Jakarta (ANTARA) - Sekurangnya 26 ribu hektare hutan rakyat di Indonesia hingga akhir 2012 telah mendapatkan sertifikat ekolabel.

Dalam prosesnya, unit manajemen hutan rakyat (UMHR) yang mengelolanya, setelah dilakukan penilaian independen, kemudian dinyatakan lulus sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) skema Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).

Kepala Komunikasi LEI Indra Setia Dewi mengemukakan dengan semakin meningkatnya areal hutan rakyat bersertifikat PHBML LEI, menunjukkan semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya secara lestari melalui kerja sama dengan berbagai pihak terkait.

"Keberhasilan ini diharapkan semakin memperkuat posisi hutan rakyat sebagai pemasok hasil hutan yang lestari yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan perekonomian daerah dan nasional melalui cara yang bertanggung jawab," katanya.

Selanjutnya, ke depan bisa memperkuat posisi hutan rakyat menjadi posisi utama dalam pengelolaan hutan lestari di Indonesia.

Kian tingginya kesadaran untuk mengelola sumberdaya hutan secara lestari itu  memang tidak diperoleh dengan mudah, dan memerlukan kerja keras parapihak yang terkait.

"Pada akhirnya, untuk sampai pada proses di mana UMHR akhirnya dapat dinyatakan lulus dan memperoleh sertifikat PHBML membutuhkan kerja kolaboratif," kata Kepala Komunitas Kehutanan, yang juga Sekretaris Majelis Perwalian Anggota (MPA) LEI Gladi Hardiyanto.

Dalam berbagai proses sertifikasi PHBML skema LEI, parapihak yang terlihat dalam mengawal UMHR, di antaranya adalah lembaga penjamin, dan lembaga pendamping.

Untuk unsur lembaga penjamin, yakni Dinas Kehutanan tingkat provinsi dan kabupaten, serta Pusat Standarisasi dan Lingkungan Kehutanan (Pustanling) Kementerian Kehutanan.

Sedangkan lembaga pendamping, adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang di setiap daerah berbeda-beda.

    
Jawa Timur

Mengawali tahun 2013, tiga unit manajemen hutan rakyat di Jawa Timur, pada Kamis (17/1) sore dinyatakan lulus dalam penilaian sertifikasi PHBML skema yang dilakukan di Blitar.

Tiga UMHR yang dinyatakan lulus penilaian sertifikasi PHBML itu, adalah Kasreman Lestari di Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi, yang mengelola hutan rakyat seluas 694,5 hektare.

Kemudian UHMR Giri Lestari di Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo, yang mengelola seluas 1.448,2 hektare, dan UHMR Jati Mulya Lestari di Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar, yang mengelola 805,3 hektare.

Penilaian kelulusan yang disaksikan unsur lembaga penjamin, yakni Kabid Bina Produksi Kehutanan Dinas Kehutanan Jatim Dody Arif Sarwono dan Kadishut Blitar Supandi, serta lembaga pendamping, yakni Direktur Eksekutif Perhimpunan Untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi Sosial (Persepsi) Klaten, Teguh Suprapto itu, disampaikan oleh Artamur dari lembaga sertifikasi Mutu Agung Lestari (MAL) yang ditunjuk LEI, setelah disampaikan penilaian oleh tiga panel pakar.

Tiga panel pakar tersebut yaitu Ir Teguh Yuwono, MSc dari aspek produksi, Ir Wibowo Djatmiko dari aspek lingkungan, dan Ir Djuwadi dari aspek sosial.  

Salah satu panel pakar Teguh Yuwono menyatakan bahwa seluruh proses penilaian kepada UMHR dilakukan dengan objektif.

"Sehingga tidak jarang dari ketiga aspek yang dinilai, yakni produksi, lingkungan dan sosial, UMHR mendapat nilai jelek atau belum memenuhi persyaratan, dan itu menjadi catatan untuk perbaikan," katanya.

Dalam kasus tiga UMHR dari Jatim yang dinilai --meski akhirnya dinyatakan lulus--namun untuk UMHR dari Kabupaten Ngawi, karena ada nilai yang kurang, kemudian dinyatakan lulus "dengan catatan".      

"Pencapaian UMHR yang seperti itu hendaknya juga menjadi catatan dan evaluasi bagi lembaga penjamin dan pendamping ke depan," katanya.

          
Pengakuan dunia

Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Blitar Supandi, selaku tuan rumah penilaian yang diberi mandat untuk memberikan tanggapan setelah tiga UMHR dinyatakan lulus menegaskan bahwa capaian itu bukan sesuatu yang sederhana.

"Dengan sertifikat ekolabel dari LEI, ini merupakan pengakuan dunia, karena dengan demikian UMHR resmi dinyatakan melakukan pengelolaan sumberdaya secara lestari," katanya.

Hanya saja, kata dia, meski mendapat pengakuan seperti itu, namun capaian tersebut baru merupakan awal dari sebuah kerja keras yang panjang.

Artinya, pengelola UMHR --yang sebagian besar adalah gabungan kelompok tani hutan rakyat (Gapoktanhut)--setidaknya selama 15 tahun masa berlaku sertifikat ekolabel skema LEI, dengan setiap lima tahun dilakukan evaluasi, mesti kerja kerja membuktikan kinerja bahwa mereka benar-benar mampu membuktikan secara nyata.

"Jangan sampai sertifikat yang diperoleh itu hanya di atas kertas, namun di lapangan ditemukan proses pengelolaan yang melanggar ukuran lestari itu," katanya.

Sedangkan Kabid Bina Produksi Kehutanan Dinas Kehutanan Jatim Dody Arif Sarwono menambahkan, tiga UMHR yang baru dinyatakan lulus itu menjadi kebangaan Jatim.

"Kami memprogramkan 29 UMHR di seluruh Jatim bisa mengikuti proses sertifikasi ekolabel, dan sekarang dengan tiga UMHR baru, maka sudah ada 10 daerah yang dinyatakan lulus," katanya.

Di tengah tudingan dan sorotan, baik di dalam negeri maupun internasional, kerja-kerja kolaboratif untuk menjaga dan mengelola hutan lestari, khususnya di hutan rakyat, terus bergulir.

Meski "sepi" laporan media, sesungguhnya kerja sama kolaboratif parapihak, baik pemerintah, petani dan kelompok tani di hutan, dan LSM semacam itu menunjukkan bahwa ada ikhtiar-ikhtiar untuk menjaga lestarinya hutan di Indonesia. (*)

Pewarta: Andi Jauhari (ANTARA Bogor)

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013