Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur mengkritisi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang digelar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Balikpapan terkait Ibukota Baru Negara (IKN) yang akan dibangun di Sepaku-Penajam Paser Utara dan Samboja-Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur.
“Menggelar KLHS setelah diputuskan secara politik itu terbalik,” kata Pradarma Rupang dari Jaringan Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim), Jumat (28/2).
Menurut Rupang, bila KLHS kemudian menemukan sejumlah hal yang tidak mendukung rencana pemindahan ibukota negara, apakah kemudian pemindahan akan dibatalkan. KLHS mestilah dilangsungkan sebelum keputusan pindah atau tidak pindah dibuat.
Secara ekologi atau lingkungan, masih menjadi pertanyaan mengenai daya dukung lingkungan, antara lain hal pemenuhan kebutuhan air bersih, kemudian juga status perlindungan sejumlah kawasan kaya keanekaragaman hayati seperti Teluk Balikpapan.
“Banyak sekali yang tidak dilibatkan dalam proses ini, padahal mereka yang akan menerima dampak langsung dari pemindahan tersebut,” timpal Ismail dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim.
Menurut Ismail, termasuk yang tidak dilibatkan itu adalah masyarakat adat yang ada di kawasan tersebut.
Karena itu semua, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim meminta agar pemerintah pertama kali memulihkan alam dan lingkungan Kalimantan Timur yang saat ini sudah dieksploitasi habis-habisan, terutama oleh perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batubara.
Bahkan di dalam pertambangan batubara, ungkap Rupang, masyarakat menerima dampak sampai jatuh korban jiwa. Hingga sejak 2012 hingga Februari 2020 ini, sudah 37 korban tewas tenggelam di lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi. Pemerintah, kata Rupang lagi, tidak berbuat apa-apa untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam kasus tersebut.
“Kemudian melibatkan masyarakat. Minta pendapat masyarakat, baik masyarakat Kalimantan Timur maupun Indonesia hal pemindahan ibukota negara ini,” tegas Rupang lagi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020