Oleh Arumanto
Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Kekisruhan persepakbolaan tanah air terus menggelinding sepanjang tahun 2011 seiring dengan belum terwujudnya prestasi juara timnas sepak bola Indonesia di ajang Internasional.
Kegagalan Markus Horison di Piala AFF 2011 bersaing dengan timnas Malaysia untuk perebutan gelar juara, rupanya masih berlanjut pada tim U-23 SEA Games, lagi-lagi timnas Indonesia kalah dengan Malaysia.
Harapan timnas senior untuk menembus putaran Pra Piala Dunia 2014 di grup E Zona Asia juga telah tertutup dengan hasil belum sekalipun menang dari lima laga yang dilakoni.
Sayangnya kegagalan timnas yang seharusnya perlu menjadi bahan evaluasi bersama oleh PSSI tidak menjadi pelajaran, para pengurus organisasi tertinggi sepak bola nasional tersebut justru disibukkan oleh konflik internal yang tak kunjung selesai.
Organisasi olahraga dengan jumlah anggota terbesar di tanah air itu terpecah belah, dimulai dari ketidakharmonisan hubungan komite eksekutif PSSI dan puncaknya terjadi dualisme kompetisi yakni Indonesia Super Liga (ISL) dan Liga Prima Indonesia (LPI).
Kini arus untuk menggelar Konggres Luar Biasa (KLB) PSSI kembali mencuat dengan alasan sama untuk mengganti ketua umum dan para anggotanya.
Padahal sepanjang tahun 2011 organisasi PSSI telah tercatat tiga kali melakukan konggres yakni pada Maret 2011 di Pekanbaru Riau, Mei 2011 di Jakarta dan terakhir pada Juli 2011 di Hotel Sunan Solo dengan terpilihnya Johar Arifin Husen sebagai ketua umum.
KLB PSSI Tahap II, yang diusung oleh anggotanya yakni klub Indonesia Super Liga (ISL) Divisi Utama dan Pengurus Provinsi PSSI untuk menggusur kepengurusan PSSI Johar Arifin menimbulkan pertanyaan besar sejumlah masyarakat dan pecinta bola tanah air.
Apakah pelaksanaan KLB tahap ke II ini bisa mencairkan persolaan PSSI ke depannya? Apakah dengan KLB ini timnas Indonesia bisa berprestasi di tingkat Internasional?
Johar Arifin menjadi orang nomer satu di organisasi persepakbolaan nasional itu terpilih melalui aspirasi dari bawah yakni para anggotanya.
Meskipun saat itu "sang profesor" hanya dijadikan sebagai calon alternatif diantara dua kandidat yakni George Toisuta dan Arifin Panigoro yang mendapat pencekalan FIFA untuk meruntuhkan era Nurdin Halid yang sudah dua periode memimpin PSSI.
Setidaknya pada saat terpilih Johar Arifin cukup diyakini oleh orang-orang yang mengusungnya bakal membawa perubahan mendasar dan akan menata kembali iklim persepak bolaan nasional yang pada beberapa dekade carut-marut dan tidak pernah berprestasi di tingkat Internasional.
Program perubahan pun mulai dijadwalkan oleh kepengurusan baru melalui ketua umum dan komite eksekutif terpilih dengan agenda prioritas membenahi internal organisasi PSSI.
Hal itu sebelum beranjak pada perubahan iklim kompetisi yang sehat untuk bisa menciptakan pemain berkualitas sebagai andalan timnas Indonesia di berbagai ajang Internasional.
Sayangnya, belum sempat program tersebut terlaksana, kongsi di internal PSSI yang awalnya terjalin cukup baik mulai pecah di tengah jalan, beberapa anggota komite eksekutif sebagai navigator atas aspirasi para anggotanya terpecah menjadi dua kubu.
Kubu pertama oleh ketua umum dan beberapa anggota komite eksekutif ditambah beberapa klub sebagai anggota PSSI menginginkan perubahan secara menyeluruh di persepakbolaan nasional.
Kubu ini berangkat dari kelompok minoritas di era Nurdin Halid, dan bahkan diantaranya sempat mendapatkan sangsi pencekalan dari anggota PSSI karena terlibat mengikuti kompetisi ilegal yang diklaim oleh kepengurusan PSSI yang sah pada waktu itu.
Sedangkan kubu kedua juga dikomandoi oleh beberapa anggota komite eksekutif PSSI dan mayoritas anggota PSSI di era Nurdin Halid, mereka menginginkan aturan PSSI melalui statuta tetap menjadi pijakan untuk melakukan perubahan.
Titik perseteruan mulai terbuka ketika aturan statuta itu ditegakkan, sebab bila statuta dijalankan dampaknya akan merugikan bagi kubu tertentu.
Terutama bagi klub yang sebelumnya mendapatkan sangsi tidak boleh mengikuti kompetisi tertinggi di persepakbolaan nasional karena telah diputuskan dalam Kongres yang menurut statuta merupakan hukum tertinggi dalam organisasi PSSI.
Padahal, klub yang mendapatkan sangsi tersebut juga ikut berperan dalam proses meruntuhkan Nurdin Halid, dan merasa punya andil mendudukkan Johar Arifin sebagai ketua umum PSSI.
Perseteruan yang awalnya terjadi di internal PSSI, berkembang hingga di luar lapangan yang juga merembet kepada anggotanya, terutama klub-klub sebagai kontestan kompetisi.
Putusnya sumber dana melalui APBD masing-masing daerah bagi klub profesional mengacu pada surat edaran Mendagri, juga menjadi bagian pemicu pertikaian.
Karena dengan tanpa subsidi dana pemerintah itu klub meminta pembagian saham yang proporsional kepada pengelola kompetisi.
PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) sebagai badan yang ditunjuk oleh PSSI untuk melaksanakan kompetisi tidak bisa memenuhi tuntutan klub dalam pembagian saham dan keuntungannya.
Karena klub profesional tersebut, awalnya sudah menjalin keputusan dengan pengelola kompetisi PT Liga Indonesia dan ditetapkan melalui Konggres di Bali, dengan pembagian saham yang lebih menguntungkan dibandingkan negosiasi dengan PT LPIS.
Tidak adanya kesepakatan dengan PT LPIS ini membuat klub profesional berniat menggelar kompetisi sendiri di bawah naungan PT LI, keputusan membelot itu juga didasari oleh keputusan PSSI menetapkan 24 klub sebagai peserta liga profesional dengan melibatkan klub yang masih mendapatkan sanksi menurut hasil konggres Bali.
Kedua kubu punya pandangan yang berbeda terkait aturan statuta, apalagi mereka punya kepentingan masing-masing sehingga cukup sulit untuk disatukan dalam visi dan pandangan yang searah, Ditambah situasi yang semakin memanas karena perseteruan kedua kubu semakin terbuka sehingga menepis peluang untuk bisa dirujukkan kembali.
KLB diyakini oleh salah satu kubu menjadi satu-satunya solusi perpecahan di tubuh PSSI, namun ada sebagian anggota yang pesimis bahwa KLB tahap II ini bakalan bisa meredam konflik persepakbolaan nasional.
Karena banyak pihak yang menilai bisa saja terjadi KLB tahap III dengan masih adanya anggota yang tidak terima dan merasa dirugikan dari hasil KLB II, Sehingga tidak menutup kemungkinan mereka bakal menjadi oposisi dan terus mencari peluang untuk melaksanakan KLB.
Apalagi, banyak masyarakat awam yang telah paham bahwa kedua kubu tersebut diback-up oleh dua orang kuat yang sama-sama punya modal besar untuk mendanai kegiatan Konggres persepakbolaan nasional.
Mantan pelatih nasional, Daniel Roekito cukup prihatin dengan kondisi persepakbolaan nasional yang terus bersitegang, di tengah kegagalan untuk mencapai prestasi di tingkat Internasional.
"Kalau organisasi PSSI begini terus kapan sepak bola nasional bisa berkembang, yang menjadi korban ya pemain, kami sendiri pelatih, dan juga bakat-bakat terpendam yang ada di Republik ini," terang Daniel.
Sementara M Kusnan, mantan pemain nasional di Era 90-an angkat bicara bahwa sudah seharusnya orang-orang yang duduk di PSSI punya pandangan dan visi untuk memajukan persebak-bolaan nasional, bukannya bersitegang dan saling menjatuhkan satu sama lain.
"Kita sudah tertinggal jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, yang dulu standar kekuatannya di bawah kita, sekarang bukannya dicarikan solusi terbaik untuk memajukan sepak bola nasional, tapi pengurusnya malahan berkelahi terus," papar Kusnan.
Politisi Sepak Bola
Perseteruan dipersepakbolaan nasional telah membuka mata dan telinga banyak pihak, karena sepak bola yang awalnya hanya sebuah permainanan olahraga yang sifatnya bisa menghibur bagi para penggemarnya pada perkembangannya telah mengarah untuk komersialisasi, dan bahkan tidak menepis sepak bola juga dimanfaatkan untuk kepentingan politis.
Pembuktian riel politisasi sepak bola di Indonesia memang bukan perkara yang gampang, karena meskipun beberapa bukti cukup mengarah namun orang-orang yang mempolitisasi sepak bola selalu bisa berdalih dengan alasan apapun.
Meskipun demikian fakta telah membuktikan bahwa banyak tokoh sepak bola di Daerah yang bisa menjadi anggota DPRD provinsi atau kota, bahkan juga memenangi Pilkada di wilayahnya karena menjadi tokoh olahraga yang paling digemari oleh masyarakat itu.
Hal ini tidak lepas dari animo masyarakat menyaksikan pertunjukan sikulit bundar itu, olahraga sepak bola memang cukup prospektif dalam penggalangan masa untuk memenangi pertarungan politik.
Namun, banyak pihak yang menyayangkan bila fakta itu terjadi karena kontaminasi politik akan membuat sepak bola nasional bakal semakin terpuruk, dan Indonesia bakal tertinggal jauh untuk mencapai ambisi bisa menembus piala Dunia.
Dari kacamata penikmat sepak bola tanah air sebenarnya cukup sederhana saja menyikapi berbagai persoalan persepakbolaan tanah air, yang terpenting masyarakat bisa menikmati suguhan pertandingan sepak bola yang berkualitas, apapun nama kompetisinya, dan timnas Indonesia bisa berprestasi di tingkat Internasional dengan siapun ketua umumnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011
Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Kekisruhan persepakbolaan tanah air terus menggelinding sepanjang tahun 2011 seiring dengan belum terwujudnya prestasi juara timnas sepak bola Indonesia di ajang Internasional.
Kegagalan Markus Horison di Piala AFF 2011 bersaing dengan timnas Malaysia untuk perebutan gelar juara, rupanya masih berlanjut pada tim U-23 SEA Games, lagi-lagi timnas Indonesia kalah dengan Malaysia.
Harapan timnas senior untuk menembus putaran Pra Piala Dunia 2014 di grup E Zona Asia juga telah tertutup dengan hasil belum sekalipun menang dari lima laga yang dilakoni.
Sayangnya kegagalan timnas yang seharusnya perlu menjadi bahan evaluasi bersama oleh PSSI tidak menjadi pelajaran, para pengurus organisasi tertinggi sepak bola nasional tersebut justru disibukkan oleh konflik internal yang tak kunjung selesai.
Organisasi olahraga dengan jumlah anggota terbesar di tanah air itu terpecah belah, dimulai dari ketidakharmonisan hubungan komite eksekutif PSSI dan puncaknya terjadi dualisme kompetisi yakni Indonesia Super Liga (ISL) dan Liga Prima Indonesia (LPI).
Kini arus untuk menggelar Konggres Luar Biasa (KLB) PSSI kembali mencuat dengan alasan sama untuk mengganti ketua umum dan para anggotanya.
Padahal sepanjang tahun 2011 organisasi PSSI telah tercatat tiga kali melakukan konggres yakni pada Maret 2011 di Pekanbaru Riau, Mei 2011 di Jakarta dan terakhir pada Juli 2011 di Hotel Sunan Solo dengan terpilihnya Johar Arifin Husen sebagai ketua umum.
KLB PSSI Tahap II, yang diusung oleh anggotanya yakni klub Indonesia Super Liga (ISL) Divisi Utama dan Pengurus Provinsi PSSI untuk menggusur kepengurusan PSSI Johar Arifin menimbulkan pertanyaan besar sejumlah masyarakat dan pecinta bola tanah air.
Apakah pelaksanaan KLB tahap ke II ini bisa mencairkan persolaan PSSI ke depannya? Apakah dengan KLB ini timnas Indonesia bisa berprestasi di tingkat Internasional?
Johar Arifin menjadi orang nomer satu di organisasi persepakbolaan nasional itu terpilih melalui aspirasi dari bawah yakni para anggotanya.
Meskipun saat itu "sang profesor" hanya dijadikan sebagai calon alternatif diantara dua kandidat yakni George Toisuta dan Arifin Panigoro yang mendapat pencekalan FIFA untuk meruntuhkan era Nurdin Halid yang sudah dua periode memimpin PSSI.
Setidaknya pada saat terpilih Johar Arifin cukup diyakini oleh orang-orang yang mengusungnya bakal membawa perubahan mendasar dan akan menata kembali iklim persepak bolaan nasional yang pada beberapa dekade carut-marut dan tidak pernah berprestasi di tingkat Internasional.
Program perubahan pun mulai dijadwalkan oleh kepengurusan baru melalui ketua umum dan komite eksekutif terpilih dengan agenda prioritas membenahi internal organisasi PSSI.
Hal itu sebelum beranjak pada perubahan iklim kompetisi yang sehat untuk bisa menciptakan pemain berkualitas sebagai andalan timnas Indonesia di berbagai ajang Internasional.
Sayangnya, belum sempat program tersebut terlaksana, kongsi di internal PSSI yang awalnya terjalin cukup baik mulai pecah di tengah jalan, beberapa anggota komite eksekutif sebagai navigator atas aspirasi para anggotanya terpecah menjadi dua kubu.
Kubu pertama oleh ketua umum dan beberapa anggota komite eksekutif ditambah beberapa klub sebagai anggota PSSI menginginkan perubahan secara menyeluruh di persepakbolaan nasional.
Kubu ini berangkat dari kelompok minoritas di era Nurdin Halid, dan bahkan diantaranya sempat mendapatkan sangsi pencekalan dari anggota PSSI karena terlibat mengikuti kompetisi ilegal yang diklaim oleh kepengurusan PSSI yang sah pada waktu itu.
Sedangkan kubu kedua juga dikomandoi oleh beberapa anggota komite eksekutif PSSI dan mayoritas anggota PSSI di era Nurdin Halid, mereka menginginkan aturan PSSI melalui statuta tetap menjadi pijakan untuk melakukan perubahan.
Titik perseteruan mulai terbuka ketika aturan statuta itu ditegakkan, sebab bila statuta dijalankan dampaknya akan merugikan bagi kubu tertentu.
Terutama bagi klub yang sebelumnya mendapatkan sangsi tidak boleh mengikuti kompetisi tertinggi di persepakbolaan nasional karena telah diputuskan dalam Kongres yang menurut statuta merupakan hukum tertinggi dalam organisasi PSSI.
Padahal, klub yang mendapatkan sangsi tersebut juga ikut berperan dalam proses meruntuhkan Nurdin Halid, dan merasa punya andil mendudukkan Johar Arifin sebagai ketua umum PSSI.
Perseteruan yang awalnya terjadi di internal PSSI, berkembang hingga di luar lapangan yang juga merembet kepada anggotanya, terutama klub-klub sebagai kontestan kompetisi.
Putusnya sumber dana melalui APBD masing-masing daerah bagi klub profesional mengacu pada surat edaran Mendagri, juga menjadi bagian pemicu pertikaian.
Karena dengan tanpa subsidi dana pemerintah itu klub meminta pembagian saham yang proporsional kepada pengelola kompetisi.
PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) sebagai badan yang ditunjuk oleh PSSI untuk melaksanakan kompetisi tidak bisa memenuhi tuntutan klub dalam pembagian saham dan keuntungannya.
Karena klub profesional tersebut, awalnya sudah menjalin keputusan dengan pengelola kompetisi PT Liga Indonesia dan ditetapkan melalui Konggres di Bali, dengan pembagian saham yang lebih menguntungkan dibandingkan negosiasi dengan PT LPIS.
Tidak adanya kesepakatan dengan PT LPIS ini membuat klub profesional berniat menggelar kompetisi sendiri di bawah naungan PT LI, keputusan membelot itu juga didasari oleh keputusan PSSI menetapkan 24 klub sebagai peserta liga profesional dengan melibatkan klub yang masih mendapatkan sanksi menurut hasil konggres Bali.
Kedua kubu punya pandangan yang berbeda terkait aturan statuta, apalagi mereka punya kepentingan masing-masing sehingga cukup sulit untuk disatukan dalam visi dan pandangan yang searah, Ditambah situasi yang semakin memanas karena perseteruan kedua kubu semakin terbuka sehingga menepis peluang untuk bisa dirujukkan kembali.
KLB diyakini oleh salah satu kubu menjadi satu-satunya solusi perpecahan di tubuh PSSI, namun ada sebagian anggota yang pesimis bahwa KLB tahap II ini bakalan bisa meredam konflik persepakbolaan nasional.
Karena banyak pihak yang menilai bisa saja terjadi KLB tahap III dengan masih adanya anggota yang tidak terima dan merasa dirugikan dari hasil KLB II, Sehingga tidak menutup kemungkinan mereka bakal menjadi oposisi dan terus mencari peluang untuk melaksanakan KLB.
Apalagi, banyak masyarakat awam yang telah paham bahwa kedua kubu tersebut diback-up oleh dua orang kuat yang sama-sama punya modal besar untuk mendanai kegiatan Konggres persepakbolaan nasional.
Mantan pelatih nasional, Daniel Roekito cukup prihatin dengan kondisi persepakbolaan nasional yang terus bersitegang, di tengah kegagalan untuk mencapai prestasi di tingkat Internasional.
"Kalau organisasi PSSI begini terus kapan sepak bola nasional bisa berkembang, yang menjadi korban ya pemain, kami sendiri pelatih, dan juga bakat-bakat terpendam yang ada di Republik ini," terang Daniel.
Sementara M Kusnan, mantan pemain nasional di Era 90-an angkat bicara bahwa sudah seharusnya orang-orang yang duduk di PSSI punya pandangan dan visi untuk memajukan persebak-bolaan nasional, bukannya bersitegang dan saling menjatuhkan satu sama lain.
"Kita sudah tertinggal jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, yang dulu standar kekuatannya di bawah kita, sekarang bukannya dicarikan solusi terbaik untuk memajukan sepak bola nasional, tapi pengurusnya malahan berkelahi terus," papar Kusnan.
Politisi Sepak Bola
Perseteruan dipersepakbolaan nasional telah membuka mata dan telinga banyak pihak, karena sepak bola yang awalnya hanya sebuah permainanan olahraga yang sifatnya bisa menghibur bagi para penggemarnya pada perkembangannya telah mengarah untuk komersialisasi, dan bahkan tidak menepis sepak bola juga dimanfaatkan untuk kepentingan politis.
Pembuktian riel politisasi sepak bola di Indonesia memang bukan perkara yang gampang, karena meskipun beberapa bukti cukup mengarah namun orang-orang yang mempolitisasi sepak bola selalu bisa berdalih dengan alasan apapun.
Meskipun demikian fakta telah membuktikan bahwa banyak tokoh sepak bola di Daerah yang bisa menjadi anggota DPRD provinsi atau kota, bahkan juga memenangi Pilkada di wilayahnya karena menjadi tokoh olahraga yang paling digemari oleh masyarakat itu.
Hal ini tidak lepas dari animo masyarakat menyaksikan pertunjukan sikulit bundar itu, olahraga sepak bola memang cukup prospektif dalam penggalangan masa untuk memenangi pertarungan politik.
Namun, banyak pihak yang menyayangkan bila fakta itu terjadi karena kontaminasi politik akan membuat sepak bola nasional bakal semakin terpuruk, dan Indonesia bakal tertinggal jauh untuk mencapai ambisi bisa menembus piala Dunia.
Dari kacamata penikmat sepak bola tanah air sebenarnya cukup sederhana saja menyikapi berbagai persoalan persepakbolaan tanah air, yang terpenting masyarakat bisa menikmati suguhan pertandingan sepak bola yang berkualitas, apapun nama kompetisinya, dan timnas Indonesia bisa berprestasi di tingkat Internasional dengan siapun ketua umumnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011