejumlah masyarakat, untuk mencari hutan yang cocok dengan membaca tanda-tanda alam.
"Syarat lain adalah kalau sudah menemukan hutan yang baik untuk bercocok tanam, akan diadakan upacara adat untuk menandai pembukaan hutan atau bumi itulah yang memberi mereka hidup," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013
Tokoh masyarakat adat Dayak Wehea, Kristian, Sabtu, mengatakan masa panen yang dalam tradisi masyarakat Wehea biasa disebut Lom Plai.
Ia menjelaskan, Lom artinya Pesta dan Plai artinya Padi. Tradisi itu digelar setiap tahun mulai April-Mei dan harus ditutup dengan ritual doa agar tahun berikutnya hasil padi bisa lebih baik.
"Ritual atau doa penutup Lom Plai dan pembukaan kebun atau ladang baru kami disebut `bob jengia` dipimpin Kepala Adat Besar Dayak Wehea," kata Kristian.
Ia mengatakan, ritual dan doa `bob jengia` itu akan dilakukan secara bergantian di masing-masing desa. Pada 2013 ini dilakukan dan dipusatkan Desa Benhes, Muara Wahau, pada tanggal 28 Mei.
Nantinya, lanjut dia, pada saat dilakukan ritual dan doa oleh kepala Adat Besar Suku Dayak Wehea, Wang Lung Langet, masyarakat tidak boleh melakukan kegiatan apapun itu yang berkaitan dengan kerusakan bumi dan hutan.
"Sebelum ritual doa dilakukan, masyarakat dilarang melakukan kegiatan yang merusak bumi, seperti menebang pohon, memotong rumput, menggali tanah dan membakar lahan," kata Kristian.
Bahkan, menurut Kristian yang juga Kepala Desa Nehes Liah Bing itu, sebelum persiapan dan sesudah pesta padi "Lom Plai" dilakukan sejak Maret hingga Mei 2013, tidak diperbolehkan menebang pohon dan merusak bumi.
Oleh karena itu, melalui Bob Jengia itulah ritual dan doa akan disembelih juga hewan ternak seperti ayam dan babi, untuk mengawali dimulainya kembali masyarakat adat membuka lahan untuk bercocok tanam padi dan tanaman lainnya.
Ledjie Taq, Kepala Adat Suku Dayak Wehea, Desa Nehas Liah Bing, mengatakan, "bob jengia" yang dilaksanakan selama sebulan sebagai masa jeda atau biasa disebut Naq Heyang merupakan rangkaian Lom Plai.
Ia mengatakan sebelum "bob jengia" selesai dilaksanakan tidak boleh ada kegiatan masyarakat menebang pohon, membabat hutan dan atau merusak bumi termasuk membakar lahan.
"Setelah ritual doa selesai, maka awal Juni masyarakat dibolehkan membuka lahan untuk menanam padi dan sayuran, namun dengan penuh hati-hati agar bumi tidak rusak," kata Ladjie Taq.
Mengelola lingkungan dan bumi oleh masyarakat Suku Dayak Wehea, menurut Ladjie Taq, sudah dilaksanakan jauh sebelum pemerintah mengeluarkan peraturan tentang hutan Wehea sebagai kawasan hutan lindung.
"Kami masyarakat Dayak Wehea tidak berani merusak bumi, tanah dan hutan beserta isinya serta makhluk yang hidup di atasnya," katanya.
Masyarakat Dayak Wehea, sebelum mengambil sesuatu dari alam, lebih dahulu memberi sesaji kepada penunggu bumi atapun hutan setempat, dengan maksud agar selama menggarap diberikan rejeki dan aman dari gangguan hama.
Ia mencontohkan, ketika akan membuka lahan baru untuk ladang, ada beberapa syarat yang harus dilakukan, seperti memberitahukan maksudnya kepada kepala suku atau kepala adat.
Kemudian adat memberikan tugas kepada sejumlah masyarakat, untuk mencari hutan yang cocok dengan membaca tanda-tanda alam.
"Syarat lain adalah kalau sudah menemukan hutan yang baik untuk bercocok tanam, akan diadakan upacara adat untuk menandai pembukaan hutan atau bumi itulah yang memberi mereka hidup," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013