Guru besar Fakultas Hukum Unhas Dr Ahmad Yani SH MH mengemukakan bahwa praktik politik uang telah lama terjadi bahkan telah dimulai dalam internal partai politik di tanah air sehingga dibutuhkan
pembenahan sistem ketatanegaraan.
"Keberhasilan penataan parpol akan membereskan 50 persen dari sistem ketatanegaraan kita, dan kebijakan tersebut perlu dilakukan berkaitan dengan bakal digelarnya Pilkada 2020 pada sejumlah daerah di tanah air," kata Ahmad Yani yang juga politisi dan akademisi dalam keterangannya diterima ANTARA Riau, Rabu.
Pendapat demikian dikemukakannya dalam webinar DIHPA Indonesia berjudul Mahar Politik Anakronisme pemikiran perilaku koruptif menampilkan enam pemateri dari berbagai perguruan ringgi di tanah air.
Terkait pilkada, Ahmad Yani menganjurkan sebaiknya dikembalikan ke sistem perwakilan saja karena maksud pilkada langsung yang pernah digelar dulu sesungguhnya untuk mengatasi kemungkinan politik uang dan dipikir tidak mungkin menyogok rakyat satu kabupaten atau satu provinsi.
Kenyataannya harapan tersebut, katanya, tidak terbukti dan KPU pun sebagai penyelenggara Pemilu atau Pilkada sulit untuk benar-benar bebas dari kepentingan politik khususnya dari incumbent.
Idealnya dalam proses pencalonan kepala daerah, parpol lah yang mencari calon, tapi kenyataannya sekarang justru calon yang mencari-cari.
"Penentuan rekomendasi kepala daerah harus persetujuan pimpinan partai tingkat pusat, idealnya cukup satu tingkatan di atas daerah yang menyelenggarakan pilkada. Akibatnya terjadi politik yang oligarkis, pemilik modal berperan sebagai sponsor pencalonan kepala daerah yang berpotensi membuat calon kepala daerah berurusan dengan KPK," katanya.
Ia mengatakan, meskipun kenyataan ini dapat kita rasakan tetapi sangat sulit dibuktikan apalagi mau menegakkan hukum atas kasus ini. Perlu dibentuk peradilan khusus pemilu, calon yang terbukti menggunakan poltik uang didiskualifikasi sebagai calon.
Feri Amsari, Direktur Pusako Unand menyatakan parpol di Indonesia tidak memiliki mekanisme demokrasi internal, sehingga yang ada adalah pertalian darah, pertalian daerah, pertalian dakwah dan ujung-ujungnya pertalian dana.
"Tidak akan ada demokrasi jika pemilihan ketua partai saja masih belum demokratis. Dalam pilkada tidak ditemukan calon yang benar-benar kader partai, akan tetapi kader kepentingan ketua partai karena calon kepala daerah harus disetujui ketua partai tingkat pusat," katanya.
Idealnya, saran Feri perlu dibuat batasan masa jabatan seseorang boleh menjadi ketua partai. Penyelenggaran sulit untuk benar-benar steril dari parpol jika proses rekrutemnnya masih melibatkan para politisi.
Pakar Hukum Pidana UNRI, Dr rdianto Effendi menyatakan bahwa praktik pencalonan kepala daerah saat ini, seringkali mengabaikan kader nternal partai atau kader lain yang potensial.
Praktik uang dalam proses pencalonan patut dikriminalisasi karena adanya korban, berdasarkan ratio dan adanya kesepakatan sosial. Meskipun telah ada sanksi pidana dalam UU No. 10 Tahun 2016, ancamannnya justru terlalu ringan.
"Para pemimpin partai politik dapat saja ditafsirkan sebagai penyelenggara negara sehingga praktik politik uang dalam proses pencalonan kepala daerah dapat saja ditafsirkan sebagai praktik suap atau gratifikasi atau pemerasan dalam jabatan. Perluasan tafsir dalam hukum pidana tidak sepenuhnya dilarang karena larangan analogi hanya dalam hal membuat noma baru, bukan untuk menjelaskan undang-undang terutama jika dihadapkan pada sejumlah tindakan jahat yang tanpa pendekatan demikian, pasti akan lolos dari jaring keadilan," katanya.
Selain itu Guru Besar FH UI, mantan Dekan dan Anggota Panwaslu Prof Topo Santoso, mengutip Mabah Ellitot menyatakan bahwa narapidana adalah penjahat yang terseleksi, yaitu tidak punya uang, tidak begitu pintar dan tidak punya koneksi namun proses politik bisa menjadi faktor kriminogen, yaitu pemicu terjadinya kejahatan.
Namun beliau tidak sepakat dengan Erdianto untuk menafsirkan bahwa politik uang dalam pencalonan kepala daerah disamakan dengan korupsi. Prof Topo cenderung pada penerapan ketentuan sanksi administrasi dalam proses pencalonan kepala daerah ketimbang menerapkan hukum pidana.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020
pembenahan sistem ketatanegaraan.
"Keberhasilan penataan parpol akan membereskan 50 persen dari sistem ketatanegaraan kita, dan kebijakan tersebut perlu dilakukan berkaitan dengan bakal digelarnya Pilkada 2020 pada sejumlah daerah di tanah air," kata Ahmad Yani yang juga politisi dan akademisi dalam keterangannya diterima ANTARA Riau, Rabu.
Pendapat demikian dikemukakannya dalam webinar DIHPA Indonesia berjudul Mahar Politik Anakronisme pemikiran perilaku koruptif menampilkan enam pemateri dari berbagai perguruan ringgi di tanah air.
Terkait pilkada, Ahmad Yani menganjurkan sebaiknya dikembalikan ke sistem perwakilan saja karena maksud pilkada langsung yang pernah digelar dulu sesungguhnya untuk mengatasi kemungkinan politik uang dan dipikir tidak mungkin menyogok rakyat satu kabupaten atau satu provinsi.
Kenyataannya harapan tersebut, katanya, tidak terbukti dan KPU pun sebagai penyelenggara Pemilu atau Pilkada sulit untuk benar-benar bebas dari kepentingan politik khususnya dari incumbent.
Idealnya dalam proses pencalonan kepala daerah, parpol lah yang mencari calon, tapi kenyataannya sekarang justru calon yang mencari-cari.
"Penentuan rekomendasi kepala daerah harus persetujuan pimpinan partai tingkat pusat, idealnya cukup satu tingkatan di atas daerah yang menyelenggarakan pilkada. Akibatnya terjadi politik yang oligarkis, pemilik modal berperan sebagai sponsor pencalonan kepala daerah yang berpotensi membuat calon kepala daerah berurusan dengan KPK," katanya.
Ia mengatakan, meskipun kenyataan ini dapat kita rasakan tetapi sangat sulit dibuktikan apalagi mau menegakkan hukum atas kasus ini. Perlu dibentuk peradilan khusus pemilu, calon yang terbukti menggunakan poltik uang didiskualifikasi sebagai calon.
Feri Amsari, Direktur Pusako Unand menyatakan parpol di Indonesia tidak memiliki mekanisme demokrasi internal, sehingga yang ada adalah pertalian darah, pertalian daerah, pertalian dakwah dan ujung-ujungnya pertalian dana.
"Tidak akan ada demokrasi jika pemilihan ketua partai saja masih belum demokratis. Dalam pilkada tidak ditemukan calon yang benar-benar kader partai, akan tetapi kader kepentingan ketua partai karena calon kepala daerah harus disetujui ketua partai tingkat pusat," katanya.
Idealnya, saran Feri perlu dibuat batasan masa jabatan seseorang boleh menjadi ketua partai. Penyelenggaran sulit untuk benar-benar steril dari parpol jika proses rekrutemnnya masih melibatkan para politisi.
Pakar Hukum Pidana UNRI, Dr rdianto Effendi menyatakan bahwa praktik pencalonan kepala daerah saat ini, seringkali mengabaikan kader nternal partai atau kader lain yang potensial.
Praktik uang dalam proses pencalonan patut dikriminalisasi karena adanya korban, berdasarkan ratio dan adanya kesepakatan sosial. Meskipun telah ada sanksi pidana dalam UU No. 10 Tahun 2016, ancamannnya justru terlalu ringan.
"Para pemimpin partai politik dapat saja ditafsirkan sebagai penyelenggara negara sehingga praktik politik uang dalam proses pencalonan kepala daerah dapat saja ditafsirkan sebagai praktik suap atau gratifikasi atau pemerasan dalam jabatan. Perluasan tafsir dalam hukum pidana tidak sepenuhnya dilarang karena larangan analogi hanya dalam hal membuat noma baru, bukan untuk menjelaskan undang-undang terutama jika dihadapkan pada sejumlah tindakan jahat yang tanpa pendekatan demikian, pasti akan lolos dari jaring keadilan," katanya.
Selain itu Guru Besar FH UI, mantan Dekan dan Anggota Panwaslu Prof Topo Santoso, mengutip Mabah Ellitot menyatakan bahwa narapidana adalah penjahat yang terseleksi, yaitu tidak punya uang, tidak begitu pintar dan tidak punya koneksi namun proses politik bisa menjadi faktor kriminogen, yaitu pemicu terjadinya kejahatan.
Namun beliau tidak sepakat dengan Erdianto untuk menafsirkan bahwa politik uang dalam pencalonan kepala daerah disamakan dengan korupsi. Prof Topo cenderung pada penerapan ketentuan sanksi administrasi dalam proses pencalonan kepala daerah ketimbang menerapkan hukum pidana.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020