Publisher rights atau hak penerbit di Indonesia, jika sudah ditetapkan sebagai aturan resmi akan mengatasi dominasi platform digital, demikian Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.
"Kita tidak memilih (langkah) yang ekstrem, seperti membuka-menutup. Yang kita pilih adalah koeksistensi, hidup bersama. Itu lah yang kita tata. Kita mulai dulu dengan publisher rights," kata Menkominfo Johnny, saat ditemui di Jakarta, Selasa (19/10).
Kementerian menerima draf usulan dari Dewan Pers dan Task Force Media Sustainability berjudul "Usulan Jurnalisme Berkualitas dan Tanggung Jawab Platform Digital".
Hak penerbit ini berisi hak pengelola media untuk mengatur dan mengurangi dominasi berlebihan platform digital.
Aturan ini dipandang perlu agar konvergensi media bisa memberikan peluang yang sama baik untuk media massa konvensional maupun media baru, seperti platform over-the-top (OTT).
Sejumlah negara sudah memiliki atau merancang regulasi seperti ini. Australia pada awal tahun ini mengesahkan News Media Bargaining Code, undang-undang untuk mendukung media jurnalistik di tengah disrupsi teknologi.
Berdasarkan aturan tersebut, perusahaan media massa bisa bernegosiasi dengan platform digital soal harga untuk konten mereka yang dimuat di platform. Regulasi tersebut memberikan waktu dua bulan untuk mencapai kesepakatan harga.
Jika dalam waktu yang ditentukan tidak terjadi kesepakatan, pemerintah akan menunjuk wasit.
Sementara itu, Korea Selatan baru saja menerapkan amandemen undang-undang bisnis telekomunikasi, Telecommunication Business Act, untuk mengatasi dominasi platform digital di pasar mereka.
Salah satu yang disoroti dalam undang-undang tersebut adalah soal metode pembayaran. Korea Selatan melalui regulasi terbaru melarang penyelenggara pasar aplikasi, seperti Google Play Store dan Apple App Store, mewajibkan pengembang menggunakan sistem pembayaran buatan penyelenggara.
Apple selama ini mewajibkan pengembang menggunakan sistem pembayaran yang disediakan App Store dan mengenakan komisi sebesar 30 persen untuk pembelian di dalam aplikasi.
Pemerintah Indonesia melihat regulasi untuk hak cipta jurnalistik adalah perlu untuk menjaga koeksistensi ekosistem media di Indonesia. Apalagi, platform digital selama ini juga memberikan manfaat untuk masyarakat, seperti tempat untuk mendapatkan informasi.
"Karena disrupsi teknologi, muncul platform digital, ada banyak manfaat (platform digital) untuk masyarakat. Hanya, harus kita jaga agar kita tidak dieksploitasi sebagai pasar saja," kata Johnny.
Publisher rights saat ini baru berbentuk usulan, pemerintah berkomitmen menindaklanjuti draf yang sudah diterima untuk menentukan hasil akhir dari usulan tersebut, apakah menjadi undang-undang, revisi regulasi yang sudah ada atau menjadi aturan setingkat Peraturan Pemerintah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021
"Kita tidak memilih (langkah) yang ekstrem, seperti membuka-menutup. Yang kita pilih adalah koeksistensi, hidup bersama. Itu lah yang kita tata. Kita mulai dulu dengan publisher rights," kata Menkominfo Johnny, saat ditemui di Jakarta, Selasa (19/10).
Kementerian menerima draf usulan dari Dewan Pers dan Task Force Media Sustainability berjudul "Usulan Jurnalisme Berkualitas dan Tanggung Jawab Platform Digital".
Hak penerbit ini berisi hak pengelola media untuk mengatur dan mengurangi dominasi berlebihan platform digital.
Aturan ini dipandang perlu agar konvergensi media bisa memberikan peluang yang sama baik untuk media massa konvensional maupun media baru, seperti platform over-the-top (OTT).
Sejumlah negara sudah memiliki atau merancang regulasi seperti ini. Australia pada awal tahun ini mengesahkan News Media Bargaining Code, undang-undang untuk mendukung media jurnalistik di tengah disrupsi teknologi.
Berdasarkan aturan tersebut, perusahaan media massa bisa bernegosiasi dengan platform digital soal harga untuk konten mereka yang dimuat di platform. Regulasi tersebut memberikan waktu dua bulan untuk mencapai kesepakatan harga.
Jika dalam waktu yang ditentukan tidak terjadi kesepakatan, pemerintah akan menunjuk wasit.
Sementara itu, Korea Selatan baru saja menerapkan amandemen undang-undang bisnis telekomunikasi, Telecommunication Business Act, untuk mengatasi dominasi platform digital di pasar mereka.
Salah satu yang disoroti dalam undang-undang tersebut adalah soal metode pembayaran. Korea Selatan melalui regulasi terbaru melarang penyelenggara pasar aplikasi, seperti Google Play Store dan Apple App Store, mewajibkan pengembang menggunakan sistem pembayaran buatan penyelenggara.
Apple selama ini mewajibkan pengembang menggunakan sistem pembayaran yang disediakan App Store dan mengenakan komisi sebesar 30 persen untuk pembelian di dalam aplikasi.
Pemerintah Indonesia melihat regulasi untuk hak cipta jurnalistik adalah perlu untuk menjaga koeksistensi ekosistem media di Indonesia. Apalagi, platform digital selama ini juga memberikan manfaat untuk masyarakat, seperti tempat untuk mendapatkan informasi.
"Karena disrupsi teknologi, muncul platform digital, ada banyak manfaat (platform digital) untuk masyarakat. Hanya, harus kita jaga agar kita tidak dieksploitasi sebagai pasar saja," kata Johnny.
Publisher rights saat ini baru berbentuk usulan, pemerintah berkomitmen menindaklanjuti draf yang sudah diterima untuk menentukan hasil akhir dari usulan tersebut, apakah menjadi undang-undang, revisi regulasi yang sudah ada atau menjadi aturan setingkat Peraturan Pemerintah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021