Balikpapan (ANTARA News Kaltim) - Sumur-sumur minyak tua di Sangasanga, Kalimantan Timur, ternyata masih punya cerita. Pertamina kini memompa keluar 8.220 barrel minyak per hari (bph) dari sumur-sumur yang usianya bahkan lebih tua dari republik ini.

"Setelah mengambil alih dari Medco tahun 2008, kami mulai dengan 4.300 barrel per hari. Kami berhasil meningkatkannya menjadi 5.300 bph, dan mulai pertengahan September lalu kami mencapai angka 8.220 bph," kata Nugroho Susetyo, Manajer Lapangan Sangasanga Pertamina Unit Bisnis, Eksplorasi, dan Produksi (UBEP) Sangasanga dan Tarakan.

Bahkan, menurut Nugroho, dengan dukungan 30 sumur tua yang sudah direvitalisasi, mereka optimistis mampu mencapai angka 9.000 bph hingga akhir tahun 2011 ini.

"Kami merencanakan memperbaharui 200 sumur," senyum Nugroho.

Pertamina UBEP Sangasanga memiliki 1.506 sumur di daratan. Umur termuda sumur-sumur itu rata-rata 30-40 tahun, dan sementara ini hanya 120 sumur yang aktif berproduksi.

Selain minyak, Lapangan Sangasanga juga mengeksploitasi gas. Angka produksi gas mencapai 2 MMSCFD (million metric standard cubik feet per day atau juta metrik standar kaki kubik per hari) meski kapasitasnya mencapai 3 MMSCFD.

Pertamina UBEP Sangasanga dan Tarakan memanfaatkan berbagai teknologi, di antaranya injeksi air dan bahan kimia, untuk memeras cadangan minyak di sumur-sumur tua di Sangasanga dan Anggana tersebut.

Dalam teknologi injeksi tersebut, air yang dicampur bahan kimia tertentu ditembakkan ke dalam sumur. Karena air lebih berat dari minyak, maka ia akan menekan minyak keluar.

"Karena umumnya minyak yang dihasilkan dari sumur-sumur di daratan adalah minyak berat, minyak yang lebih kental sehingga kemudian perlu diencerkan dulu agar lebih mudah dikeluarkan," ungkap Nugroho kepada para jurnalis yang diajak Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMigas) berkeliling ke fasilitas-fasilitas milik para Kontraktor Kerjasama (KKS) Migas di Kaltim, Oktober silam.

Apalagi, sambung Nugroho, sumur-sumur Sangasanga adalah sumur-sumur yang sudah banyak kehilangan tekanan karena isinya sudah banyak dikeluarkan selama lebis seratus tahun ini.

Tambahan lagi sumur-sumur minyak ini memiliki kedalaman tak ada yang kurang dari 1 km ke dalam tanah. Di North Kutai Lama (NKL) sekitar, dalam sumur adalah 1.902 meter, sumur legendaries Louise 1.465 meter, sumur di Anggana 1.159 meter, South Kutai Lama 1.149 meter, sumur-sumur Muara 1.220 meter dan sumur Samboja yang dekat Balikpapan, 1.710 meter.

Tentu saja Pertamina UBEP Sangasanga dan Tarakan tak hanya mengandalkan sumur tua. Sumur baru dibuat setelah sebelumnya dicari kandungan minyaknya lewat survai seismik, sementara sumur-sumur tua direparasi.

Menurut Nugroho, sejak 2008 telah ada penambahan 10 sumur baru. Tahun 2012 mendatang, perusahaan menargetkan mengebor 17 sumur baru di kawasan yang disebut North Kutai Lama (NKL).


Karena Louise

Selain di Balikpapan, awal minyak di Kalimantan Timur juga dimulai di Sangasanga.

Bila di Balikpapan ada sumur Mathilda, di Sangasanga ada sumur Louise. Keduanya mulai dibor pada tahun yang sama, 1897. Bila Mathilda adalah nama anak JH Menten, insinyur tambang Belanda yang mengepalai pengeboran, tak tersebut diambil dari nama siapa Louise untuk nama sumur di Sangasanga.

"Mungkin dari nama anak kepala pengeboran juga," seloroh Sudiarto Sardji, kepala bagian Eksternal dan Sekuriti Lapangan Sangasanga Pertamina UBEP Sangasanga dan Tarakan, sebelum memulai cerita tentang awal sumur-sumur minyak di Sangasanga.

Sumur-sumur minyak Sangasanga pertama kali dibuat oleh NIIHM. Ini adalah singkatan untuk Nederlandsch-Indische Industrie en Handel Maatschappij, maskapai minyak Belanda yang khusus didirikan untuk menjalankan eksplorasi dan eksploitasi minyak di Nederlandsch-Indische alias Hindia Belanda.

NIIHM beroperasi antara 1897 hingga 1905. Pada foto-foto lama yang masih dimiliki Pertamina, ada foto sumur Louise yang masih menggunakan menara pengeboran yang terbuat dari kayu ulin—kayu yang bahkan lebih kuat dari besi dan saat itu tersedia berlimpah di hutan-hutan Kalimantan.

Sumur-sumur NIIHM kemudian dikelola BPM selama 37 tahun berikutnya. BPM, atau Batavia Petroleum Maatschappij menyedot minyak di bumi Sangasanga sejak 1905 hingga kedatangan Jepang tahun 1942.

"Jepang menggunakan minyak dari Sangasanga untuk menjalankan mesin-mesin perang mereka: kapal, pesawat terbang, tank, ...”  kisah Sardji.

Minyak dari Sangasanga, bersama dengan minyak mentah dari lapangan-lapangan Samboja, Mathilde, Muara Louise, dan Semberah, hingga  Murung Pudak, Tanjung-Kalimantan Selatan, diolah di  kilang Balikpapan. BBM dari kilang Balikpapan tak hanya dipakai buat mesin perang, tapi juga diangkut ke Jepang untuk keperluan domestik Tenno Heika dan rakyatnya.

Jepang kalah setelah dibom atom Amerika di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Di Balikpapan, mereka menyerah setelah sebelumnya habis-habisan digempur Australia dalam Anzac Day 1 Juli 1945 di Balikpapan dan Tarakan. 

Ketika itu di Sanga-sanga masih ada tentara Jepang yang tinggal sesudah Jepang menyerah 14 Agustus 1945. Tanggal 11 September 1945 mendarat pasukan-pasukan dari Batalion Infantri 2/25 Australia. Tentara Sekutu ini ditugaskan untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negerinya.

Di samping juga ditugaskan untuk menjaga ketertiban dan keamanan Sangasanga. Di antara para perwira-perwira Sekutu, ada banyak tentara Belanda yang bertugas mengurus bekas KNIL tawanan Jepang dan orang-orang sipil Belanda serta tugas lain.

Meski demikian, baru 27 Januari 1947 ada kontak fisik antara para pejuang dengan pasukan Belanda yang kemudian disebut peristiwa Merah Putih dan Palagan Sangasanga.

Sejak tahun 1945 itu pula pengelolaan sumur-sumur minyak Sangasanga kembali kepada BPM hingga penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat tahun 1950. Seperti Jepang, dapat dipastikan Belanda dan Sekutu juga menggunakan energi dari Sangasanga, seperti minyak dari Cepu, untuk menghidupkan peralatan perangnya.

Sardji kemudian menyingkat masa antara 1950-1972 dalam satu kalimat panjang.

Masa ini, terangnya, adalah peralihan pengelolaan sumur-sumur minyak di Indonesia, termasuk di Sangasanga dari BPM kepada Shell, perusahaan minyak milik Inggris, lalu kepada Perusahaan Minjak Negara (Permina) yang jadi cikal bakal Pertamina, dan kemudian oleh Perusahaan Tambang Minyak Milik Negara (Pertamina).

Pengelolaan sumur dilanjutkan oleh Tesoro Indonesia Petroleum, 1972-1992. Medco Energy Indonesia yang dimiliki pengusaha minyak kondang dan anggota parlemen dari PDI Perjuangan, Arifin Panigoro, meneruskan mengelola sumur antara 1992 hingga 2008.

"Sejak 15 Oktober 2008, sumur-sumur di Sangasanga, Anggana, dan Tarakan, kembali dikelola Pertamina dan hasilnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," papar Sardji.

Untuk mengenang sejarah minyak Sangasanga itu, Pertamina membangun sebuah monumen yang sangat khas. Sebuah pompa angguk, pumping unit Califoris kini dipasang di lingkungan perumahan minyak 1010.

Pompa dengan tangkai utama sebatang ulin berdiameter 30 cm itu dijalankan dengan van belt yang juga tak kurang 30 meter panjangnya.

Pompa itu dihidupkan dengan tenaga gas dari sumurnya sendiri, yang memutar mesin untuk mendapatkan gaya guna membuat tangkainya mengangguk—yang bekerja dengan prinsip vakum menyedot minyak dari perut bumi.

"Pada masa jayanya di tahun 40-an, pompa ini mengeluarkan hingga 560 barrel minyak per hari di Sumur Anggana 97," tutur Nugroho.  (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011